Membangun Kembali Gaza Dimulai dari Ruang Kelas
Oleh : Sultan Barakat dan Alison Phipps *)
Pemulihan pendidikan harus dimulai sekarang, dipimpin oleh rakyat Palestina, dengan solidaritas dari dunia internasional. Membangun Kembali Gaza dapat kita mulai dari Ruang-ruang Kelas
rezaervani.com – 3 November 2025 – Rubrik Analisa – Sudah dua minggu berlalu sejak para pemimpin dunia berkumpul di Sharm el-Sheikh dan kembali menyatakan bahwa mereka telah menemukan jalan menuju perdamaian di Timur Tengah. Seperti halnya pernyataan-pernyataan sebelumnya, rakyat Palestina — mereka yang harus hidup dalam “perdamaian” itu — sekali lagi dikesampingkan.
Hari ini, Israel menjadikan gencatan senjata yang rapuh sebagai sandera, sementara dunia justru terfokus pada pencarian jenazah tawanan-tawanannya yang tewas. Tak ada pembicaraan tentang hak rakyat Palestina untuk mencari dan menghormati jenazah mereka sendiri, untuk berkabung secara terbuka atas kehilangan yang mereka derita.
Gagasan “rekonstruksi” kini digantungkan di hadapan penduduk Gaza. Mereka yang menyerukannya dari luar negeri seolah hanya membayangkan membersihkan puing, menuang semen, dan memperbaiki infrastruktur. Tidak ada pembicaraan tentang membangun kembali manusia — memulihkan lembaga-lembaga, martabat, dan rasa memiliki rakyat Palestina.
Namun inilah yang sebenarnya dibutuhkan rakyat Palestina. Rekonstruksi sejati harus berfokus pada manusia Gaza, dan harus dimulai bukan dengan semen, tetapi dengan pemulihan ruang-ruang belajar dan pendidikan. Harus dimulai dari anak-anak dan pemuda yang telah selamat dari mimpi buruk tak terbayangkan, namun masih berani bermimpi. Tanpa mereka — tanpa pendidik dan pelajar Palestina di pusatnya — upaya pembangunan kembali apa pun tidak akan bertahan lama.
Rekonstruksi Tanpa Pengecualian
Rencana pemerintahan dan rekonstruksi Gaza yang saat ini beredar mengabaikan rakyat Palestina yang paling terdampak oleh genosida. Banyak aspek dari rencana-rencana itu dirancang bukan untuk memberdayakan, melainkan untuk mengendalikan — mendirikan pengawas baru alih-alih menumbuhkan kepemimpinan lokal. Mereka lebih memprioritaskan keamanan Israel daripada kesejahteraan dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.
Kita sudah melihat apa akibat dari pengecualian semacam itu dalam konteks Palestina: ketergantungan, frustrasi, dan keputusasaan. Sebagai akademisi yang selama bertahun-tahun bekerja bersama para dosen dan mahasiswa Palestina, kami telah menyaksikan betapa pentingnya peran pendidikan dalam masyarakat Palestina.
Itulah sebabnya kami yakin bahwa rekonstruksi harus dimulai dari pendidikan — termasuk pendidikan tinggi — dan harus dipimpin sendiri oleh rakyat Palestina. Para pendidik, akademisi, dan mahasiswa Palestina telah membuktikan keteguhan dan kemampuan mereka untuk bertahan serta membangun kembali.
Universitas-universitas di Gaza, misalnya, telah menjadi teladan ketangguhan. Meskipun kampus-kampus mereka hancur total, para profesor dan peneliti terus mengajar dan melakukan riset di tempat-tempat darurat — di tempat penampungan, tenda, dan alun-alun publik — mempertahankan kemitraan internasional dan memberi makna bagi bagian paling vital dari masyarakat: para pemuda.
Di Gaza, universitas bukan sekadar tempat belajar; mereka adalah sanggar pemikiran, welas asih, solidaritas, dan kesinambungan — infrastruktur rapuh dari imajinasi manusia.
Tanpa universitas-universitas ini, siapa yang akan mendidik para dokter, perawat, guru, arsitek, pengacara, dan insinyur yang dibutuhkan Gaza? Siapa yang akan menyediakan ruang aman untuk berdialog, berefleksi, dan mengambil keputusan — fondasi dari setiap masyarakat yang berfungsi?
Kita tahu bahwa tidak ada masa depan yang layak bagi rakyat Palestina tanpa lembaga pendidikan dan budaya yang kuat — lembaga yang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan, memulihkan martabat, dan menyalakan kembali harapan.
Solidaritas, Bukan Paternalistik
Selama dua tahun terakhir, sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Kampus-kampus universitas di seluruh dunia — dari Amerika Serikat hingga Afrika Selatan, dari Eropa hingga Amerika Latin — telah menjadi tempat kebangkitan moral. Mahasiswa dan profesor berdiri bersama menentang genosida di Gaza, menuntut diakhirinya perang dan menyerukan keadilan serta akuntabilitas.
Aksi duduk, doa malam, dan kamp-kamp solidaritas mereka mengingatkan kita bahwa universitas bukan hanya tempat belajar, tetapi juga tungku nurani.
Kebangkitan global dalam dunia pendidikan ini bukanlah simbol semata; ia merupakan penegasan kembali makna sejati ilmu pengetahuan. Ketika mahasiswa berani menanggung sanksi demi membela kehidupan dan martabat manusia, mereka mengingatkan kita bahwa pengetahuan tanpa kemanusiaan adalah hampa.
Solidaritas yang mereka tunjukkan harus menjadi pedoman bagi cara lembaga-lembaga pendidikan tinggi dunia dalam menjalin kerja sama dan membantu membangun kembali universitas-universitas Gaza.
Universitas-universitas di dunia harus mendengar, bekerja sama, dan berkomitmen untuk jangka panjang. Mereka dapat membangun kemitraan dengan lembaga-lembaga di Gaza, berbagi keahlian, mendukung penelitian, dan membantu membangun kembali infrastruktur intelektual masyarakat.
Beasiswa, proyek bersama, pengajaran jarak jauh, dan sumber daya digital terbuka adalah langkah-langkah kecil yang dapat membawa perubahan besar.
Kita tahu, seperti yang telah dibuktikan rakyat Palestina sendiri, bahwa pembangunan kembali Gaza tidak akan berarti tanpa membangun kembali pendidikannya. Dari ruang kelas-lah masa depan Palestina dapat kembali tumbuh — dengan kepemimpinan lokal yang kuat dan solidaritas dunia yang tulus.
Riset yang Menyelamatkan Kehidupan
Pembangunan kembali tidak pernah sekadar urusan teknis — ia adalah tindakan moral. Sebuah ekologi politik baru harus tumbuh dari dalam Gaza itu sendiri, dibentuk oleh pengalaman rakyatnya, bukan oleh model yang diimpor dari luar. Pendidikan yang bertahap dan lintas generasi adalah satu-satunya jalan keluar dari siklus kehancuran yang tiada akhir.
Tantangan ke depan menuntut kecerdikan ilmiah, medis, dan hukum. Misalnya, asbes dari bangunan yang hancur kini mencemari udara Gaza, mengancam terjadinya wabah kanker paru-paru. Bahaya itu saja sudah cukup untuk memerlukan kerja sama riset mendesak dan pertukaran pengetahuan lintas negara. Dibutuhkan waktu untuk berpikir, berdiskusi, menyelenggarakan konferensi, pertemuan, dan beasiswa pertukaran — seluruhnya adalah denyut nadi kehidupan akademik yang normal.
Selain itu, ada kekacauan kepemilikan tanah dan warisan di wilayah yang telah diratakan oleh tentara genosida. Para pengacara dan ilmuwan sosial akan dibutuhkan untuk menangani krisis ini: memulihkan hak kepemilikan, menyelesaikan sengketa, dan mendokumentasikan kehancuran untuk keadilan di masa depan.
Tak kalah penting, ada berbagai kejahatan perang yang dilakukan terhadap rakyat Palestina. Arkeolog forensik, ahli bahasa, psikolog, dan jurnalis akan berperan membantu masyarakat memproses duka, melestarikan kenangan, dan mengungkap kehilangan dalam kata-kata mereka sendiri.
Setiap bidang ilmu memiliki perannya. Pendidikan menyatukan semuanya — mengubah pengetahuan menjadi kemampuan bertahan hidup, dan kemampuan bertahan hidup menjadi harapan.
Menjaga Ingatan
Ketika Gaza berusaha bangkit dari genosida, wilayah ini juga harus memiliki ruang untuk berduka dan menjaga ingatan. Sebab perdamaian tanpa kebenaran hanyalah amnesia. Tak akan ada pembaruan tanpa duka, tak akan ada rekonsiliasi tanpa penamaan atas kehilangan.
Setiap rumah yang hancur, setiap keluarga yang lenyap, layak didokumentasikan, diakui, dan dikenang sebagai bagian dari sejarah Gaza — bukan dihapus atas nama kecepatan atau kepentingan politik. Melalui proses yang berat ini, metodologi baru dalam merawat kemanusiaan akan lahir. Tindakan mengingat adalah fondasi keadilan.
Pendidikan dapat berperan di sini juga — melalui sastra, seni, sejarah, dan iman — dengan memberi bentuk pada kesedihan dan mengubahnya menjadi tanah tempat ketangguhan tumbuh. Dalam lanskap Gaza yang rapuh dan porak-poranda, dunia yang lebih luas pun dapat disembuhkan melalui pendidikan. Dan hanya setelah itu, kita akan kembali memiliki di tanah itu, seperti kata penyair Palestina Mahmoud Darwish, “segala yang membuat hidup layak dijalani.”
Membangun kembali Gaza tentu akan membutuhkan derekan dan insinyur. Tetapi lebih dari itu, ia akan membutuhkan guru, pelajar, dan cendekiawan yang tahu bagaimana belajar dan berpraktik dengan penuh keterampilan.
Pekerjaan menuju perdamaian tidak dimulai dengan mesin pengaduk semen, tetapi dengan rasa ingin tahu, kasih sayang, dan keberanian.
Bahkan di tengah reruntuhan dan aslaa’ — potongan tubuh para staf dan mahasiswa yang menjadi korban kekerasan — universitas-universitas Gaza tetap hidup.
Mereka adalah penjaga ingatan dan pembangun masa depan Gaza, bukti nyata bahwa belajar itu sendiri adalah bentuk perlawanan, dan bahwa pendidikan harus dan akan selalu menjadi langkah pertama menuju perdamaian yang berkelanjutan.
*) Profesor kebijakan publik di Universitas Hamad Bin Khalifa, profesor kehormatan di Universitas York, dan anggota Kelompok Referensi Ahli ICMD Institut Raoul Wallenberg. Ketua UNESCO Bidang Integrasi Pengungsi di Universitas Glasgow.
Sumber : al Jazeera