Rencana Zionis untuk Memecah Timur Tengah (Bagian Kedua)
Sami Al-Arian (Profesor Urusan Publik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Urusan Global di Universitas Istanbul Sabahattin Zaim, Turki)
Artikel Rencana Zionis untuk Memecah Timur Tengah masuk dalam Kategori Analisa
Batas-batas Zionis yang Digambar Berdasarkan Kepentingan Strategis
Di seluruh spektrum politik Israel, para pemimpin zionis kerap menggambarkan batas-batas entitas itu bukan sebagai garis internasional yang dijamin, melainkan sebagai tuntutan keamanan.
Dalam rencana pemisahan pasukan Israel dengan Mesir di Sinai pada 1975 – yang kemudian diintegrasikan ke dalam perjanjian damai Mesir–Israel tahun 1979 – para pemimpin Israel bersikeras menjadikan Sinai sebagai zona penyangga.
Shimon Peres, yang saat itu menjabat Menteri Pertahanan lalu kemudian menjadi Perdana Menteri dan Presiden, mengatakan dalam perundingan “Sinai 2” tahun 1975 bahwa Israel membutuhkan “zona penyangga dan wilayah Mesir yang berada di bawah administrasi sipil.”
Selain itu, hanya beberapa hari setelah invasi ke Lebanon pada 1982, mantan Perdana Menteri Menachem Begin mengungkap alasan sebenarnya dari serangan itu. Di hadapan Knesset ia berkata: “Begitu tentara Israel mendirikan zona aman dengan kedalaman 40 kilometer di utara perbatasan Israel, maka saat itulah tugas kita selesai.”
Hal serupa diutarakan mantan Perdana Menteri Yitzhak Rabin – bahkan setelah Perjanjian Oslo – di hadapan Knesset pada Oktober 1995: “Batas keamanan Negara Israel adalah di Lembah Yordan, dalam arti yang paling luas dari istilah ini.”
Tiga dekade kemudian, Netanyahu memperbarui formulasi itu terkait Gaza. Pada 2024 ia menegaskan: “Kita harus mempertahankan kendali keamanan tertinggi di sana untuk masa mendatang.”
Pernyataan-pernyataan semacam ini – yang muncul selama puluhan tahun melalui operasi ekspansionis yang sistematis dan kebijakan destabilisasi – memberi bobot historis pada ucapan Tom Barack.
Jika Inggris melalui Sykes dan Prancis melalui Picot telah menggambar peta kawasan lebih dari seabad yang lalu, maka para pemimpin entitas zionis yang datang setelahnya menentukan, selama puluhan tahun, instrumen-instrumen pengendalian kawasan ini: menjajah wilayah, menduduki koridor, menganeksasi lembah, membangun sabuk keamanan, menciptakan zona penyangga dengan merebut wilayah strategis, mengaktifkan program pengawasan dan peringatan dini, membuka akses mudah ke wilayah lawan, serta memiliki kemampuan menyerang dengan bebas tanpa batasan.
Karena itu, makna sebenarnya dari pernyataan Barack bukanlah menghapus garis batas di peta, melainkan menundukkannya pada logika dominasi geopolitik dan militer.
7 Oktober dan Implikasi Kebijakan Israel
Jika ada yang menganggap rencana ideologis Oded Yinon sulit terwujud, maka kebijakan nyata entitas Israel saat ini justru membuktikan bahwa doktrin strategis itu telah diadopsi selama puluhan tahun oleh para pengambil keputusan zionis. Rencana itu dijalankan dengan visi ekspansionis yang sejalan dengan “Rencana Yinon”, tanpa terikat hukum internasional atau menghormati diplomasi, karena sepenuhnya bertumpu pada dukungan Amerika Serikat yang total dan tanpa syarat.
Dengan demikian, arah kebijakan Israel saat ini dapat diringkas sebagai berikut: memberi prioritas pada kebebasan bertindak secara militer, melemahkan dan memecah belah negara-negara tetangga alih-alih membiarkan mereka kokoh, serta membangun hubungan strategis dengan kaum minoritas dan pihak-pihak pinggiran untuk menyeimbangkan atau melemahkan mayoritas Arab dan Islam.
Yinon telah menawarkan logika dan visi, dan entitas zionis memanfaatkan momentum setelah 7 Oktober. Respons brutalnya bertujuan memaksakan kembali gambaran dominasi dan kendali yang sempat dihancurkan oleh “Thufan al-Aqsa”.
Pernyataan Tom Barack tentang Sykes-Picot sejatinya mencerminkan logika ini. Maksudnya, ketika entitas zionis ditantang dengan kekuatan – sebagaimana yang terjadi pada 7 Oktober – ia akan merespons dengan kesombongan dan arogansi untuk mencari dominasi politik, militer, dan regional. Itulah inti dari konsep “kendali tertinggi”.
Dalam sebuah momen jarang penuh keterusterangan – meskipun diucapkan dalam bahasa Ibrani – Netanyahu baru-baru ini mengatakan bahwa ia sedang menjalankan “misi historis dan spiritual,” serta merasa “sangat terikat dengan visi Tanah Perjanjian dan Israel Raya.” Praktik kebijakan kolonial dan semangat superioritas ini terlihat jelas, tidak hanya di wilayah Palestina yang diduduki, melainkan juga di Lebanon, Suriah, dan kawasan sekitarnya.
Selama hampir dua tahun, Gaza dan penduduknya tetap berada di bawah kebijakan genosida yang sedang berlangsung dan dominasi militer Israel, sementara struktur pemukiman dan aneksasi di Tepi Barat terus berjalan tanpa henti. Hal ini berpotensi memperumit upaya Washington menormalisasi hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara regional lain.
Seiring meningkatnya agresi Israel di tanah Palestina, serta berlanjutnya bentrokan rutin di Lebanon, Suriah, Yaman, bahkan kemungkinan di Iran, ditambah serangan sporadis di tempat-tempat jauh seperti Tunisia dan Qatar, Amerika Serikat bukan hanya akan kehilangan pengaruhnya, melainkan juga akan menghadapi ancaman terhadap keamanan dan kepentingan ekonominya.
Dan setiap kali Washington berusaha mengucurkan lebih banyak sumber daya dan memperdalam keterlibatannya di kawasan untuk melindungi kepentingannya, upaya itu justru akan semakin menyulitkan kemampuannya menahan para pesaing globalnya seperti Tiongkok dan Rusia, atau menghadapi pengaruh mereka yang kian meluas di dunia.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera