Pudarnya Dukungan Mutlak Amerika Serikat terhadap Israel
Oleh : Abdullah Ma’ruf (Penulis Palestina, Direktur Pusat Studi Yerusalem di Universitas Istanbul 29 Mei)
Artikel Pudarnya Dukungan Mutlak Amerika Serikat terhadap Israel ini kami arsipkan di Kategori Analisa
Meskipun aliansi strategis antara Amerika Serikat dan Israel selama ini selalu menjadi salah satu pilar utama sistem politik di Washington, namun dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam opini publik Amerika terhadap komitmen mutlak membela kepentingan Israel.
Jika perubahan ini terjadi di kubu Partai Demokrat, hal itu masih bisa dimengerti — karena partai tersebut dikenal lebih liberal dan berorientasi pada kepentingan ekonomi serta sosial ketimbang ideologi — namun yang mengejutkan adalah munculnya pergeseran serupa di tubuh Partai Republik, yang selama ini dikenal sangat konservatif dan teguh dalam dukungannya terhadap Israel.
Partai Demokrat dan basis pendukungnya berkembang lebih cepat, serta lebih diterima di kalangan minoritas berwarna di Amerika Serikat. Oleh karena itu, dari partai ini muncul Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, dan Ilhan Omar sebagai perempuan Muslim berhijab pertama yang berhasil masuk Kongres Amerika melalui daftar Partai Demokrat. Begitu pula Rashida Tlaib dari partai yang sama menjadi perempuan Palestina pertama yang secara terbuka mendukung perjuangan Palestina di Kongres.
Dari barisan mereka pula kini muncul tokoh muda Muslim, Zohran Mamdani, yang dikenal sangat kritis terhadap Israel dan kini memimpin kompetisi menuju kursi Wali Kota New York — kota terbesar di Amerika dan pusat keuangan serta bisnis terpentingnya. Hal ini, jika menunjukkan sesuatu, maka menunjukkan bahwa loyalitas terhadap Israel tidak lagi menjadi hal yang disepakati secara mutlak di kalangan basis Partai Demokrat.
Adapun Partai Republik — yang dianggap sebagai wadah bagi arah konservatif Amerika dengan berbagai komitmen ideologisnya — selama beberapa dekade terakhir dikenal kurang fleksibel dalam mengubah dan mengganti sikap, termasuk dalam hal komitmen teguhnya terhadap Israel, yang didasarkan pada landasan religius dan kepentingan strategis.
Namun, angin perubahan yang dibawa oleh peristiwa 7 Oktober 2023 tampaknya tidak terbatas pada kawasan Timur Tengah saja, melainkan meluas hingga ke inti keras Partai Republik di Amerika Serikat — yaitu basis kulit putih konservatif yang sejak lama menjadi fondasi pandangan partai tersebut. Basis ini secara terbuka bangga dengan “Amerika kulit putih” yang berakar pada nilai-nilai Kristen Eropa klasik, dan menolak sebagian besar perkembangan liberal yang terjadi di masyarakat Amerika khususnya, serta masyarakat Barat umumnya, dalam dua dekade terakhir — terutama dalam isu identitas gender, kebebasan mutlak, aborsi, dan lainnya.
Perubahan ini tampak jelas dalam pernyataan sejumlah tokoh yang mewakili basis konservatif kulit putih keras Partai Republik, seperti jurnalis sayap kanan terkenal Tucker Carlson, anggota Kongres Marjorie Taylor Greene, dan bahkan Steve Bannon — mantan kepala strategi Gedung Putih sekaligus penasihat Presiden Trump pada masa jabatan pertamanya.
Yang mempersatukan mereka adalah komitmen kuat sebelumnya dalam mendukung Presiden Amerika Donald Trump, serta posisi mereka sebagai wajah utama gerakan “America First” (MAGA). Mereka termasuk tokoh-tokoh yang berpengaruh di kalangan masyarakat kulit putih konservatif yang dikenal selalu mendukung Partai Republik.
Lebih penting lagi, mereka dulunya termasuk di antara suara paling keras yang membela Israel pada tahun-tahun sebelum operasi “Banjir Al-Aqsa”.
Namun sesuatu telah berubah dalam arus pemikiran ini, sebagaimana terlihat dari perubahan nada bicara para tokoh tersebut dan lainnya. Mereka kini berbalik menyerang Israel dan mulai secara lantang mengkritik pengaruh besar Israel dalam politik Amerika. Mereka juga mengungkapkan sejauh mana penetrasi lobi pro-Israel — yang diwakili oleh sejumlah lembaga, terutama Komite Urusan Publik Amerika-Israel (AIPAC) — hingga ke titik di mana intervensinya dalam politik dalam negeri Amerika menyebabkan kepentingan Israel didahulukan atas kepentingan nasional Amerika.
Tokoh-tokoh ini kini secara terbuka mengkritik penetrasi tersebut dan mengekspos nama-nama politisi Amerika terkenal yang dikenal dengan dukungan tak terbatas mereka terhadap Israel, bahkan menuduh mereka berkhianat kepada negara sendiri karena menempatkan kepentingan asing di atas kepentingan Amerika Serikat.
Tucker Carlson, dalam lebih dari satu wawancara di podcast yang ia kelola, menyerang sejumlah politisi Partai Republik seperti senator Ted Cruz dan Lindsey Graham — yang dikenal selalu membela Israel dengan gigih. Dalam salah satu episode yang ditayangkan sekitar dua minggu lalu, ia mengatakan bahwa sikap kedua orang ini yang mendukung Israel tanpa batas dan mendahulukan kepentingannya atas kepentingan Amerika, setara dengan tindakan pengkhianatan terhadap negara mereka sendiri.
Sementara anggota Kongres Marjorie Taylor Greene tidak melewatkan satu pun media untuk menyerang Israel dan menuduhnya melakukan genosida di Gaza. Ia juga menolak dukungan pemerintahan Trump terhadap Netanyahu dalam perang ini. Ia menyampaikan pandangan-pandangan tersebut di situs resminya, di mana ia memperkenalkan dirinya sebagai pembela slogan “America First” dan menolak mendahulukan kepentingan negara asing atas Amerika Serikat.
Ini hanyalah sebagian contoh dari tokoh-tokoh berpengaruh dan terkenal di sayap kanan ekstrem Partai Republik yang telah mengubah posisi mereka terhadap Israel, dan kini mulai mengkritik pembantaian yang sedang berlangsung di Gaza, bahkan dalam beberapa kasus menyebutnya dengan istilah yang sebenarnya: “genosida”.
Bahkan sebagian dari mereka — terutama Tucker Carlson — mulai menyinggung kemungkinan keterlibatan Israel dalam pembunuhan aktivis sayap kanan Charlie Kirk. Hal ini disebabkan oleh klaim di sejumlah laman media sosial pro-Partai Republik yang menyatakan bahwa Kirk dibunuh setelah mulai menunjukkan perubahan sikap terhadap Israel dan perang yang dilancarkannya di Jalur Gaza.
Kabar ini menyebabkan guncangan besar di pemerintahan Israel hingga mendorong Netanyahu muncul dalam sebuah video untuk membantah keterlibatannya dalam kematian Kirk. Ia bahkan mengalokasikan pertemuan dan anggaran besar untuk mendukung kampanye media — baik secara langsung maupun melalui sejumlah influencer media sosial — demi mencoba meyakinkan arus baru yang berkembang di Partai Republik bahwa Israel tidak sedang melakukan genosida di Gaza dan tidak ikut campur dalam politik dalam negeri Amerika.
Demikian pula, AIPAC beberapa hari lalu menayangkan sebuah iklan berbayar di sejumlah saluran televisi Amerika — baik yang pro-Republikan maupun Demokrat — yang berusaha membenarkan aktivitasnya untuk kepentingan Israel serta meyakinkan opini publik Amerika bahwa melayani kepentingan Israel di Amerika dianggap bermanfaat bagi Amerika Serikat sendiri!
Ironisnya, dalam iklan yang sama AIPAC secara terbuka menyatakan bahwa dirinya bekerja di kalangan politisi Amerika sebagai kelompok lobi yang menjamin kepentingan Israel — dan inilah tepatnya hal yang dikritik oleh suara-suara dari kalangan Partai Republik yang kini memandang bahwa mendahulukan kepentingan Israel atas kepentingan negeri mereka sendiri adalah bentuk pengkhianatan yang tidak dapat diterima.
Titik balik paling menonjol dalam perubahan sikap banyak tokoh Partai Republik terhadap Israel tampaknya terjadi saat serangan Israel terhadap Iran dan keterlibatan terbuka Amerika Serikat di dalamnya — sebuah operasi yang tentu saja merupakan salah satu hasil dari peristiwa yang sedang berlangsung di Gaza.
Sejumlah tokoh tersebut kemudian tampil menolak keterlibatan Amerika Serikat dalam peperangan demi kepentingan Israel. Setelah itu, kritik-kritik pun meningkat, membuka semua bentuk campur tangan Israel dalam politik dalam negeri Amerika.
Titik krusial dalam konflik ini menunjukkan bahwa inti perpecahan dan perbedaan pendapat sebenarnya terletak pada sejauh mana keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik-konflik Israel. Di sini muncul pertentangan tajam antara dua arus besar: nasionalis dan religius — yang terakhir ini kini menguasai pemerintahan Trump dan, dengan demikian, mengendalikan kebijakan Partai Republik.
Arus Injili yang masih mempertahankan loyalitas mutlak terhadap Israel ini mendasarkan pandangannya terhadap konflik pada prinsip keagamaan. Hal itu tampak jelas dalam pernyataan para tokohnya, seperti senator Lindsey Graham yang berulang kali menyatakan di media bahwa perang di Jalur Gaza pada hakikatnya adalah perang agama; Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Mike Johnson yang terobsesi dengan gagasan “lembu merah” dan pembangunan kembali “bait ketiga” yang diklaim akan menggantikan Masjid Al-Aqsa — bahkan sampai mengundang rabi Israel Tsahi Mamo, yang bertanggung jawab atas urusan ini, untuk hadir pada Hari Doa Nasional di dekat gedung Kongres Amerika di Washington pada Januari 2024; serta Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel Mike Huckabee yang tak henti-hentinya mengulang pernyataan-pernyataan keagamaannya tentang Mesias dan “Tanah Perjanjian” hingga menimbulkan pertanyaan: apakah dia duta besar Amerika Serikat di Israel, atau sebaliknya?
Demikian pula Menteri Luar Negeri Marco Rubio, yang dikenal muncul di hadapan publik dengan tanda salib hitam dari abu di dahinya pada musim semi lalu. Dan tentu saja, tidak bisa dilupakan menantu Presiden Amerika Jared Kushner, yang tampaknya kembali ke panggung politik Amerika baru-baru ini melalui berkas negosiasi gencatan senjata di Gaza.
Tokoh-tokoh ini, dengan kecenderungan keagamaan mereka, menunjukkan bahwa perpecahan yang terjadi di Partai Republik terhadap Israel kini juga mulai mengambil arah ideologis. Hal itu wajar mengingat karakter ideologis yang memang melekat pada partai ini dibandingkan dengan Partai Demokrat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, kita kini menyaksikan pendalaman perpecahan di dalam struktur Partai Republik — antara kubu religius yang mengedepankan tafsir terhadap teks-teks suci, dan kubu nasionalis yang menempatkan kepentingan ras kulit putih Amerika di atas segalanya.
Tampaknya Presiden Amerika Donald Trump sendiri masih bimbang di antara kedua arah tersebut, mengingat sifatnya yang mudah berubah. Jelas bahwa titik penentu antara menguat atau melemahnya salah satu arus bergantung pada arah kecenderungan basis muda partai ini di generasi sekarang, yang tampak semakin berpihak pada orientasi nasionalis dibandingkan religius.
Basis muda ini kini melihat Israel sebagai beban bagi Amerika Serikat dan tidak lagi takut terhadap tuduhan antisemitisme ketika mengkritik Israel secara terbuka. Nampaknya fenomena ini akan terus meningkat di kalangan Partai Republik — meskipun dengan laju yang lebih lambat di antara para pendukung Partai Demokrat.
Bagaimanapun juga hasil akhirnya, satu kenyataan kini menjadi jelas dan tak dapat diingkari: Israel tidak lagi menjadi titik kesepakatan di Amerika Serikat — baik di Partai Demokrat maupun Partai Republik. Kenyataan baru ini harus dimanfaatkan dan dijadikan dasar untuk langkah-langkah berikutnya.
Sumber : al Jazeera