Bagaimana HAMAS Berhasil Bermanuver dan Lolos dari Perangkap ? (Bagian Kedua)
Oleh: Saif al-Din Maw’id (Penulis dan Jurnalis Palestina)
Artikel Bagaimana HAMAS Berhasil Bermanuver dan Lolos Perangkap ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Dan inilah hakikat logika “komitmen berjenjang” — ketika sebuah persoalan besar dipecah menjadi langkah-langkah kecil, di mana harga dibayar kontan, sementara imbalannya ditunda hingga waktu yang tak pasti.
Dari celah inilah tipu daya merembes masuk. Gencatan senjata kali ini bukanlah untuk melindungi warga sipil, melainkan menjadi jalan menuju rekayasa politik baru yang di dalamnya tersembunyi upaya melemahkan kekuatan militer perlawanan, menggantikannya dengan bentuk perwalian yang halus namun juga keras — yang mendefinisikan ulang makna “legitimasi”, “perwakilan”, dan “keamanan” dari luar masyarakat Palestina.
Untuk memahami fungsi sebenarnya dari rencana Amerika–Israel ini, perlu dilihat konteks di mana ia muncul. Setelah dua tahun melakukan perang pemusnahan terbuka terhadap rakyat Palestina, Israel gagal mencapai tujuan perangnya sepenuhnya: mereka tidak berhasil mengembalikan tawanan, tidak mampu menghancurkan perlawanan, tidak bisa menggoyahkan keteguhan rakyat Gaza meskipun harga yang dibayar sangat mahal, dan juga gagal memaksakan pengusiran massal.
Sementara itu, Amerika Serikat — yang mendukung mesin perang Israel secara politik dan militer — mulai menyadari bahwa legitimasi perang ini terus terkikis, baik di jalan-jalan dunia, di ruang-ruang PBB dan pengadilan internasional, bahkan di kalangan sekutu sebelum lawan-lawannya.
Dalam konteks inilah, rencana tersebut tampil sebagai jembatan penyelamat: sarana untuk mengeluarkan Netanyahu dari isolasi politiknya yang kian dalam, sekaligus memperbarui citra dominasi Amerika dalam bentuk “perwalian kemanusiaan”. Rencana ini juga mengubah kegagalan mencapai kemenangan militer menjadi upaya kemenangan politik melalui tekanan negosiasi dan syarat-syarat penyerahan yang dibungkus halus. Dengan cara ini, tujuan yang sama dicapai — hanya dengan tempo bertahap dan kemasan yang lebih rapi. Dengan bahasa propaganda, ini tidak lebih dari “penamaan ulang terhadap hal yang sama.”
Yang lebih berbahaya, rencana ini menargetkan jantung masyarakat Palestina dari dalam. Ia mengkriminalisasi perlawanan, membenarkan pendudukan dan pembunuhan massal dengan dalih “memerangi terorisme”, bahkan menawarkan “amnesti” kepada para pejuang asalkan mereka menerima konsep “hidup berdampingan secara damai”.
Alangkah ironisnya: para penjahat perang menawarkan pengampunan kepada mereka yang melakukan perlawanan sah terhadap salah satu bentuk pendudukan paling brutal dalam sejarah. Ini adalah upaya untuk menghapus legitimasi perlawanan dan makna sejati kemerdekaan melalui “narasi reformasi” dan “dialog deradikalisasi” yang tercantum dalam rencana itu — sebuah usaha menjinakkan ingatan kolektif dan menanamkan narasi baru dalam pendidikan: menjadikan pendudukan sebagai “Kakak Besar”, seperti dalam novel 1984 karya George Orwell.
Rencana ini sejatinya adalah upaya penyusunan ulang identitas, agar orang-orang Palestina berhenti memikirkan tanah air mereka yang dirampas akibat Nakba dan pendudukan, dan melupakan hak untuk kembali serta menentukan nasib sendiri.
Selain itu, rencana ini juga menargetkan hak rakyat Palestina untuk menjadi penentu dalam urusan mereka sendiri, dan hak agar perlawanan — dalam arti luas, bukan sebatas gerakan bersenjata — tetap menjadi unsur penyeimbang yang mencegah kehancuran struktur sosial mereka.
Rencana ini melucuti seluruh otoritas pengambil keputusan Palestina, baik Otoritas Palestina maupun faksi perlawanan. Aneh rasanya ketika Otoritas Palestina — yang secara eksplisit dikecualikan dari rencana tersebut melalui pembentukan “dewan supranasional” sebagai satu-satunya pihak perwakilan — justru menyambutnya dengan hangat, seolah menyetujui vonis pembubaran dirinya sendiri. Apakah ini kebodohan politik, ataukah sikap terpaksa? Keduanya berbahaya. Sebab rencana ini pada dasarnya mengosongkan lembaga-lembaga otoritas dari makna dan fungsi, serta mematikannya secara perlahan melalui program “reformasi” tanpa akhir.
Ini bukan sekadar perang istilah, melainkan pertarungan untuk mendefinisikan realitas. Apa yang dilakukan rencana ini adalah “mengganti bingkai” persoalan — memindahkan isu Palestina dari bingkai perjuangan pembebasan nasional dari pendudukan ke bingkai “pemberantasan ekstremisme”, “perang melawan teror”, dan “pengelolaan hari setelahnya.”
Ini adalah resep bagi manipulasi dan penaklukan, dengan meminjam bahasa hukum untuk menutupi tindakan yang tidak memiliki dasar hukum internasional. Tidak ada dalam rencana ini rujukan yang mengikat secara hukum, tidak ada mekanisme hukuman bagi pihak yang melanggar, dan tidak ada jaminan eksternal yang memberi peran sejajar bagi korban sebagai pihak yang berhak, bukan sekadar objek.
Karena itu, Gaza harus membaca dokumen ini dengan pelajaran dari pengalamannya sendiri, dan memperkuat sikapnya agar tidak terseret ke dalam jebakan “komitmen berjenjang” yang akan mengosongkan makna perjuangannya. Setiap formula yang memisahkan Gaza dari Tepi Barat dan melahirkan bentuk pemerintahan tanpa arah politik adalah resep untuk perpecahan dan likuidasi. Setiap pengaturan keamanan yang memberi Israel hak mendefinisikan “ancaman” berarti mempertahankan pendudukan langsung dan melanjutkan genosida. Dan setiap “peta politik” yang tidak menjamin penarikan penuh dengan batas waktu yang mengikat di bawah pengawasan hukum internasional yang nyata hanyalah bentuk penipuan politik.
Saya tahu, rakyat Gaza menginginkan berakhirnya pembantaian — sekarang, bukan besok. Itu juga keinginan setiap orang hidup dan berhati nurani di luar Gaza. Tak diragukan, banyak niat tulus di ibu kota-ibu kota Arab dan Muslim untuk menghentikan perang dan menolong para korban. Namun, jalan menuju neraka sering kali dipenuhi dengan niat baik. Pertanyaannya bukan “apakah kita ingin menghentikan perang?” — sebab jawabannya sudah pasti “ya”. Pertanyaannya adalah: dengan harga apa, melalui perjanjian apa, dan di bawah jaminan siapa? Siapa yang dapat memastikan bahwa penyerahan tawanan atau kelonggaran terhadap sebagian pasal dalam rencana itu akan benar-benar menghentikan pembantaian? Terutama ketika inti dari rencana ini justru bertujuan melucuti kemampuan perlawanan yang tersisa, sementara Israel tetap menjadi pihak yang berhak menentukan arti “ancaman” dan “komitmen.”
Rencana ini, pada hakikatnya, tidak menjamin berakhirnya perang. Satu-satunya “jaminan” hanyalah penghentian sementara operasi militer sampai para tawanan Israel dibebaskan.
Itulah yang segera didorong oleh Presiden Trump bahkan tanpa menunggu diskusi lebih lanjut tentang usulan Hamas — karena pada dasarnya, tidak ada jaminan nyata selama kekuatan militer penentu tetap berada di tangan pihak yang bisa kapan saja kembali menggunakan kekerasan. Selama penarikan pasukan pendudukan dikaitkan dengan laporan-laporan lapangan yang ditafsirkan oleh Israel sendiri, dan selama pasukan internasional yang diusulkan untuk “menjaga perdamaian” akan dipimpin oleh Amerika Serikat — bukan untuk menjaga perdamaian atau memisahkan pihak yang bertikai, tetapi untuk memburu para pejuang dan membongkar sisa kemampuan militer mereka atas nama pasukan pendudukan — maka Israel tetap akan memegang hak untuk menyerang kapan pun ia mau.
Karena itulah, wacana “penghentian perang” — sekalipun terjadi — akan rapuh dan tidak dapat diandalkan. Siapa yang bisa menjamin bahwa rencana yang disusun hanya oleh Amerika dan Israel, tanpa landasan hukum PBB, tanpa dukungan politik Arab–Islam yang tegas, serta tanpa keterlibatan nyata pihak Palestina, benar-benar akan menghentikan genosida?
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera