Mengapa Pihak Pejuang Tidak Menyerang Israel ? (Bagian Pertama)
Oleh: Sa’id Ziyad – Peneliti dalam bidang politik dan strategi
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Mengapa Pihak Pejuang Tidak Menyerang Israel ? – pertanyaan itu sering diajukan oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung pada perang Gaza. Analisa dari Sa’id Ziyad ini cukup komprehensif agar kita bisa memahami hal tersebut
Lanskap medan pertempuran saat ini didominasi oleh situasi senyap dalam hal aktivitas operasional dari pihak pejuang Palestina, sejak dimulainya kembali agresi terhadap Jalur Gaza hingga saat artikel ini ditulis. Tidak tampak adanya intensitas operasional seperti yang sebelumnya kerap terlihat selama lima belas bulan awal perang sebelum dimulainya gencatan senjata selama enam puluh hari. Keadaan ini memicu pertanyaan dan perdebatan terkait kemampuan pejuang Palestina dalam melanjutkan operasi pertahanannya terhadap pasukan pendudukan. Publik pun terbagi dalam berbagai reaksi: ada yang diliputi kecemasan, ada yang meragukan, ada pula yang mengeluh dan bahkan menyindir.
Pertanyaan pun mengemuka: Apa yang menyebabkan penurunan intensitas operasi militer dari pihak pejuang Palestina, padahal telah berlalu hampir dua puluh hari sejak kembalinya eskalasi perang, ditambah dengan perluasan operasi darat musuh di wilayah Rafah, serta pengerahan tiga divisi militer secara menyeluruh ke wilayah Jalur Gaza? Divisi-divisi tersebut mencakup: Divisi 36 di wilayah selatan, Divisi 252 di wilayah tengah, dan Divisi 162 di wilayah utara. Bahkan, musuh telah memulai pembangunan jalur operasi baru yang memisahkan antara Kota Rafah dan Khan Younis, yang diberi nama “Morag”.
Mengapa pejuang Palestina tidak menghadapi pasukan musuh yang telah masuk jauh ke dalam wilayah Gaza? Apakah ini menunjukkan kelemahan signifikan dalam kapabilitasnya? Ataukah hal ini merupakan bagian dari taktik baru yang mengandalkan strategi kesabaran dan pendekatan menunggu sebelum secara aktif terlibat dalam pertempuran?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penting untuk terlebih dahulu meninjau dua konsep dalam ilmu militer: yang pertama adalah salah satu bentuk pertahanan, yakni pertahanan fleksibel; dan yang kedua adalah salah satu prinsip dasar dalam perang, yaitu prinsip efisiensi penggunaan kekuatan (ekonomi kekuatan).
Dengan menelaah konteks pertahanan yang dijalankan oleh pejuang Palestina sejak dimulainya operasi darat Israel pada malam 27 Oktober 2023, dapat disimpulkan dengan jelas bahwa pejuang Palestina — untuk pertama kalinya dalam sejarahnya — bertempur sejak meter pertama di wilayah pertahanannya. Mereka berhasil melancarkan serangan di setiap jalan, tanah, dan gang di seluruh area infiltrasi. Musuh tidak berhasil menembus satu pun lapisan pertahanan tanpa mengalami kerugian, baik di wilayah pengamanan, zona pertahanan depan, maupun zona pertahanan lapis dalam.
Tidak tercatat adanya pembubaran satu pun dari dua puluh empat batalion pertahanan milik Brigade Al-Qassam — mulai dari Beit Hanoun di utara hingga Tel al-Sultan di selatan. Bahkan, pejuang Palestina berhasil mencatat angka korban jiwa di pihak musuh yang termasuk tertinggi sejak dimulainya perang, khususnya dalam pertempuran sektor utara melawan pasukan musuh dalam skenario yang dikenal dengan “rencana para jenderal”. Pertempuran tersebut berlangsung selama 115 hari dan menyebabkan — menurut pengakuan musuh sendiri — gugurnya lima puluh lima personel, termasuk komandan Brigade Lapis Baja 401 Israel.
Seiring berjalannya waktu sejak meletusnya Operasi Badai Al-Aqsa, serta melalui analisis atas taktik pertahanan yang diterapkan oleh pejuang Palestina selama pertempuran tersebut, dapat diamati beragamnya metode dan strategi yang digunakan dalam operasinya — yang secara inheren bersifat tidak langsung dalam menghadapi musuh.
Beberapa di antara metode tersebut mencakup: tidak mempertahankan posisi pertahanan statis, beralih dari model pertahanan statis ke model pertahanan fleksibel, bersikap menunggu dan mengintai sebelum melancarkan serangan besar, serta memburu pasukan musuh setiap kali terdapat peluang nyata untuk menimbulkan kerugian. Salah seorang jenderal dari pihak musuh bahkan menggambarkan cara bertempur pejuang Palestina sebagai “seperti bunglon”, karena dinilai sangat adaptif dan beragam dalam pendekatan taktisnya.
Perubahan dinamis dalam struktur, formasi, dan pola tempur pasukan pejuang Palestina ini memungkinkan mereka untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi operasional selama pertempuran berlangsung. Tidak hanya itu, pendekatan ini juga memungkinkan mereka untuk tetap mempertahankan unsur kejutan dan inisiatif strategis, serta menjaga musuh dalam kondisi ketakutan terhadap hal-hal yang tak terduga — sebuah elemen krusial dalam taktik peperangan non-konvensional.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah