Rencana Zionis untuk Memecah Timur Tengah (Bagian Pertama)
Sami Al-Arian (Profesor urusan publik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Urusan Global di Universitas Istanbul Sabahattin Zaim, Turki)
Artikel Rencana Zionis untuk Memecah Timur Tengah masuk dalam Kategori Analisa
Bulan lalu, utusan Amerika Serikat untuk Suriah dan Lebanon, Tom Barack, berkata: “Dalam pemikiran Israel, garis-garis yang dibuat oleh perjanjian Sykes-Picot tidak ada artinya,” seraya menambahkan bahwa entitas zionis “akan pergi ke mana pun yang ia mau, kapan pun ia mau,” untuk memastikan apa yang terjadi pada 7 Oktober tidak terulang kembali.
Jika kita menanggalkan pernyataan ini dari kata-katanya yang provokatif, kita akan melihat sikap yang jelas: di dunia pasca 7 Oktober, entitas zionis bersikeras melanjutkan strategi hegemoninya yang melampaui peta kolonial lama.
Sejak akhir 2023, Benjamin Netanyahu – yang tetap menjabat sebagai Perdana Menteri entitas zionis meskipun ia dicari oleh pengadilan pidana internasional atas tuduhan kejahatan perang di Gaza – menegaskan apa yang ia sebut sebagai “doktrin hari berikutnya”. Doktrin ini mensyaratkan berakhirnya perang genosida dengan menyerahnya Palestina sepenuhnya pada dominasi Israel.
Perang keji ini pun meluas dengan memicu peperangan lain di kawasan, dalam upaya menghabisi semua musuh negara Yahudi dan menggambar ulang peta dunia Arab.
Sebelum berangkat bertemu Donald Trump pada awal Februari lalu – untuk pertama kalinya setelah pelantikan Trump di periode keduanya – Netanyahu berkata di landasan Bandara Ben Gurion: “Keputusan-keputusan kami telah… menggambar ulang peta… dan dengan bekerja sama dengan Trump, kita bisa menggambarnya ulang lebih jauh lagi.”
Menggambar Ulang Peta Regional Baru
Sejak awal 2024, Netanyahu mulai mempromosikan rencana resmi Israel pascaperang, yaitu mempertahankan kendali penuh atas Tepi Barat, sambil menghancurkan Gaza dan kembali menduduki wilayah itu secara langsung.
Pada Juli 2024, Netanyahu menegaskan dalam kunjungannya ke Washington: “Dalam waktu dekat, kita harus mempertahankan kendali keamanan tertinggi – di Gaza – untuk kita.” Sepanjang 2024 dan 2025, pemerintah Israel bertindak sesuai pernyataan ini.
Contohnya, dengan menguasai Koridor Philadelphi di perbatasan Gaza–Mesir – pelanggaran terang-terangan terhadap perjanjian damai Mesir–Israel 1979 – musuh Israel ingin memperluas zona penyangganya. Para pejabat zionis menegaskan bahwa kebijakan ini akan berlanjut bahkan setelah ada gencatan senjata, sambil tetap mendorong pengusiran dan pemindahan paksa warga Gaza.
Setelah tercapainya perjanjian gencatan senjata dengan Hizbullah di Lebanon pada November 2024, pemerintah Israel mengumumkan bahwa mereka akan tetap bertahan di lima lokasi strategis di Lebanon selatan untuk memperluas zona penyangga ke utara. Sejak itu, Israel telah melanggar gencatan senjata ribuan kali.
Dalam beberapa hari setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, entitas zionis menyerbu Suriah dan menduduki lebih dari 600 kilometer persegi wilayah baru – lebih dari setengah luas Dataran Tinggi Golan yang telah mereka duduki sejak 1967.
Setelah invasi dan pendudukan baru ini, Menteri Pertahanan Israel, Yisrael Katz, berkata: “Tentara siap bertahan di Suriah untuk waktu yang tidak terbatas. Kami akan menduduki zona keamanan di Hermon dan memastikan seluruh zona keamanan di selatan Suriah bebas dari senjata dan ancaman.”
Israel juga mendirikan sedikitnya enam pangkalan militer di zona penyangga bebas senjata. Netanyahu mengklaim bahwa perjanjian 1974 yang mengatur batas zona penyangga tidak lagi berlaku karena ditandatangani dengan pemerintahan Assad sebelumnya.
Jika pernyataan Tom Barack terdengar familiar, itu karena versi sebelumnya dari posisi strategis ini sudah ada jauh sebelum 7 Oktober, bahkan satu dekade sebelum perjanjian Oslo.
Pada 1982, Oded Yinon dalam tulisannya “Strategi Israel untuk Tahun 1980-an” memaparkan gambaran sebuah sistem regional yang tidak didasarkan pada batas-batas Sykes-Picot, melainkan pada entitas sektarian dan terpecah-pecah di sekitar Israel.
Inti dari gagasan Yinon adalah membongkar seluruh dunia Sykes-Picot. Dalam tulisannya, ia menuangkan visi Israel untuk memecah semua negara yang mengelilingi entitas itu, bahkan lebih jauh lagi. Misalnya, ia menyerukan:
- Membagi Lebanon sepenuhnya menjadi lima entitas, yang menurutnya akan menjadi preseden bagi seluruh dunia Arab.
- Memecah Mesir secara geografis menjadi beberapa wilayah terpisah, sebagai tujuan politik Israel di front baratnya.
- Memecah Suriah dan Irak menjadi kawasan etnis atau agama terpisah, sebagai tujuan utama Israel di front timurnya.
- Jika Mesir terpecah, maka negara-negara seperti Libya dan Sudan tidak akan bertahan dalam bentuknya saat ini.
Meskipun visi menyeluruh ini tidak seluruhnya terwujud di lapangan, dokumen historis ini mencerminkan inti ideologi zionis: dominasi total melalui pelemahan politik menyeluruh, atau “Balkanisasi” seluruh dunia Arab.
Doktrin Pinggiran dan Pemanfaatan Kaum Minoritas
Jauh sebelum gagasan Yinon, Perdana Menteri pertama entitas zionis, David Ben Gurion, sudah berusaha – melalui apa yang disebutnya “doktrin pinggiran” sejak tahun 1950-an – menjalin aliansi dengan negara-negara non-Arab dan kelompok minoritas di pinggiran dunia Arab, seperti Iran sebelum Revolusi 1979, Turki sebelum Partai Keadilan dan Pembangunan, serta Ethiopia.
Ia juga memanfaatkan aktor non-negara, seperti beberapa partai Kurdi di utara Irak, Tentara Pembebasan Rakyat Sudan di Sudan Selatan, dan sejumlah milisi Maronit di Lebanon.
Perdana Menteri Israel sebelumnya, Menachem Begin, menegaskan logika kaum minoritas ini dengan jelas pada tahun 1980, ketika ia berkata: “Jika minoritas Kristen di Lebanon diserang… Israel tidak akan tinggal diam.”
Lebih dari empat dekade kemudian, entitas zionis berulang kali menyerang Suriah sejak jatuhnya rezim lama di akhir tahun 2024, dengan dalih melindungi minoritas Druze.
Dalam upayanya membenarkan pengeboman terhadap peralatan militer Suriah dan pendudukan lebih banyak wilayah, Netanyahu dua bulan lalu berpidato di hadapan komunitas Druze di Suriah, dengan mengatakan bahwa entitas zionis “sedang berupaya menyelamatkan saudara-saudara Druze kami dan menyingkirkan geng-geng rezim.”
Di Suriah, seperti halnya di Irak, kebijakan selama dua dekade terakhir berkisar dari upaya mengganti rezim, menebar kekacauan, memicu perang saudara, hingga mendorong terbentuknya kanton-kanton berdasarkan fakta di lapangan – dengan cara membangun wilayah otonomi Kurdi, daerah Druze, daerah Alawi, serta kantong-kantong Sunni dan Syiah yang lemah dan terkuras – sebagai alat pelaksana menuju peta yang digagas Yinon.
Lebih jauh lagi, Presiden Sudan Selatan Salva Kiir – lima bulan setelah pemisahan Sudan Selatan pada Juli 2011 – saat melakukan kunjungan pertamanya ke entitas zionis, berkata: “Tanpa kalian (yakni orang-orang Israel), kami tidak akan pernah berdiri.” Pernyataan ini seakan menegaskan bahwa seruan Yinon untuk memecah belah dunia Arab sejak awal 1980-an menjadi pertanda buruk yang nyata dari apa yang berhasil diwujudkan dalam empat dekade terakhir.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera