Erdogan Rubah Kesepakatan Trump Jadi Power Play bagi Turki
Oleh Samia Nakhoul, Tuvan Gumrukcu, dan Ece Toksabay
Artikel Erdogan Rubah Kesepakatan Trump Jadi Power Play bagi Turki ini kami arsipkan di Kategori Analisa
rezaervani.com – 21 Oktober 2025 – Ankara/Dubai, — Hubungan Turki dengan Hamas, yang dulu dianggap sebagai beban di Washington, kini berubah menjadi aset geopolitik. Dengan meyakinkan Hamas untuk menerima kesepakatan Gaza Donald Trump, Ankara kembali menegaskan perannya di panggung Timur Tengah, hal yang membuat Israel dan para pesaing Arabnya tidak senang.
Awalnya, para pemimpin Hamas menolak ultimatum Presiden AS — bebaskan sandera Israel atau hadapi kehancuran yang terus berlanjut. Namun, mereka akhirnya setuju setelah Turki, yang dianggap sebagai pelindung politik mereka, mendesak untuk menerima rencana tersebut.
Dua sumber regional dan dua pejabat Hamas mengatakan kepada Reuters bahwa pesan Ankara jelas: sudah waktunya untuk menerima.
“Pria dari tempat yang disebut Turki ini adalah salah satu yang paling berkuasa di dunia,” kata Trump pekan lalu, merujuk pada Presiden Turki Tayyip Erdogan, setelah kelompok militan Palestina itu setuju dengan rencana gencatan senjata dan pembebasan sandera.
“Ia sekutu yang bisa dipercaya. Ia selalu ada saat saya membutuhkannya.”
Tanda tangan Erdogan pada dokumen Gaza memperkuat upaya Turki untuk mendapatkan posisi penting di Timur Tengah, status yang terus diupayakan Erdogan untuk dikembalikan, sering kali dengan mengaitkannya pada warisan dan kepemimpinan era Ottoman.
Sekarang, setelah kesepakatan itu, Turki berusaha memetik hasil, termasuk dalam urusan bilateral dengan Amerika Serikat, kata para sumber.
Sinan Ulgen, direktur lembaga pemikiran EDAM di Istanbul dan peneliti senior di Carnegie Europe, mengatakan keberhasilan Ankara dalam membuat Hamas menerima kesepakatan Gaza Trump telah memberinya pengaruh diplomatik baru, baik di dalam maupun luar negeri.
Menurutnya, Turki kemungkinan akan memanfaatkan hubungan baik yang kembali terbangun dengan Washington untuk mendorong kemajuan dalam penjualan jet tempur F-35 yang tertunda, pelonggaran sanksi AS, dan dukungan AS terhadap tujuan keamanan Turki di Suriah yang berbatasan dengannya.
“Jika pujian Trump itu berlanjut menjadi hubungan baik yang bertahan lama, Ankara bisa memanfaatkan momentum itu untuk menyelesaikan sejumlah perbedaan lama,” kata Ulgen kepada Reuters.
Pertemuan Trump–Erdogan, Dimulainya Perbaikan Hubungan
Perubahan arah diplomatik antara Ankara dan Washington, kata para pejabat, dimulai selama kunjungan Erdogan ke Gedung Putih pada bulan September, kunjungan pertamanya dalam enam tahun.
Pertemuan itu membahas berbagai isu yang belum terselesaikan, termasuk upaya Turki untuk mencabut sanksi AS yang diberlakukan pada tahun 2020 karena pembelian sistem rudal Rusia S-400 — langkah yang membuat Washington marah dan juga menyebabkan penghapusan Turki dari program jet tempur F-35.
Suriah juga menjadi topik penting. Turki ingin menekan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS agar bergabung dengan tentara Suriah. Ankara memandang SDF sebagai ancaman karena hubungannya dengan PKK, kelompok yang dianggap Turki sebagai organisasi teroris.
Dorongan itu tampaknya berhasil. Komandan SDF Mazloum Abdi mengonfirmasi adanya mekanisme untuk bergabung dengan tentara Suriah, hasil yang dilihat Turki sebagai kemenangan strategis.
Kesepakatan Gaza datang setelah beberapa keberhasilan lain yang meningkatkan citra Turki. Trump memuji Erdogan karena menjadi tuan rumah pertemuan Rusia–Ukraina awal tahun ini, dan pengaruh Ankara meningkat setelah jatuhnya Bashar al-Assad di Suriah pada 2024, di mana Turki mendukung pasukan oposisi.
Keinginan Turki untuk mengembalikan peran dominannya di Timur Tengah mengingatkan sebagian pengamat pada masa kekaisaran Ottoman, yang dulu menguasai sebagian besar kawasan itu. Runtuhnya kekaisaran satu abad lalu membuat Turki modern berfokus ke dalam negeri saat membangun republik sekuler dan agak terpinggirkan dari diplomasi regional.
Selama bertahun-tahun, Ankara tidak terlibat dalam upaya tingkat tinggi untuk menyelesaikan konflik Israel–Palestina, sumber utama ketegangan di kawasan. Dukungan Turki terhadap gerakan Islamis — termasuk dukungan politik dan diplomatik untuk Hamas, yang para pemimpinnya pernah mereka tampung — memperburuk hubungan dengan Israel dan beberapa negara Arab. Arah kebijakan Erdogan yang dianggap menjauh dari norma NATO juga semakin menjauhkan Turki dari peran perantara perdamaian.
Namun, untuk memecah kebuntuan dalam pembicaraan gencatan senjata Gaza, Trump beralih ke Erdogan, dengan mempertaruhkan pengaruhnya terhadap Hamas. Pejabat-pejabat Turki, yang dipimpin oleh kepala intelijen Ibrahim Kalin, meyakinkan Hamas bahwa gencatan senjata itu didukung oleh kawasan dan AS, termasuk jaminan pribadi dari Trump.
Dengan melibatkan Erdogan, Trump memberikan Ankara peran yang diinginkannya sebagai kekuatan Sunni utama di kawasan. Langkah itu membuat Israel dan negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab tidak nyaman, menurut dua diplomat.
“Erdogan ahli memperluas pengaruhnya, memanfaatkan peluang, mengambil keuntungan dari peristiwa, dan menjadikannya prestasi pribadi,” kata komentator politik Arab Ayman Abdel Nour. “Negara-negara Teluk jelas tidak senang Turki mengambil peran utama di Gaza, tetapi di sisi lain mereka ingin perang ini berakhir, ingin melihat kesepakatan tercapai, dan Hamas tersingkir.”
Sementara negara-negara Arab memiliki kepentingan yang sama dengan Turki dalam mengakhiri perang, kata analis Lebanon Sarkis Naoum, peran besar yang diberikan kepada Ankara membuat mereka khawatir, mengingat sejarah kekuasaan kekaisaran Ottoman atas banyak negara di kawasan itu.
Kementerian Luar Negeri Turki dan badan intelijen MIT tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters. Departemen Luar Negeri AS juga belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.
Bagi Hamas, kekhawatiran utama adalah bahwa Israel bisa saja melanggar kesepakatan dan melanjutkan operasi militer. Ketidakpercayaan yang mendalam hampir menggagalkan proses itu, kata sumber-sumber regional.
“Satu-satunya jaminan nyata,” kata seorang pejabat senior Hamas kepada Reuters, “datang dari empat pihak: Turki, Qatar, Mesir, dan Amerika. Trump secara pribadi memberikan janjinya. Pesan dari AS adalah: ‘bebaskan sandera, serahkan jenazah, dan saya jamin tidak akan ada perang lagi.’”
Tekanan Besar Terhadap Hamas
Keterlibatan Turki dalam pembicaraan awalnya ditolak oleh Israel, tetapi Trump turun tangan dan menekan Tel Aviv agar mengizinkan Ankara ikut serta, kata dua diplomat.
Tidak ada komentar langsung dari kementerian luar negeri Israel.
Seorang pejabat senior Hamas mengatakan para pemimpin militer di Gaza menerima gencatan senjata bukan karena menyerah, tetapi karena tekanan besar dari mediasi tanpa henti, kondisi kemanusiaan yang semakin buruk, dan rakyat yang lelah perang.
Kesepakatan itu menghasilkan pembebasan sandera Israel yang ditangkap dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang dan memicu serangan besar-besaran Israel yang sejak itu menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, menurut otoritas kesehatan Gaza.
Apakah kesepakatan Gaza ini nantinya akan membuka jalan menuju pembentukan negara Palestina masih belum jelas. Turki dan negara-negara Arab seperti Qatar dan Mesir mengatakan rencana tersebut tidak memiliki peta jalan menuju solusi dua negara, yang merupakan tuntutan utama Palestina.
Ketika ditanya tentang kemungkinan pengerahan pasukan Turki ke Gaza setelah perang dan cara memastikan keamanan wilayah itu, Erdogan mengatakan pada 8 Oktober bahwa pembicaraan gencatan senjata sangat penting untuk membahas masalah tersebut secara rinci. Namun, ia menegaskan prioritas utama adalah mencapai gencatan senjata penuh, memastikan bantuan kemanusiaan, dan membangun kembali Gaza.
Laporan tambahan oleh Tuvan Gumrukcu, Ece Toksabay di Ankara, dan Maya Gebeily di Beirut; Penulisan oleh Samia Nakhoul, Penyuntingan oleh William Maclean.
Sumber : Reuters