Faksi-faksi Perlawanan dan Jawaban atas Pertanyaan-pertanyaan Penting (Bagian Pertama)
Arib al-Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania – Direktur Pusat Studi Al-Quds untuk Kajian Politik)
Artikel Faksi-faksi Perlawanan dan Jawaban atas Pertanyaan-pertanyaan Penting ini adalah Analisa yang cukup dalam dari Arib al-Rantawi tentang gambaran besar kondisi politik yang dihadapi oleh Palestina setelah perjanjian gencatan senjata. Membongkar fatamorgana yang hendak dibuat oleh pihak Barat bahwa Gaza baik-baik saja setelahnya. Kami arsipkan dalam Kategori Analisa
Kita kini menjejakkan kaki kembali ke bumi, setelah Donald Trump membawa kita terbang tinggi di langit selama dua puluh empat jam yang menentukan. Kita akan kembali pada realitas politik, dengan segala kerumitannya, jurang-jurangnya yang dalam, serta peluang dan tantangan yang tersirat di dalamnya — setelah presiden Amerika itu larut dalam menyajikan bayangan dan “mimpi-mimpi” yang lahir dari pandangannya terhadap dirinya sendiri, dari “ego” yang menghuni dirinya, seolah-olah ia adalah pencipta keajaiban yang — meskipun datang paling akhir di zamannya — akan melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan para pendahulunya. Dengan permintaan maaf kepada “penyair para filsuf dan filsuf para penyair”, seorang yang layak menerima segala pujian dan penghargaan.
Begitulah Trump, dan begitulah ia berhasil memaksa para pemimpin dunia untuk memperhitungkan keinginannya dan menyesuaikan diri dengan pertimbangannya sendiri, jika mereka ingin menemukan kunci penyelesaian bagi berbagai krisis yang kini ia genggam di tangannya.
Sejak matahari terbit pada 13 Oktober hingga terbenamnya, pria itu telah berkata segalanya — ia tidak berhenti berbicara, baik yang pantas diucapkan maupun tidak. Namun dari semua kata-katanya itu, hanya ada satu kalimat yang benar-benar bermakna, yang telah ia siapkan dengan banyak pengantar dan basa-basi dari mimbar Knesset, dari KTT Sharm el-Sheikh, hingga di dalam pesawat kepresidenannya Air Force One: “Perang di Gaza telah berakhir.”
Sebuah kalimat yang telah ditunggu rakyat Palestina dengan kesabaran yang menjulang setinggi gunung, dengan keteguhan dan ketabahan yang tiada banding, serta dengan daftar panjang pengorbanan yang luar biasa.
Tanpa mengurangi makna “bersejarah” dari penghentian perang pemusnahan dan teror tersebut, janji-janji tentang “perdamaian abadi” — yang diklaim akan berlangsung selamanya, dari timur Mediterania hingga tepi Laut Kaspia — tidak mendapat sambutan. Sebab tak ada satu pun yang ia katakan atau isyaratkan yang menunjukkan bahwa ia memiliki “visi”, “rencana strategis”, atau “program kerja” yang menjadikan janjinya memiliki pijakan dan arah yang nyata.
Semuanya hanyalah kata-kata malam yang bisa terhapus oleh pagi hari, mimpi-mimpi seperti mimpi warga Gaza yang kini berhamburan bersama debu dan reruntuhan rumah mereka, saat mereka menengoknya untuk pertama kali sejak “Kereta Perang Gideon” bergerak menghancurkan dan membunuh di seluruh tanah Gaza dan apa (dan siapa) yang ada di atasnya.
Akhir dari Perang atau Akhir dari Babak Saja?
“Perang telah berakhir.” Kalimat itu diulang Trump berkali-kali. Benjamin Netanyahu pun terpaksa mengulanginya di belakangnya, dari mimbar Knesset, di hadapan Smotrich dan Ben Gvir (yang bertepuk tangan), setelah Tel Aviv kehilangan kendali atas keputusannya sendiri, sementara jerat Washington makin menekan lehernya. Kini, keputusan mengenai perang, perdamaian, dan penyelesaian dibuat di Amerika Serikat — bebas dari “bea tinggi” yang biasanya dibebankan pada inisiatif atau kebijakan impor, sekalipun “negara asalnya” adalah Israel.
“Perang telah berakhir.” Kalimat itu adalah kabar gembira yang turun menyejukkan pikiran, hati, dan nurani rakyat Palestina — meskipun di tengah kesedihan kehilangan dan penderitaan pengusiran berulang di tanah mereka, serta pemandangan kota-kota yang berubah menjadi reruntuhan.
Perang memang telah berakhir, dan hari-hari berdarah itu tidak akan berlanjut — setelah dua tahun dan dua hari penderitaan. Namun sebagian besar rakyat Palestina tahu dalam hati mereka bahwa ini bukanlah akhir dari seluruh perang, melainkan akhir dari babak yang paling berbahaya, paling panjang, dan paling ganas di antara babak-babak sebelumnya.
Ada “niat baik” dari sebagian atau banyak pihak yang datang ke Sharm el-Sheikh untuk menjadi saksi “hari bersejarah”. Sebagian datang untuk menyenangkan Trump, agar wajah mereka muncul di latar “foto bersejarah”. Sebagian lainnya datang seperti “alat peraga” dalam pelajaran sekolah dasar, untuk memperlihatkan keberhasilan sang pemimpin kuat dalam “memadamkan tujuh perang”, dan menjadi saksi pemadaman api perang yang paling lama dan paling sulit.
Sebagian lagi datang untuk menyelesaikan tugas yang telah mereka mulai sejak 7 Oktober — seperti para mediator “trio perantara” atau negara-negara Arab dan Islam yang mendukung mereka.
Tidak diketahui apakah sebagian dari niat baik itu berhasil menyentuh hati, pikiran, dan nurani pemimpin negara adidaya tersebut.
“Dokumen Perdamaian dan Kemakmuran” yang ditandatangani oleh empat mediator itu tidak lebih dari sekadar deklarasi niat yang longgar. Siapa pun yang membaca dengan cermat akan melihat bahwa banyak upaya telah dilakukan untuk mengeluarkannya dalam bentuk yang menyenangkan semua pihak — baik yang hadir maupun yang absen dari pertemuan Sharm el-Sheikh — namun pada saat yang sama menimbulkan keberatan dari semua pihak juga.
Dalam dokumen itu, penolakan terhadap ekstremisme dikaitkan dengan penolakan terhadap rasisme — dan ketika kata itu muncul di mana pun, tak ada makna lain selain Israel.
Dokumen tersebut berbicara tentang masa depan bersama yang aman dan makmur bagi semua, termasuk bagi rakyat Palestina, dan mendorong untuk “membangun di atas warisan perdamaian Abraham”, tanpa menyebutkannya secara langsung.
Namun “badai pidato dan pernyataan panjang” yang dihamburkan Trump ke kawasan ini dan yang memenuhi telinga rakyat dan pemimpinnya, tetap tidak memuat satu kalimat kunci: mengakhiri pendudukan dan memberi rakyat Palestina hak menentukan nasib sendiri serta mendirikan negara merdeka.
Tak ada penyebutan mengenai solusi dua negara, kecuali satu kali — itu pun dalam konteks penolakan, bukan pengakuan. Seolah persoalan itu hanyalah isu sekunder, tak lagi menempati urutan teratas dalam agenda regional maupun global.
Penolakan Israel terhadap hak-hak rakyat Palestina tidak hanya keluar dari mulut Netanyahu dan para sayap kanannya yang ekstrem, tapi juga dari Yair Lapid — sang “merpati perdamaian” — yang berkata bahwa bangsa Arab belum membaca laporan intelijen Israel terpenting: Kitab Kejadian, yang menetapkan bahwa “Tanah yang Dijanjikan” adalah milik eksklusif “umat pilihan Tuhan”.
Menariknya, setiap “tindakan baik” yang diingat Netanyahu dalam pidato sambutannya untuk “sahabat terbesar Israel” itu justru menjadi penyebab semakin dalamnya ketidakstabilan di kawasan. Semua tindakan itu, jika dikumpulkan, menjadi pemicu “Badai al-Aqsa” — setelah semua jalan menuju penyelesaian, kompromi, dan diplomasi tertutup rapat.
Pengakuan atas Yerusalem sebagai “ibu kota abadi dan bersatu” Israel serta pemindahan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke sana; pengakuan atas kedaulatan Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki; pengakuan atas hak Israel untuk menguasai dan membangun permukiman di “Yudea dan Samaria” sebagai bagian dari “Tanah Israel” dan tanah asalnya; penolakan terhadap gelombang solidaritas dunia bersama Gaza dan banjir pengakuan atas negara Palestina; serta pembendungan kecaman global terhadap kebiadaban Israel dan pengabaian terhadap kehendak masyarakat internasional — semua tindakan itu, tanpa terkecuali, menjadi faktor utama memperumit krisis dan menghancurkan peluang perdamaian.
Setiap tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap sejarah, keadilan, dan hukum internasional — yang seharusnya mengantarkan pelakunya ke Den Haag, tempat pengadilan, bukan ke Oslo, tempat penghargaan Nobel diberikan.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera