Penerbit Haaretz: Negara Palestina adalah Kepentingan Israel, dan Netanyahu Harus Bertindak Sebelum Terlambat
Amos Schocken, yang juga merupakan Kepala Grup Haaretz mengatakan bahwa Israel harus Akui Palestina sebagai Negara merdeka jika mereka ingin kepentingan jangka panjang Israel terjamin
rezaervani.com – 20 Oktober 2025 – Sebuah artikel di surat kabar Haaretz memperingatkan bahwa ancaman terbesar terhadap keamanan Israel kini tidak lagi datang dari musuh-musuh eksternalnya, melainkan dari kebijakan yang dijalankan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu selama lebih dari satu setengah dekade.
Menurut artikel yang ditulis oleh penerbit surat kabar tersebut sekaligus kepala Grup Haaretz, Amos Schocken, pengakuan terhadap negara Palestina tidak lagi menjadi sebuah “konsesi”, melainkan telah menjadi “keharusan eksistensial” yang menjamin masa depan dan keamanan Israel dalam jangka panjang.
Schocken berpendapat bahwa sejak kembali berkuasa pada tahun 2009, Netanyahu — yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional — telah mengadopsi pendekatan gerakan pemukim “Gush Emunim,” yang didasarkan pada prinsip menahan serangan, merespons secara terbatas, namun terus memperluas kendali Israel atas tanah yang berdasarkan rencana pembagian PBB seharusnya diperuntukkan bagi negara Arab di masa depan.
Ia menilai bahwa pendekatan ini sepenuhnya mengabaikan kebutuhan untuk mencapai penyelesaian politik dengan rakyat Palestina, dan justru memperdalam lingkaran kekerasan serta hilangnya rasa aman di dalam negara pendudukan itu sendiri.
Schocken menyinggung bahwa mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert pernah mencoba mencapai kesepakatan damai dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, sementara Netanyahu menolak melakukan dialog dengan Otoritas Palestina. Sebaliknya, ia memperkuat Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) untuk melemahkan legitimasi Otoritas Palestina dan membenarkan penolakannya untuk bernegosiasi dengannya.
Kenyataan ini, menurut penerbit Haaretz, menciptakan situasi politik yang buntu dan tidak dapat bertahan tanpa meledaknya pemberontakan Palestina yang baru.
Pemerintah Israel saat ini, lanjutnya, bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa “hak untuk bermukim di antara sungai dan laut hanya dimiliki oleh orang Yahudi,” yang menurut penulis mencerminkan pendekatan eksklusif yang memperdalam isolasi Israel.
Schocken menambahkan bahwa pidato Netanyahu di Sidang Umum PBB tahun 2023, di mana ia menyombongkan kemungkinan mencapai perjanjian damai dengan Arab Saudi tanpa melibatkan Palestina, merupakan “tanda kesombongan dan keterputusan dari realitas,” terutama karena pidato itu disampaikan hanya beberapa minggu sebelum serangan 7 Oktober.
Ia menggambarkan kampanye pemerintah Israel di Tepi Barat sebagai kelanjutan dari rencana “aneksasi merayap,” melalui pendirian pos-pos pemukiman baru, melegitimasi permukiman yang sudah ada, serta melindungi aksi kekerasan para pemukim dengan dukungan militer dan pemerintah, yang telah menyebabkan tewasnya sekitar seribu warga Palestina sejak Oktober 2023.
Artikel tersebut juga menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mengumumkan niatnya untuk mencaplok 82% wilayah Tepi Barat. Schocken menilai bahwa persetujuan tersirat Netanyahu terhadap kebijakan tersebut merupakan “partisipasi langsung dalam menempatkan keamanan Israel dalam bahaya.”
Schocken menegaskan bahwa satu-satunya jalan keluar dari lingkaran kekerasan ini adalah dengan Israel mengambil inisiatif untuk mengakui negara Palestina yang merdeka — sebuah tuntutan yang kini, menurutnya, mendapat dukungan internasional yang semakin luas, termasuk dari sekutu-sekutu utama Israel.
Ia menyimpulkan bahwa pengakuan serius terhadap negara Palestina, disertai langkah-langkah praktis seperti koordinasi keamanan, kerja sama ekonomi, reformasi pendidikan, serta pembangunan hubungan kemitraan yang setara dengan Otoritas Palestina, akan menyebabkan penurunan besar dalam ancaman keamanan terhadap Israel, memungkinkan pemotongan anggaran pertahanan hingga separuhnya, dan menghasilkan keuntungan ekonomi serta diplomatik yang nyata.
Penulis menutup analisanya dengan menegaskan bahwa kepentingan sejati Israel terletak pada perubahan arah kebijakan saat ini, dan menyerukan kepada Netanyahu untuk mengambil “langkah berani demi kepentingan negaranya,” alih-alih terus mempertahankan kebijakan yang telah terbukti merugikan keamanan dan masa depan Israel.
Sumber: Haaretz