Freedom Flotilla: Sejarah Upaya Membongkar Blokade Israel di Gaza
Kapal Madleen, yang diluncurkan oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), menjadi salah satu dari sejumlah kapal tujuan Gaza yang dicegat Israel sejak blokade Gaza diberlakukan pada 2007.
rezaervani.com – Senin dini hari, pada tanggal 9 Juni 2025 yang lalu, kapal Madleen dihentikan militer Israel sekitar 185 kilometer dari Gaza, di perairan internasional.

Di antara 12 awak yang ditahan terdapat aktivis iklim Greta Thunberg, anggota Parlemen Eropa Rima Hassan, jurnalis Al Jazeera Omar Faiad, serta sejumlah aktivis lainnya.
Media Israel melaporkan Madleen dan awaknya digiring ke pelabuhan Ashdod, sekitar 30 km di utara Gaza. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dilaporkan memerintahkan agar para aktivis ditahan dalam sel isolasi, terpisah satu sama lain dan dari dunia luar.
Kapal yang berangkat dari Sisilia pada 1 Juni itu membawa bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina yang terjebak dalam blokade ketat Israel sejak 2 Maret. Blokade tersebut baru sedikit dilonggarkan bulan lalu setelah tekanan internasional meningkat.
Sejarah flotilla menuju Gaza
Sejumlah kapal Freedom Flotilla sebelumnya berupaya membongkar blokade Gaza.
Pada 2008, dua kapal dari Free Gaza Movement berhasil masuk ke Gaza, menjadi yang pertama menembus blokade laut Israel. Gerakan ini didirikan pada 2006 oleh para aktivis saat perang Israel melawan Lebanon, dan antara 2008 hingga 2016 mereka meluncurkan 31 kapal, lima di antaranya berhasil mencapai Gaza meski menghadapi pembatasan ketat Israel.
Sejak 2010, seluruh flotilla yang mencoba menembus blokade Gaza selalu dicegat atau diserang Israel di perairan internasional.
2010 – Gaza Freedom Flotilla
Pada 2010, pasukan komando Israel menyerbu kapal Mavi Marmara di perairan internasional. Serangan itu menewaskan 10 aktivis dan melukai puluhan lainnya, memicu kemarahan global. Kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan dan lebih dari 600 penumpang.
Mavi Marmara dimiliki dan dioperasikan oleh Humanitarian Relief Foundation (IHH), sebuah LSM asal Turki. Insiden ini memperburuk hubungan Israel-Turki dan menuai kecaman internasional karena dianggap melanggar hukum internasional.
Pada 2013, Israel meminta maaf atas “kesalahan operasional” dalam serangan tersebut. Kesepakatan kompensasi masih terus dinegosiasikan antara kedua negara. Sementara itu, prajurit dan pejabat Israel yang terlibat dalam serangan sedang diadili in absentia di Turki atas tuduhan kejahatan perang.
2011 – Freedom Flotilla II
Freedom Flotilla II diluncurkan pada 2011 sebagai tindak lanjut dari misi 2010. Dikoordinasikan oleh koalisi aktivis internasional dan sejumlah LSM, tujuan utama flotilla ini adalah menembus blokade Israel atas Gaza dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Lebih dari 300 peserta dari berbagai negara terlibat, dengan rencana berlayar menggunakan 10 kapal.
Namun, tekanan diplomatik intens dari Israel, ditambah laporan sabotase kapal serta pembatasan dari negara tuan rumah seperti Yunani, membuat sebagian besar kapal gagal berangkat.
Hanya kapal Dignite-Al Karama yang nyaris mencapai Gaza. Kapal berbendera Prancis dengan 17 penumpang itu awalnya menyatakan tujuan ke pelabuhan Mesir saat meninggalkan perairan Yunani, tetapi para aktivis kemudian mengumumkan bahwa mereka mengarah ke Gaza. Komando laut Israel mencegat kapal tersebut dan menariknya ke Ashdod. Aktivis di dalamnya ditahan untuk diinterogasi sebelum akhirnya dideportasi.
2015 – Freedom Flotilla III
Freedom Flotilla III diluncurkan pada 2015 sebagai upaya ketiga besar dari aktivis internasional untuk membongkar blokade laut Israel atas Gaza. Dikoordinasikan oleh FFC, misi ini melibatkan beberapa kapal, dengan kapal berbendera Swedia, Marianne of Gothenburg, sebagai pemimpin armada.
Pada 29 Juni 2015, angkatan laut Israel mencegat Marianne sekitar 100 mil laut dari Gaza, di perairan internasional. Pasukan komando naik ke kapal dan mengarahkannya ke Ashdod. Aktivis di dalamnya ditahan dan kemudian dideportasi, sementara beberapa awak kapal dibebaskan setelah enam hari.

2018 – Just Future for Palestine
Flotilla Just Future for Palestine – juga dikenal sebagai Gaza Freedom Flotilla 2018 – merupakan bagian dari upaya berkelanjutan FFC menantang blokade laut Israel atas Gaza. Kampanye ini melibatkan dua kapal utama, Al Awda (Kembali) dan Freedom, serta dua kapal pendukung, Mairead dan Falestine.
Pada 29 Juli dan 3 Agustus 2018, baik Al Awda maupun Freedom dicegat dan disita angkatan laut Israel di perairan internasional. Semua penumpang ditangkap, sebagian melaporkan mendapat serangan listrik Taser, pemukulan, atau penganiayaan dari pasukan Israel.
Sebagian besar peserta ditahan sebelum akhirnya dideportasi ke negara masing-masing.
2025 – Break the Siege ‘Conscience’
Saat bersiap berlayar menuju Gaza pada 2 Mei 2025, kapal Conscience diserang dua kali oleh drone bersenjata, hanya 14 mil laut dari pantai Malta. Serangan itu memicu kebakaran dan menimbulkan kerusakan serius di lambung kapal, memaksa 30 aktivis asal Turki dan Azerbaijan berjuang keras mengeluarkan air dan menjaga kapal tetap mengapung.
Empat orang mengalami luka ringan akibat serangan tersebut, termasuk luka bakar dan goresan.
Gaza di Ambang Kelaparan
Menurut laporan terbaru Integrated Food Security Phase Classification (IPC), satu dari lima warga Palestina di Gaza kini menghadapi kelaparan akibat blokade total Israel yang sudah berlangsung tiga bulan. Blokade itu baru sedikit dilonggarkan bulan lalu, memungkinkan masuknya sebagian bantuan pangan.
Sekitar 1,95 juta orang, atau 93 persen dari total populasi di Jalur Gaza, mengalami kekurangan pangan akut.
IPC memperingatkan bahwa blokade yang terus dilanjutkan Israel “kemungkinan akan menyebabkan pengungsian massal lebih lanjut, baik di dalam maupun antarwilayah,” karena barang-barang pokok yang vital bagi kelangsungan hidup akan semakin menipis.
Meski ada inisiatif distribusi bantuan yang dipimpin Israel dan didukung Amerika Serikat melalui Gaza Humanitarian Foundation, yang mulai menyalurkan bantuan bulan lalu, pusat distribusi barunya langsung berubah menjadi kekacauan hanya beberapa jam setelah dibuka pada 27 Mei. Proses distribusi ini juga diwarnai tragedi menyusul penembakan mematikan di sejumlah titik penyaluran bantuan.

Delapan Belas Tahun Blokade Israel
Jalur Gaza dihuni sekitar 2,3 juta orang, hidup di salah satu kawasan terpadat di dunia.
Sejak 2007, Israel mengendalikan secara ketat wilayah udara dan perairan Gaza serta membatasi pergerakan barang dan manusia masuk maupun keluar.
Bahkan sebelum perang, Gaza sudah tidak memiliki bandara yang berfungsi setelah Israel membom dan menghancurkan Bandara Internasional Yasser Arafat pada 2001, hanya tiga tahun setelah diresmikan.
Kini Gaza kembali menjadi saksi kehancuran luas dan penderitaan kemanusiaan, tetap dikenal sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”.
Sumber : al Jazeera