Penghentian Perang dan Upaya Israel untuk Menampilkan Dirinya Kembali (Bagian Pertama)
Oleh ; Mahmud Ar Rantissi (Peneliti dan Penulis Palestina)
Artikel Penghentian Perang dan Upaya Israel untuk Tampil Kembali ini masuk dalam Kategori Analisa
Salah satu poin dalam usulan Amerika Serikat yang disampaikan kepada Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) — saat delegasi negosiasi Hamas, yang terdiri atas sejumlah pemimpinnya, dibombardir di Doha ketika sedang membahas isi usulan tersebut — adalah “pendefinisian ulang terhadap Hamas”. Namun, yang menarik dan ironis, proses pendefinisian ulang justru sedang berlangsung di pihak lain, yaitu negara pendudukan Israel itu sendiri.
Setelah berbagai langkah politik dan militer yang dilakukan oleh Hamas, serta setelah menampilkan model baru dalam perlawanan dan negosiasi hingga putaran terakhir di Sharm el-Sheikh, tampak bahwa Hamas terus memperkuat posisinya dalam keseimbangan kekuatan dan mempertegas kehadirannya secara politik. Sementara itu, proses pendefinisian ulang terhadap Israel akan terus berlanjut — baik perang berakhir berdasarkan kesepakatan terakhir maupun jika pertempuran dimulai kembali.
Sejarah Pendefinisian Ulang
Sepanjang sejarah berdirinya entitas negara pendudukan Israel, selalu ada tuntutan agar Israel dikenai proses pendefinisian ulang. Tuntutan itu datang dari kalangan Arab dan Palestina yang ingin menegaskan bahwa Israel adalah kekuatan kolonial yang harus dihapus, dan juga dari kalangan Israel dan Zionis yang justru ingin menjadikan Israel berada dalam keadaan pendefinisian ulang yang berkelanjutan demi memperluas kekuasaannya dan memperbesar kekuatannya.
Saya tidak akan membahas di sini proses pendefinisian ulang yang dilakukan oleh kalangan Israel yang bertujuan memperluas proyek kolonial dan memperkuat pengaruhnya, atau mereka yang mendasarkannya pada ideologi “negara Yahudi.” Saya ingin menyoroti proses pendefinisian ulang terhadap Israel yang justru mengarah pada kemunduran dan kehancurannya. Sebab sejak berdirinya negara pendudukan ini pada tahun 1948, selalu ada suara yang menyerukan hal itu.
Para sejarawan dan pemikir seperti Ghassan Kanafani, Edward Said, dan Abdul Wahhab Al-Masiri — serta banyak sejarawan Palestina lainnya — telah menulis bahwa Israel harus didefinisikan sebagai entitas kolonial yang berfungsi untuk melayani kekuatan penjajahan. Dalam literatur politik perjuangan Palestina, para pemimpin perjuangan seperti Hajj Amin Al-Husseini, Yasser Arafat, Khalil Al-Wazir, George Habash, Ahmad Yasin, dan Abdul Aziz Ar-Rantisi, semuanya menegaskan dalam pidato dan pernyataannya bahwa Israel adalah negara kolonial penjajah.
Namun, meskipun pandangan itu menguat, pada akhir abad ke-20 Israel justru tampak berada dalam posisi naik dalam proses pendefinisian ulang. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator, seperti keputusan Majelis Umum PBB pada Desember 1991 yang mencabut ketetapan bahwa Zionisme merupakan salah satu bentuk rasisme. Sejak Perjanjian Oslo tahun 1993, Israel berhasil menciptakan lingkungan yang mendukung proses pendefinisian ulang yang bersifat ekspansif, dan mencapai puncaknya melalui penandatanganan Perjanjian Abraham pada tahun 2020.
Namun, perang Gaza membawa titik balik yang tajam dalam proses tersebut. Proses pendefinisian ulang yang diinginkan Israel berhenti, dan muncul proses baru yang sama sekali berbeda — yaitu pendefinisian ulang yang mengarah pada kemerosotan dan kemunduran, bukan pada dominasi dan ekspansi.
Meskipun Israel tampak masih mampu menggunakan kekuatannya di beberapa front, namun belum pernah proses pendefinisian ulang yang bersifat negatif terhadap Israel menjadi sekuat sekarang, terutama setelah Operasi “Badai Al-Aqsa” pada 7 Oktober dan seluruh perkembangan yang mengikutinya.
Beberapa minggu setelah 7 Oktober, nama Israel mulai dikaitkan dengan kekejaman, dan kemudian dengan genosida. Setelah serangan terhadap Doha, terlihat jelas bahwa sejumlah negara — termasuk Qatar dan Pakistan — mulai menggunakan istilah “negara pembangkang” (Rogue State) untuk menyebut Israel.
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, menyebut Israel sebagai negara pembangkang. Sementara itu, utusan Pakistan untuk PBB, Asim Iftikhar Ahmad, mengatakan: “Israel adalah negara pembangkang yang tidak bertanggung jawab dan telah melakukan bentuk terburuk dari terorisme selama puluhan tahun di Jalur Gaza dan wilayah pendudukan Palestina.”
Istilah “negara pembangkang” sebelumnya lazim digunakan dalam wacana Amerika Serikat sebagai bentuk hukuman dan cap terhadap negara-negara yang ingin ditekan oleh Washington. AS menggunakan istilah itu untuk negara-negara yang dianggap bermusuhan terhadap perdamaian dan menentang kebijakan tatanan internasional. Hampir semua presiden AS menggunakannya terhadap lawan-lawannya — baik Uni Soviet, Iran, maupun Korea Utara. Namun kini, istilah itu justru melekat pada sekutu terpenting AS, yaitu Israel.
Selain istilah Rogue State, muncul pula istilah “negara terbuang” (Pariah State), yang berarti negara yang mengalami isolasi diplomatik dan penghinaan moral yang luas di tingkat internasional karena melanggar hukum internasional dan melakukan kejahatan perang. Sepanjang tahun 2024 dan 2025, istilah ini semakin sering digunakan untuk menggambarkan negara pendudukan Israel.
Hal yang penting di sini adalah bahwa sebuah negara atau entitas tidak dengan mudah menjadi negara pembangkang atau terbuang. Proses ini kompleks dan biasanya memakan waktu panjang. Namun dalam kasus Israel, perubahan pandangan dunia dari negara “demokratis dan maju” menjadi negara pembangkang dan terbuang terjadi dengan sangat cepat — lebih cepat daripada kemampuannya untuk menghadapinya.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber: Al Jazeera