Kebohongan Solusi Dua Negara (Bagian Pertama)
oleh : Yvonne Ridley
Artikel Kebohongan Solusi Dua Negara ini masuk dalam Kategori Analisa
Politisi pada umumnya pandai berbohong. Sebagian dari mereka, seperti mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, seolah tidak bisa menahan diri dan dikenal luas sebagai pelaku berulang, sementara sebagian lainnya bersalah hanya karena ketidaktahuan. Namun demikian, dianggap tidak sopan atau melanggar etika parlementer jika sesama politisi atau jurnalis secara terang-terangan menegur mereka ketika melontarkan omong kosong. Padahal, dengan sengaja menyesatkan orang sama buruknya.
Hal ini juga disadari oleh filsuf Aristoteles yang, mungkin jengkel dengan berita palsu, pernah berkata: “Nemo censetur ignorare legem” — yang pada dasarnya berarti bahwa ketidaktahuan terhadap hukum bukanlah alasan. Dan ketika berbicara tentang Palestina, parlemen-parlemen Eropa dipenuhi oleh politisi yang mungkin bermaksud baik, tetapi sangat tidak memahami persoalan. Mereka seharusnya mengenal pepatah Latin lain: “ignorantia iuris nocet” — yang kira-kira berarti “tidak mengetahui hukum itu merugikan”.
Kebohongan terbesar yang beredar saat ini adalah klaim bahwa apa yang disebut solusi dua negara masih merupakan pilihan yang layak di Israel-Palestina. Cukup dengan melihat peta-peta yang sudah sangat dikenal itu, kita bisa langsung tahu jawabannya: bagaimana mungkin masih ada yang menyebut solusi dua negara dan berharap bisa dianggap serius?
Tekad Israel untuk menghapus Palestina dari peta terlihat jelas. Israel melahap tanah Palestina secara rakus dalam upaya tak terkendali untuk merampas lebih banyak wilayah, dengan cara yang tidak legal maupun adil.

Meski begitu, bulan lalu saya mendengarkan dengan tidak percaya ketika parlemen Inggris yang hanya dihadiri segelintir orang membahas soal Israel dan wilayah pendudukan. Perdebatan itu diprakarsai oleh Andrew Mitchell, menteri negara di Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan.
Menurut Hansard, catatan resmi parlemen, solusi dua negara disebut tidak kurang dari 14 kali oleh berbagai politisi lintas partai yang, terus terang saja, tampaknya sama sekali tidak menengok peta-peta tersebut dengan serius sebelum berbicara. Jadi mari kita tegaskan: solusi dua negara sudah mati dan terkubur sejak lama. Klaim bahwa solusi itu masih mungkin hanyalah khayalan belaka.
Mereka yang terus mencoba menghidupkan kembali “solusi” ini hanyalah optimis buta. Perluasan agresif Israel atas permukiman ilegalnya, lebih dari faktor lain apa pun, telah menghancurkan harapan akan “dua negara” yang bisa hidup damai berdampingan. Negara penjajah itu telah mengayunkan bola penghancur raksasa ala Zionis terhadap semua peta jalan ambisius menuju perdamaian di Timur Tengah. Faktanya, Israel memang tidak pernah serius dengan perdamaian. Perundingan hanya digunakan untuk memberi waktu lebih banyak agar bisa merebut sebanyak mungkin tanah Palestina dengan sesedikit mungkin orang Palestina yang tersisa di atasnya. Itulah kenyataan yang hanya sedikit politisi Barat yang mampu atau mau menyadarinya.
Ratusan permukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki dan di Yerusalem (semua permukiman Israel ilegal menurut hukum internasional) telah menciptakan rintangan Israel yang tak tertembus terhadap mimpi Palestina untuk memiliki negara berdaulat merdeka berdasarkan Garis Gencatan Senjata 1949 (dikenal sebagai “Garis Hijau” atau “perbatasan 1967”).
Pada tahun 2022, di Tepi Barat yang diduduki terdapat setidaknya 199 permukiman Israel dan 220 pos ilegal (permukiman kecil yang bahkan dianggap ilegal menurut hukum Israel sendiri), yang mencakup 3,6 persen dari total wilayah Palestina yang diduduki. Menurut klaim Israel, 542 kilometer persegi, atau 9,6 persen dari tanah Palestina yang diduduki, dianggap sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Israel dan diberi label sebagai “wilayah pengaruh permukiman”.

Permukiman dan para pemukim ilegal ini menjadi ancaman langsung bagi perdamaian dan keamanan kawasan. Mereka bukan hanya hampir memonopoli sumber daya air, tetapi juga menghalangi setiap bentuk pembangunan Palestina. Serangan pemukim terhadap orang-orang Palestina, tanah, lahan pertanian, kota, dan desa mereka sering terjadi, biasanya di bawah pengawasan dan perlindungan Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Ditambah lagi dengan Tembok Apartheid yang dibangun Israel, serta jalan-jalan khusus pemukim Yahudi, kondisi ini memastikan tidak ada keterhubungan nyata antara lahan tersisa yang seharusnya menjadi wilayah Negara Palestina — negara yang sampai hari ini hanya ada dalam pengakuan simbolis PBB.
Apakah masih ada yang terkejut bahwa penduduk Palestina, yang terhimpit di tiga kawasan utama di Tepi Barat yang diduduki, merasa benar-benar ditinggalkan dan terus-menerus hidup dalam ancaman di bawah pendudukan militer brutal Israel? Di utara wilayah pendudukan, termasuk kota Nablus, Jenin, dan Tulkarem, orang-orang Palestina tidak bisa bergerak tanpa melewati pos pemeriksaan militer; wilayah tengah Ramallah dan Al-Bireh juga berada di bawah ancaman konstan, begitu pula Hebron dan Betlehem di bagian selatan. Tiga blok wilayah ini pada gilirannya dibagi lagi menjadi enam kanton yang terdiri dari sekitar 68 ghetto, semuanya berada di bawah kendali militer Israel.
Orang Palestina mustahil saling mengunjungi atau menjalani urusan sehari-hari tanpa tertunda dan/atau terhalang di pos-pos pemeriksaan. Pembagian wilayah semacam ini melanggar kedaulatan mereka dan menghalangi berdirinya sebuah negara Palestina. Kehidupan sehari-hari menjadi penuh penderitaan; “kondisi normal” semacam ini jelas tak akan bisa diterima di tempat lain.
Serangan pemukim dan rasisme terang-terangan terhadap orang Arab adalah bagian dari pengalaman sehari-hari bagi warga Palestina. Namun demikian, politisi masih saja terus berbicara tentang solusi dua negara seolah-olah itu layak dan bisa segera diwujudkan. Dan mengapa beberapa anggota parlemen di Westminster, misalnya, masih berbicara seolah Israel dan Palestina adalah entitas yang setara, bukannya penjajah dan yang dijajah? Ini adalah persoalan yang jelas timpang, dari sudut pandang mana pun kita melihatnya.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Middle East Monitor