Mengapa Gaza Masih Memandang ke Laut untuk Kedamaian Sejati
Oleh : Sara Awad (Mahasiswi Sastra Inggris, Penulis yang Berbasis di Gaza)
Artikel Mengapa Gaza Masih Memandang ke Laut untuk Kedamaian Sejati ini diarsipkan di Kategori Analisa
Mungkin ada gencatan senjata di darat, tetapi pengepungan belum berakhir. Kami masih membutuhkan armada kebebasan.
Pada 10 Oktober, gencatan senjata di Gaza diumumkan secara resmi. Media internasional dengan cepat menyoroti apa yang kini mereka sebut sebagai “rencana perdamaian”. Presiden Amerika Serikat Donald Trump, kata mereka, akan pergi ke Kairo untuk mengawasi perjanjian itu, lalu ke Israel untuk berpidato di Knesset. Mereka juga melaporkan bahwa serangan udara di atas Gaza telah berhenti.
Bom memang berhenti, tetapi penderitaan kami belum. Realitas kami tidak berubah. Kami masih berada di bawah pengepungan. Israel masih sepenuhnya mengendalikan udara, darat, dan laut kami; masih melarang warga Palestina yang sakit dan terluka untuk keluar, serta mencegah jurnalis, penyelidik kejahatan perang, dan aktivis untuk masuk. Mereka masih menentukan makanan apa, obat apa, dan barang penting apa yang boleh masuk.
Pengepungan ini telah berlangsung lebih dari 18 tahun, membentuk setiap detik kehidupan kami. Aku telah hidup di bawah blokade ini sejak berusia tiga tahun. Jenis perdamaian seperti apa ini, bila masih terus menolak kebebasan yang dimiliki semua orang lain?
Berita tentang kesepakatan gencatan senjata dan “rencana perdamaian” menutupi perkembangan lain yang jauh lebih penting. Israel menyerbu armada kemanusiaan lain di perairan internasional yang membawa bantuan untuk Gaza, menculik 145 orang di dalamnya — sebuah kejahatan menurut hukum internasional. Ini terjadi hanya beberapa hari setelah Israel menyerang Global Sumud Flotilla, menahan lebih dari 450 orang yang berusaha mencapai Gaza.
Armada-armada itu membawa lebih dari sekadar bantuan kemanusiaan. Mereka membawa harapan akan kebebasan bagi rakyat Palestina. Mereka membawa visi tentang perdamaian sejati — di mana rakyat Palestina tidak lagi dikepung, diduduki, dan dirampas haknya.
Banyak yang mengkritik armada kebebasan, dengan alasan bahwa mereka tidak akan membawa perubahan karena pasti akan dicegat. Aku sendiri dulu tak terlalu memperhatikan gerakan ini. Aku kecewa dan telah kehilangan harapan untuk melihat akhir dari perang ini.
Namun itu berubah ketika jurnalis Brasil Giovanna Vial mewawancaraiku. Giovanna menulis artikel tentang kisahku sebelum berlayar bersama Sumud Flotilla. Ia kemudian menulis di media sosial: “Untuk Sara, kami berlayar.” Kata-katanya dan keberaniannya membangkitkan sesuatu dalam diriku.
Setelah itu aku terus mengikuti berita flotilla, membaca setiap pembaruan dengan harapan. Aku menceritakannya kepada kerabat, membaginya dengan teman-temanku, dan mengingatkan siapa pun yang mau mendengarkan betapa luar biasanya gerakan ini. Aku terus bertanya-tanya — bagaimana mungkin, di dunia yang begitu sarat ketidakadilan, masih ada orang yang rela meninggalkan segalanya dan mempertaruhkan hidup mereka demi orang yang belum pernah mereka temui, demi tempat yang belum pernah mereka kunjungi.
Aku tetap berhubungan dengan Giovanna. “Sampai napas terakhirku, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” tulisnya kepadaku saat berlayar menuju Gaza. Di tengah kegelapan yang begitu pekat, ia menjadi cahaya.
Itulah pertama kalinya dalam dua tahun aku merasa kami didengar. Kami dilihat.
Sumud Flotilla adalah armada terbesar dalam sejarah gerakan itu, tetapi bukan tentang berapa banyak kapal atau orang di dalamnya, atau seberapa besar bantuan yang mereka bawa. Itu tentang menyoroti Gaza — memastikan bahwa dunia tak bisa lagi memalingkan muka.
“Tetap semua mata tertuju pada Gaza,” demikian bunyi salah satu unggahan di akun resmi Instagram flotilla. Kalimat itu melekat di pikiranku; aku membacanya di malam yang begitu berat ketika suara bom di Kota Gaza tak henti mengguncang. Malam itu tepat sebelum aku harus melarikan diri dari rumah karena serangan brutal Israel.
Israel menghentikan armada-armada itu. Mereka menyiksa dan mendeportasi para peserta. Mereka menyita bantuan. Mereka mungkin berhasil mencegah kapal-kapal itu mencapai pantai kami, tetapi mereka gagal menghapus pesan yang dibawanya — pesan tentang perdamaian, pesan tentang kebebasan, pesan yang telah kami tunggu selama dua tahun penuh penderitaan. Kapal-kapal itu ditangkap, tetapi solidaritas mereka sampai kepada kami.
Aku menyimpan begitu banyak rasa syukur di hati untuk setiap orang yang berpartisipasi dalam armada kebebasan. Aku berharap bisa menjumpai mereka satu per satu — untuk memberi tahu betapa besar arti keberanian, kehadiran, dan solidaritas mereka bagiku dan bagi kami semua di Gaza. Kami tidak akan pernah melupakan mereka. Kami akan membawa nama, wajah, dan suara mereka di hati kami selamanya.
Kepada mereka yang berlayar menuju kami: terima kasih. Kalian mengingatkan kami bahwa kami tidak sendirian.
Dan kepada dunia: kami tetap berpegang pada harapan. Kami masih menunggu — masih membutuhkan — lebih banyak armada yang datang. Datanglah kepada kami. Bantulah kami keluar dari penjara ini.
Pengeboman memang telah berhenti sekarang, dan aku hanya bisa berharap kali ini tidak akan dimulai lagi dalam beberapa minggu ke depan. Tapi kami belum memiliki kedamaian.
Pemimpin negara-negara dunia telah mengecewakan kami. Tapi tidak dengan rakyat dunia.
Suatu hari, aku yakin, kapal-kapal armada kebebasan itu akan mencapai pantai Gaza — dan kami akan benar-benar bebas.
Sumber : al Jazeera