Apakah Washington Akan Mengakui Hamas?
Oleh: Urib Ar-Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania)
Artikel Apakah Washington Akan Mengakui Hamas? ini masuk dalam Kategori Analisa
Beberapa pernyataan dari pihak Amerika Serikat menunjukkan bahwa jalur komunikasi antara Washington dan Hamas tampaknya “terbuka dan aman” di kedua arah.
Pertemuan langsung tingkat tinggi telah menjadi “rahasia umum”. Melalui pertemuan itu, dengan kehadiran para mediator, berbagai hambatan diupayakan untuk diselesaikan, kesenjangan dijembatani, dan jaminan disampaikan. Baru-baru ini diketahui bahwa terjadi pertukaran ucapan belasungkawa antara Witkoff dan Al-Hayya, karena keduanya adalah anggota dari “klub para ayah yang berduka”, setelah kehilangan anak-anak mereka—meskipun dengan kondisi dan konteks yang berbeda.
Derasnya pernyataan semacam ini biasanya datang disertai ancaman dan peringatan, serta retorika eliminasi dan pemusnahan—semuanya merupakan bagian dari “keharusan retoris” atau formalitas yang tidak benar-benar perlu.
Pragmatisme yang melekat dalam wacana dan perilaku Amerika Serikat membuat perkembangan semacam ini selalu mungkin terjadi, dan tidak lagi dianggap “mengejutkan”. Washington telah melakukannya berkali-kali selama beberapa dekade terakhir, baik dengan pemerintah maupun dengan “aktor non-negara” yang dulu mereka anggap musuh. Terkadang upaya itu gagal, tetapi sering juga berhasil. Tidak ada garis merah bagi Washington ketika para diplomat dan pejabat intelijennya merasa perlu untuk melangkah maju.
Sejarah Palestina modern juga sarat dengan pelanggaran terhadap “garis merah” semacam ini. Gerakan Fatah, PLO, dan faksi-faksi nasional Palestina semuanya pernah masuk dalam daftar teroris Amerika Serikat, namun hal itu tidak mencegah Washington untuk melakukan kontak, menandatangani perjanjian, dan menangguhkan banyak sanksi—melalui dekret presiden yang diperbarui setiap enam bulan. Itulah kisah keberadaan kantor PLO di Washington, sebelum akhirnya ditutup sepenuhnya oleh Donald Trump pada masa jabatan pertamanya.
Pencantuman suatu faksi atau gerakan dalam daftar teroris tidak pernah menjadi penghalang bagi diplomasi Amerika, dan lembaga-lembaga keamanan di belakangnya, untuk menyelidiki posisi lawan dan mencari peluang yang mungkin. Daftar tersebut bahkan menjadi seperti “pintu putar” (rotating door)—keluar dan masuk silih berganti.
Hal ini pernah terjadi dengan Taliban, dan juga dengan Gerakan Ansarullah (Houthi) di Yaman, yang beberapa kali keluar masuk daftar teroris bergantung pada pemerintahan yang berkuasa di Washington. Bahkan pemerintahan Trump yang paling keras terhadap Houthi, akhirnya menandatangani perjanjian dengan mereka untuk menjamin agar kapal-kapal Amerika tidak menjadi target di Bab el-Mandeb dan Laut Merah, meskipun serangan terhadap kapal Israel dan kapal menuju Pelabuhan Eilat tetap berlanjut.
Adapun falsafah di balik pendekatan khas Amerika ini kembali pada dua faktor utama:
- Kepercayaan mendalam terhadap logika kekuatan, serta keinginan untuk berurusan dengan pihak-pihak yang kuat, yang menguasai wilayah dan memiliki dukungan rakyat.
- Sifat diplomasi Amerika yang bernafas pendek, dengan kecenderungan besar untuk meraih pencapaian cepat—dan pemerintahan Trump adalah contoh paling jelas dari fenomena ini.
Dalam konteks Palestina, situasinya jauh lebih rumit. Washington tidak memiliki keleluasaan penuh untuk bertindak sesukanya. Ada pengaruh besar dari faktor Israel dan kelompok lobi pro-Tel Aviv di pusat pengambilan keputusan Amerika. Bahkan dengan seorang presiden seperti Donald Trump yang memiliki pengaruh besar atas Benjamin Netanyahu, ada batasan dan pertimbangan tertentu yang tidak bisa begitu saja dilanggar, atau setidaknya tidak semudah di isu-isu regional dan internasional lainnya.
Kita telah menyaksikan kekecewaan Israel ketika Trump membiarkan mereka menghadapi sendiri serangan drone dan rudal Houthi, setelah menandatangani kesepakatan dengan pihak Sanaa untuk menetralkan ancaman terhadap kapal Amerika.
Kita juga menyaksikan ekspresi keterkejutan Netanyahu dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih ketika Trump mengungkapkan bahwa Washington telah membuka pembicaraan dengan Iran—yang tak menghalangi kedua pihak melancarkan perang 12 hari, bahkan dengan partisipasi Amerika yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dan kita menyaksikan reaksi tercengang di Tel Aviv terhadap laporan bahwa Amerika telah memulai kontak dengan Hamas di Doha, dalam konteks perang dua tahun terakhir.
Bagaimanapun juga, berita tentang kontak antara Amerika Serikat dan Hamas kini tidak lagi mengejutkan. Ia telah menjadi bagian dari realitas pasca 7 Oktober, terbuka pada berbagai kemungkinan, disertai syarat dan tuntutan yang saling bertentangan, dan dikelilingi oleh pengawasan serta intervensi intensif dari pihak Israel.
Apakah Washington Akan Mengakui Hamas?
Sulit untuk sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan ini, namun jalan menuju pengakuan Amerika terhadap gerakan perlawanan Palestina tanpa diragukan lagi akan dipenuhi dengan syarat dan tuntutan awal —dimulai dari penerimaan untuk mengakhiri fenomena perlawanan bersenjata itu sendiri, diikuti dengan pengakuan terhadap Israel, bahkan mungkin pengakuan terhadap negara Yahudi murni, dan tidak akan berakhir tanpa kesiapan untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu demi “hidup berdampingan.” Semua tuntutan ini dibebankan sepenuhnya kepada pihak Palestina, sementara pihak Israel dibebaskan dari kewajiban serupa—termasuk hal-hal yang menyentuh aspek pendidikan, budaya, dan bahkan pembacaan ulang terhadap keyakinan agama itu sendiri.
Itulah jalan yang pernah ditempuh oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) hampir lima puluh tahun lalu, dimulai dari pertemuan antara Robert Pelletreau dan Yasser Abed Rabbo di Tunis, yang kemudian berujung pada proses Madrid–Oslo, serta amandemen Piagam Nasional Palestina, yang menjadi harga politik bagi kunjungan Bill Clinton dan rombongannya ke Gaza—dan sisanya adalah kisah yang sudah dikenal.
Hamas tidak akan tetap sama jika menerima “buku syarat” versi Amerika. Ia akan berubah menjadi citra dari Fatah dalam versi terakhirnya, dan itu akan menjadi pengakuan atas kekalahan politik, meskipun perang dua tahun terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda kekalahan militer bagi perlawanan.
Di sinilah, tepat di titik ini, makna ungkapan yang sering diulang oleh para pemimpin gerakan perlawanan menjadi jelas:
“Israel tidak akan mengambil sesuatu lewat perundingan, kecuali apa yang telah berhasil direbutnya di medan perang.”
Dan ketika disebut “Israel”, Amerika Serikat selalu berada di balik layar.
Namun, hal itu tidak menghalangi Washington, sebagaimana dalam kasus lain, untuk mengambil langkah-langkah menuju bentuk pengakuan de facto (pengakuan nyata) terhadap Hamas. Menurut pandanganku, opsi ini muncul dari waktu ke waktu dalam tindakan, pernyataan, dan kontak Amerika.
Saya memperkirakan bahwa Hamas merasa perlu menunjukkan tingkat “keluwesan tertentu” agar opsi ini dapat terwujud, serta membantu sekutu Arab dan regionalnya mengubah sesuatu yang dulu mustahil dan tak terpikirkan menjadi hal yang mungkin dan masuk akal. Bukankah hal serupa terjadi di Suriah, setelah dua belas tahun perang di sana—setelah proses adaptasi yang panjang, hingga Hay’at Tahrir al-Sham berubah menjadi pemerintahan transisi bagi Suriah pasca-Assad?
Dalam pengalaman yang menumpuk selama puluhan tahun, Amerika dan Barat dapat memaafkan ketika darah yang tertumpah adalah darah warga mereka sendiri, tetapi mereka jauh lebih sulit memaafkan ketika darah yang tertumpah adalah darah warga Israel, karena alasan yang berkaitan dengan kompleks inferioritas dan beban sejarah.
Kita telah melihat Barat—dan Washington secara khusus—bersikap toleran terhadap berbagai gerakan dan faksi yang secara ideologis, politik, sosial, dan budaya berbeda dari Hamas, namun mereka tidak menunjukkan tingkat keluwesan dan respons yang sama ketika berhadapan dengan faksi Palestina yang terlibat langsung dalam aksi perlawanan terhadap pendudukan.
Meski demikian, tampaknya pintu pengakuan—setidaknya pengakuan realistis—belum tertutup rapat.
Kemungkinan ini semakin diperkuat oleh adanya penilaian-penilaian Amerika, Israel, dan Barat secara umum, yang lebih bebas dari kepentingan dan bias pribadi, serta melihat bahwa Hamas, setelah perang dua tahun, tetap menjadi aktor utama di panggung Palestina. Sementara itu, otoritas di Ramallah, meskipun mendapat dukungan, perlindungan, dan “jaringan pengaman,” masih dianggap lemah dan tidak dapat dipercaya. Karena itu, stabilitas politik Palestina mungkin menuntut “integrasi” Hamas dalam salah satu tahap proses politik yang muncul di bawah slogan “hari setelah perang” dan fase-fase berikutnya.
Faktanya, kita dapat merasakan kemungkinan seperti ini dalam percakapan kita dengan pihak Eropa, yang tidak berhenti memikirkan format dan proposal “kreatif” untuk membuat opsi semacam ini menjadi mungkin.
Hal ini juga tercermin dalam kritik tajam terhadap masa depan otoritas dan sistem politik Palestina, serta dalam pemikiran yang memperhitungkan hasil dari pemilu Palestina berikutnya—termasuk kemungkinan kembalinya Hamas ke kursi mayoritas, atau setidaknya minoritas signifikan di parlemen yang akan datang.
Bukanlah kepentingan Hamas untuk menapaki jalan yang telah menghancurkan tulang punggung pertama gerakan nasional Palestina. Dan bukan pula demi kepentingan rakyatnya untuk melihat tulang punggung kedua berakhir di nasib yang sama. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi Hamas untuk menunjukkan tingkat keluwesan yang memadai guna memperoleh “pengakuan nyata” dan kemudian membangun langkah-langkah strategis di atasnya.
Sumber : al Jazeera