Faksi-faksi Perlawanan dan Jawaban atas Pertanyaan-pertanyaan Penting (Bagian Kedua)
Arib al-Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania – Direktur Pusat Studi Al-Quds untuk Kajian Politik)
Artikel Faksi-faksi Perlawanan dan Jawaban atas Pertanyaan-pertanyaan Penting ini masuk dalam Kategori Analisa
Hari Berikutnya Telah Dimulai
Kini di hadapan kita ada dua dokumen: Inisiatif Dua Puluh Butir dan Janji Perdamaian dan Kemakmuran dari Syarm asy-Syaikh. Keduanya nyaris hanya cukup untuk menangani berkas perang di Gaza — dengan segala perkembangan dan akibatnya — tanpa mampu menyentuh perkara yang lebih besar: kisah “perdamaian abadi” antara Palestina dan Israel. Selain itu, kita tidak memiliki dasar kokoh untuk berpijak atau membangun sesuatu di atasnya.
Inisiatif Trump, yang kini hampir menuntaskan tahap pertamanya, memerlukan perundingan panjang untuk setiap butirnya. Ketidakjelasan isi dokumen itulah yang membuatnya diterima secara “bersyarat dan penuh kehati-hatian” oleh berbagai pihak. Apa pun yang tercantum di dalamnya terkait isu Palestina dan Otoritas Palestina sebenarnya hanya dimasukkan untuk menyenangkan “Kelompok Delapan” Arab–Islam.
Namun jelas bahwa dokumen tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya unsur penyelesaian final. Ia juga mengabaikan “landasan internasional” yang telah disepakati untuk solusi menyeluruh dan permanen, dan hanya menyinggung — secara samar dan terpotong — aspirasi rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan mendirikan negara.
Kembalinya Otoritas Palestina ke Gaza pun disebut dengan syarat-syarat yang sepenuhnya disesuaikan dengan “buku panduan” Amerika–Israel. Itu bukanlah dasar bagi perdamaian berkelanjutan, bahkan tidak layak dijadikan pintu pembuka bagi perundingan baru.
Rakyat Palestina dan faksi-faksi perlawanan menerima rencana itu — atau lebih tepatnya, menyerahkan persetujuan mereka dengan terpaksa — pada dua poin saja yang diberikan secara pribadi kepada Donald Trump: soal tawanan dan soal pengunduran diri dari pemerintahan Gaza.
Namun bagaimana dengan seluruh isu lainnya?
Bagaimana dengan “Pasukan Penstabil Regional”? Bagaimana dengan senjata perlawanan, nasib para pejuang dan komandannya? Bagaimana dengan “hari berikutnya” — siapa yang akan memerintah Gaza dan bagaimana cara memerintahnya? Apakah akan ada bentuk mandat Barat baru atas wilayah Palestina ini? Bagaimana proses bantuan kemanusiaan, pemulihan awal, dan rekonstruksi akan dijalankan?
Sampai sejauh mana bantuan itu akan dijadikan alat untuk mencapai tujuan perang sebagaimana dirancang oleh Tel Aviv dengan dukungan penuh Gedung Putih?
Apa pun jawabannya, “hari berikutnya” perang Gaza telah dimulai — tepat ketika kesepakatan pertukaran tawanan berakhir. Bahkan beberapa jam sebelumnya, ketika tentara pendudukan mulai mundur dari separuh wilayah Gaza (dan disebut bahwa penarikan sebenarnya lebih besar dari itu), serta ketika lembaga-lembaga pemerintahan di Gaza mulai kembali menjalankan fungsi-fungsi dasar mereka — terutama dalam menjaga keamanan, menekan kekacauan geng, agen, dan milisi-milisi kolaborator yang bekerja untuk musuh.
Langkah-langkah ini bersifat sementara — belum diketahui apakah akan berlanjut, sejauh mana, dan bagaimana. Yang menarik, Trump dari pesawat kepresidenannya mengatakan bahwa ia tahu apa yang terjadi dan bahwa ia telah memberikan “izin” untuk hal itu, dengan dalih sebagai pengaturan sementara untuk mencegah kekacauan dan menjaga keamanan. Tidak jelas apakah ia berkata jujur atau sekadar menghindari rasa malu, setelah ia menyebut serangkaian angka yang saling bertentangan mengenai jumlah korban dari Hamas — kadang 80 ribu pejuang, kadang 60 ribu.
Angka tak ada maknanya bagi Trump, sebab ia berbicara semata mengikuti lintasan pikirannya sendiri dan sesuai dengan tujuan sesaatnya.
Namun langkah-langkah cepat di lapangan yang diambil oleh perlawanan di Gaza tidak membebaskannya dari kewajiban untuk segera dan serius menjawab pertanyaan-pertanyaan fase mendatang — fase yang mungkin paling sensitif dan berbahaya sejak berdirinya Hamas empat dekade lalu.
Hari berikutnya telah dimulai, dan perebutan untuk menentukan bentuknya sudah dimulai sejak awal. Maka tibalah waktunya bagi perlawanan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul — terutama karena jerat yang dililitkan Trump di leher Netanyahu kini memiliki padanan di leher perlawanan dan para pemimpinnya. Tidak ada seorang pun yang memiliki “kemewahan” untuk bergerak bebas tanpa mempertimbangkan keseimbangan kekuatan, kepentingan, dan prioritas yang saling bertentangan di sekelilingnya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang hari berikutnya terbagi menjadi dua jenis: jangka pendek dan jangka panjang.
Kini kita tahu bahwa keputusan Hamas untuk mundur dari pemerintahan Gaza adalah keputusan final — bahkan mendahului Inisiatif Trump dan dua tahap “Kereta Perang Gideon”. Maka bagaimana nasib lembaga-lembaga “pemerintahan de facto” di Gaza? Apakah akan digabung ke dalam pemerintahan baru, sepenuhnya atau sebagian, atau justru dibubarkan dan “dipulangkan ke rumah”?
Apa nasib senjata perlawanan — apakah akan “dibekukan”, diserahkan kepada pihak Arab, atau dibedakan antara senjata “ofensif” dan “defensif”?
Bagaimana pandangan gerakan terhadap wacana “internasionalisasi keamanan dan pemerintahan Gaza”? Apakah sikap historis yang menolak “internasionalisasi” itu masih berlaku, terutama ketika bentuk baru dari internasionalisasi ini justru mengandung unsur “Islamisasi” dan “Arabisasi” melalui partisipasi negara-negara Arab dan Islam dalam “Pasukan Stabilitas Internasional”?
Semua pertanyaan ini memerlukan “curah pikir” mendalam yang harus dilakukan oleh faksi-faksi perlawanan dengan serius — tidak hanya oleh para pemimpin dan kadernya, tetapi dengan melibatkan lingkaran yang lebih luas: para tokoh, pemikir, dan aktivis — dalam forum-forum dialog, pertukaran gagasan, dan musyawarah bersama.
Lalu bagaimana Hamas dan faksi-faksi lain memandang masa depan jangka menengah dan panjang, terutama karena semua perkiraan kini mengarah pada larangan perang — dan secara konsekuen, larangan perlawanan bersenjata — selama beberapa dekade, mungkin bahkan beberapa generasi mendatang, khususnya dari Gaza?
Apa yang akan menjadi nasib sayap militer dari faksi-faksi perlawanan? Apakah sudah saatnya memisahkan fungsi politik dan militer?
Apakah mungkin membayangkan terbentuknya “Tentara Republik Palestina” dan sebuah “Sinn Féin versi Palestina”?
Menyedihkan bahwa faksi-faksi perlawanan kini terpaksa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, sementara pintu rekonsiliasi, persatuan, dan keikutsertaan dalam Organisasi Pembebasan Palestina masih tertutup rapat.
Pihak di Ramallah masih bertaruh pada penghapusan perlawanan dari geografi, politik, dan lembaga-lembaga nasional — dengan pedang syarat-syarat yang memalukan yang hendak dipaksakan kepada mereka — mengabaikan pluralitas Palestina, Piagam, dan sistem internal organisasi itu. Seolah-olah mereka ingin menciptakan kembali “keseluruhan Palestina” sesuai citra dan keinginan mereka sendiri.
Meskipun partisipasi Presiden Mahmoud Abbas dalam KTT Syarm asy-Syaikh dianggap sebagai kabar baik di mata sebagian rakyat Palestina, kebanyakan berharap ia hadir di sana sebagai juru bicara “seluruh rakyat Palestina” — utusan persatuan dan konsensus — bukan sekadar pemegang “stempel resmi” yang kini memperoleh “legitimasinya” dari Donald Trump dan daftar syarat Israel.
Di sini, perlu disampaikan pesan kepada “Kelompok Delapan” dan “Trio Mediator”:
Sebagaimana kalian telah berupaya keras untuk menghentikan pertumpahan darah, maka tugas menekan Otoritas Palestina dan kepemimpinannya agar memilih jalan rekonsiliasi dan persatuan adalah sama pentingnya.
Tahap yang akan datang tidak memberi ruang untuk dendam politik atau perburuan kesempatan guna menyingkirkan pihak lain.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera