Kisah Empat Tahanan Seumur Hidup yang Dibuang ke Gaza
Empat tahanan Seumur Hidup yang akan diceritakan ini adalah warga Palestina yang juga turut mendapatkan kebebasan dalam perjanjian gencatan senjata Gaza. Kisah mereka adalah kisah panjangnya perlawanan Palestina untuk merdeka
rezaervani.com – 14 Oktober 2025 – Gaza — Setelah bertahun-tahun menghabiskan hidup di penjara-penjara pendudukan Israel, puluhan tahanan Palestina yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup akhirnya menghirup udara kebebasan. Usia mereka telah berubah menjadi kisah tentang perlawanan di dalam sel, sebuah perjuangan untuk martabat meskipun dalam belenggu.
Di antara para tahanan yang dijatuhi hukuman seumur hidup dan kini telah merasakan kebebasan terdapat empat orang yang menjadi contoh nyata dari penderitaan para tahanan yang tidak pernah kehilangan harapan, yaitu: Samir Abu Na’mah, Mahmoud Issa, Baher Badr, dan Muhammad Abu Tubaykh.
Keempat orang ini dibebaskan setelah dipindahkan ke Mesir, namun wajah mereka memancarkan kelelahan bertahun-tahun dan kenangan kehilangan yang tak mungkin terhapus. Mereka keluar dari penjara Israel, tetapi meninggalkan di belakang mereka ratusan rekan seperjuangan, sebagian di antaranya masih menunggu kesepakatan pembebasan yang belum tiba waktunya.

Samir Abu Na’mah — “Dekan Para Tahanan”
Ketika Samir Abu Na’mah ditangkap pada tahun 1986, ia masih berusia 26 tahun, seorang pemuda yang telah meraih gelar sarjana manajemen perhotelan, namun juga seorang pejuang dalam barisan Gerakan Fatah, dan anggota dari sel militer yang melakukan serangan bom terhadap sebuah bus di Jaffa, sebagai bagian dari rangkaian operasi melawan pasukan pendudukan.
Penahanannya diputuskan setelah interogasi berat di penjara Maskubiyya di Yerusalem. Ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, berpindah dari satu penjara ke penjara lain di bawah kendali Israel, berpartisipasi dalam mogok makan dan turut memimpin aksi-aksi perlawanan di dalam penjara.
Selama di penjara, Samir menderita berbagai penyakit, menjalani enam operasi pembedahan, namun tetap tidak dibebaskan meskipun termasuk dalam kelompok tahanan yang ditangkap sebelum Perjanjian Oslo antara Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel pada tahun 1993.
Selama masa penahanannya, Samir kehilangan ibunya dan tiga saudara laki-lakinya, tanpa pernah diizinkan melihat atau mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Saudaranya, Walid, meninggal pada malam sebelum jadwal kunjungan pada tahun 2016, sementara sang ibu menunggu hingga akhir hayatnya. Kini, setelah 39 tahun dalam kurungan, Samir akhirnya kembali — meski bukan ke rumah, melainkan ke Gaza.

Komandan Unit Khusus — Mahmoud Issa
Mahmoud Mousa Issa bukan sekadar seorang tahanan Palestina. Ia merupakan teladan unik bagi sosok pejuang sekaligus intelektual, dengan salah satu pengalaman paling menonjol di bidang pemikiran dan organisasi dalam gerakan para tahanan Palestina.
Ia lahir di kota ‘Anata, distrik Yerusalem, pada 21 Mei 1968, dan tumbuh dalam keluarga yang religius. Ia termasuk di antara pemuda pertama yang bergabung dengan Brigade al-Qassam, sayap militer Gerakan Hamas, segera setelah didirikan. Di sanalah ia membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai “Unit Khusus 101”, yaitu sel pertama di Yerusalem yang ditugaskan menangkap tentara Israel untuk ditukar dengan tahanan Palestina.
Pada 13 Desember 1992, unit tersebut melancarkan operasi penculikan terhadap tentara Israel Nissim Toledano di dekat kota Lod, dan menahannya di sebuah gua dekat desa Hizma, dalam operasi yang diberi nama “Kesetiaan kepada Syaikh Ahmad Yasin”, pendiri dan pemimpin Hamas.
Tujuan dari operasi itu adalah menukarkan sang tentara dengan Syaikh Ahmad Yasin, yang saat itu masih ditahan oleh Israel. Namun, meskipun pertukaran gagal dan jasad sang tentara ditemukan tewas, operasi tersebut mengguncang institusi keamanan Israel, diikuti oleh gelombang besar penangkapan terhadap ribuan warga Palestina, serta pengusiran ratusan pemimpin Hamas dan Jihad Islam ke Marj az-Zuhur, di selatan Lebanon.
Namun Issa dan rekan-rekannya tetap melanjutkan operasi. Mereka menabrak seorang tentara Israel, Naoum Kohler, di kota Hadera pada Maret 1993, kemudian membunuh dua polisi Israel dalam operasi besar pada bulan yang sama, dan menembak seorang perwira Israel berpangkat kolonel di kota Ramla, menyebabkan luka serius.
Issa akhirnya ditangkap pada 3 Juni 1993 setelah berbulan-bulan menjadi buronan, dan mengalami interogasi berat di Yerusalem dan Ramla selama dua bulan. Ia dijatuhi tiga hukuman penjara seumur hidup plus 46 tahun. Dari masa tahanannya itu, ia menghabiskan 13 tahun dalam sel isolasi, tanpa diizinkan bertemu keluarganya.
Namun, tahun-tahun di penjara menjadi awal baru baginya, bukan akhir. Mahmoud Issa dikenal pula sebagai penulis dan pemikir, menerbitkan sejumlah karya yang memadukan kajian politik, analisis sosial, serta kritik sastra dan intelektual.

Baher Badr — Kenangan Penangkapan Massal
Pada Juli 2004, keluarga Badr tengah bersiap untuk pernikahan putra mereka, Baher, namun pendudukan Israel memutuskan bahwa minggu yang dinantikan itu akan berakhir dengan tragedi. Baher ditangkap dari rumah kakaknya di kota Ramla, hanya beberapa hari sebelum pesta pernikahannya, menandai awal dari kisah panjang penderitaan selama 21 tahun di balik jeruji.
Pengadilan Israel menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup sebanyak 12 kali setelah penyelidikan selama lebih dari empat bulan, dengan tuduhan bergabung dengan Brigade al-Qassam dan membantu pelaksanaan operasi syahid.
Namun Baher bukan satu-satunya anggota keluarga yang mengalami nasib itu. Saudaranya, Bahij Badr, ditangkap pada malam yang sama dan dijatuhi hukuman 18 kali penjara seumur hidup. Bahkan ibu mereka pun tidak luput dari penangkapan, beberapa minggu kemudian ia dipenjara dan diisolasi, meskipun dalam keadaan sakit kronis dan usia lanjut.

Muhammad Abu Tubaykh — Intelektual di Balik Jeruji
Di Jenin, kota yang tak pernah padam bara perlawanan, muncul sosok Muhammad Abu Tubaykh, seorang pejuang yang memadukan senjata dan ilmu pengetahuan. Ia pertama kali ditangkap pada tahun 1999, setelah menyelesaikan tahun pertamanya di universitas, namun segera kembali ke gelanggang perlawanan setelah dibebaskan. Ia kemudian bergabung dengan sayap militer Gerakan Jihad Islam, Saraya al-Quds, dan menjadi dekat dengan para komandan lapangan, terutama syahid Thabit Mardawi.
Pasukan pendudukan Israel kembali menangkap Abu Tubaykh pada 28 Juli 2002, setelah ia ikut menyiapkan bahan peledak dan berperan dalam pertempuran di Kamp Pengungsi Jenin. Pengadilan Israel menjatuhkan dua kali hukuman penjara seumur hidup ditambah 15 tahun tambahan.
Namun belenggu penjara tidak mampu menghalanginya untuk meraih kemenangan di bidang lain. Di balik jeruji, ia menyelesaikan tiga gelar sarjana dan menulis buku dua jilid berjudul “Darb al-Sadiqin” (“Jalan Orang-Orang Jujur”), yang mendokumentasikan kisah 42 tahanan Palestina.
Tak berhenti di situ, ia juga mengikuti program magister bidang studi Israel, menulis sejumlah penelitian ilmiah, dan akhirnya dikenal sebagai salah satu simbol kesadaran intelektual di dalam penjara-penjara Israel.
Pertukaran Tahanan Besar
Layanan Penjara Israel mengumumkan pada Senin kemarin bahwa pihaknya telah menyelesaikan proses pembebasan 1.986 tahanan Palestina, berdasarkan kesepakatan yang dicapai antara perlawanan Palestina dan Israel.
Dari jumlah tersebut, 250 orang merupakan tahanan yang dijatuhi hukuman seumur hidup atau hukuman berat lainnya, sementara 1.700 lainnya berasal dari Jalur Gaza, yang ditahan selama dua tahun masa perang terakhir.
Kantor Informasi Tahanan Hamas melaporkan bahwa 154 tahanan Palestina telah dibebaskan dan dipindahkan ke Mesir, sebagai pelaksanaan keputusan untuk mengasingkan mereka ke luar wilayah Palestina.
Sebagai imbalannya, Brigade al-Qassam membebaskan 20 tawanan Israel dan menyerahkan mereka kepada Komite Internasional Palang Merah, sebagai bagian dari tahap pertama perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel, yang merupakan bagian dari rencana Presiden AS Donald Trump.
Rencana tersebut mencakup penghentian perang, penarikan bertahap pasukan Israel, pertukaran tahanan, serta masuknya bantuan kemanusiaan secara segera ke Jalur Gaza.
Sumber: Al Jazeera