Seorang Pejabat Amerika Serikat: Pemerintahan Biden Bersikap Lunak terhadap Israel dalam Kasus Pembunuhan Shireen
Pembunuhan Jurnalis di Palestina sudah terbukti dengan jelas dilakukan oleh Israel, akan tetapi pihak-pihak yang memiliki kekuatan memilih diam dan tidak bertindak apapun, sungguh hal yang sangat memalukan. Termasuk Pemerintahan Biden Bersikap Lunak terhadap Israel terkait pembunuhan jurnalis Shireen dari al Jazeera
rezaervani.com – 3 November 2025 – Harian The New York Times memuat pernyataan mengejutkan dari Kolonel Amerika Serikat yang sudah pensiun, Steve Gabavics — seorang perwira militer yang telah bertugas lebih dari 30 tahun di angkatan bersenjata AS — yang mengungkap bahwa pemerintahan mantan Presiden Joe Biden sengaja bersikap lunak terhadap hasil penyelidikan pembunuhan jurnalis Palestina-Amerika Shireen Abu Aqla, demi menyenangkan Israel.
Menurut Gabavics — sebagaimana dikutip dalam sebuah film dokumenter investigatif Amerika — keputusan pemerintahan Biden untuk tidak menyebut tindakan tentara Israel yang menewaskan Abu Aqla sebagai pembunuhan yang disengaja terus menghantui nuraninya, karena menunjukkan bahwa Amerika terus memihak Israel.
Ia menegaskan bahwa tim Amerika yang menyelidiki kematian Abu Aqla — yang terbunuh di Jenin pada Mei 2022 — telah bekerja berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Namun, ia mengakui bahwa kesimpulan akhir penyelidikan itu dipengaruhi oleh tekanan politik. Ia menjelaskan bahwa saat itu ia bekerja di kantor Koordinator Keamanan Amerika Serikat, lembaga yang bertanggung jawab mengoordinasikan kerja sama antara aparat keamanan Israel dan Palestina.
Setelah tiga tahun upaya pemerintah Israel dan Amerika untuk menutupi identitas tentara yang menewaskan koresponden Al Jazeera itu, film dokumenter investigatif berjudul Who Killed Shireen? akhirnya berhasil mengungkap pelaku penembakan tersebut: tentara Israel Alon Skagyo, anggota pasukan elite “Duvdevan”, yang kebetulan tewas setahun kemudian di lokasi yang sama tempat ia membunuh sang jurnalis.
Namun sang pembunuh tak berhasil membungkam kebenaran yang selama ini disampaikan Abu Aqla di bawah perlindungan hukum internasional. Film tersebut membuktikan kepada dunia bahwa klaim Israel — yang menyebut peristiwa itu sebagai akibat baku tembak — hanyalah kebohongan. “Ia dibunuh dengan darah dingin oleh seorang tentara Israel.”
Shireen Abu Aqla saat itu sedang meliput operasi penggerebekan yang dilakukan pasukan Israel di kamp pengungsi Jenin, Tepi Barat, ketika ia tewas tertembak oleh peluru Israel pada 11 Mei 2022. Tragedi itu langsung menjadi sorotan dunia.
Platform Zeteo — yang menayangkan film tersebut — menyebutnya sebagai “investigasi berani yang tak akan didukung oleh media besar mana pun,” seraya menegaskan bahwa seluruh pendanaan film diperoleh dari langganan pembacanya, tanpa sponsor korporasi atau donatur besar.
Zeteo sendiri merupakan lembaga media baru yang didirikan oleh jurnalis Mehdi Hasan setelah ia mengundurkan diri dari saluran televisi Amerika MSNBC sebagai bentuk protes terhadap pemberitaan media itu tentang perang di Gaza.
Pemerintahan Biden sebelumnya menghindari penyebutan peristiwa itu sebagai “pembunuhan yang disengaja”. Departemen Luar Negeri AS saat itu hanya menyebut kematian Abu Aqla sebagai “insiden tragis,” dan dalam pernyataan resminya pada Juli 2022 mengatakan: “Kami tidak dapat mencapai kesimpulan pasti mengenai asal peluru.”
Sejumlah organisasi internasional, termasuk Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), menilai sikap Amerika tersebut sebagai bentuk pembiaran terhadap impunitas pelaku pembunuhan jurnalis di Palestina. Mereka menegaskan bahwa kasus Abu Aqla memperlihatkan kegagalan sistem internasional dalam melindungi para jurnalis — bahkan ketika mereka memegang kewarganegaraan Amerika.
Kejahatan yang Terus Berulang
Di bawah perlindungan pembiaran Amerika dan diamnya komunitas internasional, peluru-peluru tentara pendudukan Israel terus menumpahkan darah para jurnalis. Dalam dua tahun terakhir saja, sebanyak 256 jurnalis Palestina yang meliput perang Israel di Jalur Gaza tewas, jumlah yang melampaui total korban jurnalis di perang Irak, Suriah, dan bahkan Perang Dunia II jika digabungkan.
Jumlah korban jurnalis di Gaza bahkan memecahkan rekor dibandingkan dengan perang-perang besar dalam 100 tahun terakhir. Dalam perang Irak, sebanyak 228 jurnalis terbunuh selama delapan tahun; di Suriah, 144 jurnalis terbunuh antara 2011 hingga 2024. Namun dalam dua tahun saja, 256 jurnalis tewas akibat peluru tentara Israel dalam perang di Gaza.
Ironinya tampak makin mencolok bila dibandingkan dengan jumlah jurnalis yang gugur dalam Perang Dunia II, yang hanya berkisar antara 60 hingga 80 orang selama enam tahun masa perang.
Sumber: Al Jazeera