Penghentian Perang dan Upaya Israel untuk Menampilkan Dirinya Kembali (Bagian Kedua)
Oleh ; Mahmud Ar Rantissi (Peneliti dan Penulis Palestina)
Artikel Penghentian Perang dan Upaya Israel untuk Tampil Kembali ini masuk dalam Kategori Analisa
Proses Pendefinisian Ulang
Ketika kita berbicara tentang pendefinisian ulang terhadap suatu entitas, itu berarti mencabut dan menambahkan sifat-sifat baru sehingga entitas tersebut menjadi berbeda dari bentuk semula yang ia tampilkan atau yang dibayangkan tentangnya.
Proses ini biasanya melibatkan keraguan terhadap legitimasi entitas itu, perubahan identitasnya, serta munculnya krisis dan tekanan internal maupun eksternal. Dengan demikian, pendefinisian ulang mencakup peninjauan ulang konsep dan kerangka berpikir, lalu menafsirkannya kembali dalam konteks baru.
Misalnya, konsep seperti legitimasi internasional, kedaulatan, dan keanggotaan dalam sistem internasional kini tengah ditafsir ulang di tengah perang genosida, pelanggaran perjanjian, dan kesengajaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Seruan yang semakin meningkat untuk menangguhkan atau mengeluarkan Israel dari PBB berdasarkan Pasal 6 Piagam PBB — karena dituduh melanggar piagam dan melakukan kejahatan di Gaza, atau terus menolak menjalankan resolusi-resolusi internasional — merupakan salah satu contoh paling nyata. Seruan-seruan ini mendapat dukungan luas, menegaskan isolasi Israel yang semakin dalam, dan mencerminkan perkembangan besar bukan hanya dalam citra Israel, tetapi juga dalam proses pendefinisian ulangnya.
Seperti diketahui, proses pendefinisian ulang terhadap suatu entitas politik, jika mencakup keraguan mendasar terhadap legitimasi dan identitas moralnya, disertai dengan pelabelan sebagai entitas rasis, agresif, dan pelaku kejahatan, maka hal itu secara mendasar membingkai ulang entitas tersebut.
Perang Gaza telah membuka ruang luas untuk mempertanyakan legitimasi eksistensi negara pendudukan Israel, menyingkap wajah sebenarnya yang memicu dunia untuk meninjau kembali prinsip dan dasar pembentukannya.
Banyak orang mulai mencari jawaban atas pertanyaan “bagaimana ketidakadilan ini bermula?” Banyak penulis menegaskan bahwa Badai Al-Aqsa telah menyingkap fondasi kolonial Israel dan membongkar ilusi narasi pendiriannya. Penyebaran cepat slogan “Palestina dari sungai hingga laut” di ibu kota-ibu kota Barat menjadi salah satu bukti nyata dari dampak tersebut.
Setelah tahap keraguan terhadap identitas dan pendirian, bila proses pendefinisian ulang berlanjut ke tahap penerapan langkah-langkah isolasi hukum dan diplomatik — melalui sanksi dan boikot — maka itu mendekati tahap ketiga: pembongkaran fondasi kekuatan. Tahap ini biasanya disertai gejolak sosial dan guncangan pada kontrak sosial entitas tersebut. Hal ini tampak jelas terjadi pada negara pendudukan Israel: meningkatnya sanksi diplomatik, perdagangan, dan budaya, serta perpecahan sosial yang semakin dalam dalam struktur masyarakatnya.
Perlawanan terhadap Proses Pendefinisian Ulang
Meskipun proses pendefinisian ulang terhadap negara pendudukan Israel berlangsung dengan cepat dan besar skalanya, negara pendudukan tersebut masih berupaya melawan proses pendefinisian ulang yang bersifat negatif ini. Dalam konteks ini, Israel mengandalkan sejumlah cara, di antaranya memperlambat proses pendefinisian ulang melalui praktik penyesatan dan propaganda, serta dengan membeli pengaruh para figur publik, sebagaimana terlihat dari pernyataan Netanyahu tentang pentingnya para influencer di platform TikTok dan X (Twitter) dalam membela citra Israel.
Jalur kedua yang diandalkan adalah bergantung pada sekutu-sekutu kuat. Netanyahu mengklaim, satu minggu lalu, setelah pertemuannya dengan Trump — di mana Trump memaparkan rencananya yang terdiri atas 20 butir untuk menghentikan perang — bahwa ia berhasil mengisolasi Hamas dan membuat dunia menekan gerakan itu agar menerima syarat-syarat Israel untuk menghentikan perang.
Netanyahu secara tegas mengatakan:
“Alih-alih Hamas yang mengisolasi kita, kita yang membalikkan keadaan dan mengisolasi Hamas. Seluruh dunia, termasuk dunia Arab dan Islam, kini menekan Hamas agar menerima syarat-syarat yang kami tetapkan bersama Presiden Trump.”
Kata terakhir — Trump — memiliki makna penting di sini, karena menunjukkan bagaimana negara pendudukan Israel bergantung pada aliansinya dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat untuk menghindari isolasi, dan dengan demikian mencegah sempurnanya proses pendefinisian ulang tersebut.
Namun bahkan dalam hal ini, pernyataan Trump setelah tanggapan positif Hamas terhadap usulannya — bahwa “Israel tidak mungkin memerangi seluruh dunia” — menegaskan bahwa dukungan Amerika Serikat memiliki batas. Ini merupakan poin penting yang, bersama dengan indikasi lain seperti menurunnya dukungan terhadap Israel di kalangan Partai Republik, menandakan adanya perubahan arah dalam jalur kedua ini.
Dua Proses Pendefinisian Ulang
Negara pendudukan Israel, sebelum dan selama perang Gaza, juga sedang mengalami proses pendefinisian ulang identitasnya sebagai “negara Yahudi.” Hal ini terlihat dari Undang-Undang Nasionalitas tahun 2018, ketika Israel menyatakan dirinya sebagai “negara bagi bangsa Yahudi.” Selain itu, Israel juga sedang mendefinisikan ulang batas-batasnya melalui aneksasi Tepi Barat dan Yerusalem, memperluas permukiman, serta menciptakan realitas baru dengan menduduki wilayah dari negara-negara lain.
Dengan pecahnya perang Gaza, negara pendudukan ini mengalami kepanikan dan bertindak secara kacau karena dorongan untuk memulihkan kemampuan pencegahannya. Israel membuka banyak front di Suriah, Lebanon, Iran, dan Yaman, selain di Gaza, dan menafsirkan semua itu sebagai bagian dari proses pendefinisian ulang yang dimaksudkan untuk mengubah kawasan secara keseluruhan.
Pada titik ini, dengan menegaskan jalur pendefinisian ulang yang diinginkan oleh Israel untuk melayani kepentingan dan pengaruhnya, perlu ditegaskan sebuah konsep strategis: bahwa setiap peralihan ke medan baru menjadikan struktur suatu entitas berada pada titik terlemahnya. Ini juga merupakan konsep militer — seperti yang dikatakan oleh Clausewitz — bahwa pasukan berada pada kondisi paling lemah ketika sedang dalam proses perpindahan. Begitu pula, fase reorganisasi dan penataan kembali selalu menjadi momen yang sarat risiko.
Dengan demikian, negara pendudukan Israel pada saat yang berbahaya ini tetap bersikeras melanjutkan jalur pendefinisian ulang dari sudut pandangnya, sementara secara global tengah muncul arus besar yang justru mendorong proses pendefinisian ulang yang berbeda — yang terkait dengan arah kemunduran dan peluruhan.
Tampaknya dinamika jalur ini akan terus berkembang dan bereaksi setelah apa yang terjadi dalam perang Gaza, tanpa bergantung pada bagaimana perilaku Israel setelahnya.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber: Al Jazeera