6 Alasan yang Mencegah Israel Menduduki Gaza Sepenuhnya (Bagian Pertama)
Dr. Ammar Ali Hassan (Penulis dan Peneliti Sosiologi Politik)
Artikel 6 Alasan yang Mencegah Israel Menduduki Gaza Sepenuhnya masuk dalam Kategori Analisa
Perang Israel terhadap Jalur Gaza memasuki babak baru dengan dimulainya apa yang oleh Benjamin Netanyahu disebut “tahap krusial” perang, dan oleh para komandan militer dinamai “operasi utama”. Tujuan yang diumumkan adalah menguasai Kota Gaza itu sendiri, membebaskan para sandera, serta melumpuhkan sisa kemampuan militer maupun administratif Hamas.
Sesungguhnya, operasi ini menargetkan sesuatu yang lebih jauh: mengisolasi total bagian utara Jalur Gaza dan menjadikannya kawasan tak layak huni untuk kemudian didirikan koloni-koloni Yahudi di atasnya, dengan “punggung” yang dilindungi oleh pendudukan atas Kota Gaza. Setelah itu, proses pengusiran paksa warga Gaza diharapkan mendapat dorongan kuat, sebab banyak penduduk utara telah mengungsi ke Kota Gaza; bahkan sebagian warga di selatan pun memilih berlindung di sana alih-alih melarikan diri ke Khan Younis.
Dengan mengerahkan beberapa divisi untuk operasi ini, Israel bertumpu pada intensitas tembakan—terutama setelah mulai menghantam banyak menara apartemen di Gaza—agar terjadi pelarian massal warga sipil ke arah selatan. Dengan begitu, perlawanan kehilangan bagian besar dari basis dukungan sosialnya, punggung para pejuangnya terbuka, dan pasukan penyerbu lebih mudah menjangkau jaringan terowongan bawah tanah yang menjadi infrastruktur militer utama para pejuang.
Pertanyaannya: apakah kali ini jalan bagi tentara Israel benar-benar terbuka untuk meraih apa yang sebelumnya gagal atau tersendat, terutama yang mereka sebut “menumpas Hamas hingga ke akar-akarnya” dan “membebaskan sandera”—sebagai pengantar untuk mendorong pengusiran warga Palestina yang mereka idam-idamkan, menutup perkara Palestina, dan memutus jalan bagi gagasan pendirian negara bagi mereka?
Sekilas pandang terhadap situasi umum sudah cukup untuk menunjukkan bahwa tentara Israel sama sekali tidak sedang bertamasya. Sementara pandangan yang lebih teliti, cermat, dan memperhatikan detail memperlihatkan bahwa tentara ini berada dalam kebuntuan—tak kalah genting dibanding saat serbuan darat pertamanya ke Jalur Gaza pada November 2023—karena alasan-alasan berikut:
1. Moral para tentara Israel sangat terpukul setelah menghadapi perlawanan gigih dari pejuang Palestina. Mereka merasakan jurang besar antara rencana yang digambar di atas kertas dan semangat yang dikobarkan para komandan mereka dengan kenyataan di medan perang.
2. Dengan pengumuman Netanyahu bahwa ia berniat menduduki Kota Gaza, kali ini tentara Israel akan dipaksa terjun ke dalam perang kota yang jauh lebih mendalam dibanding dua tahun terakhir. Jika sebelumnya mereka hanya menyusup ke pinggiran kota, mengisolasi beberapa lingkungan, dan masuk dengan hati-hati ke pusat kota lalu cepat kembali, kini — jika mengikuti rencana pemerintah — mereka harus berperang dari jalan ke jalan, gang ke gang, hingga mencapai jantung kota, menetap di sana, dan berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan keberadaan mereka bertahan dengan aman.
Ini adalah tugas yang sangat berat, apalagi berhadapan dengan perlawanan yang mengandalkan taktik “perang gerilya”, mengenal geografi kota lebih baik daripada tentara Israel, dan tidak terus-menerus berada di hadapan mereka. Para pejuang keluar dari terowongan untuk melancarkan serangan yang menyakitkan bagi pasukan pendudukan, lalu kembali bersembunyi di dalamnya.
Memang benar, tentara Israel sudah berkali-kali masuk jauh ke dalam kota-kota di Tepi Barat, bahkan sampai ke setiap jalannya jika mereka mau. Namun kondisi di Gaza berbeda: mereka menghadapi perlawanan yang lebih terlatih, lebih bersenjata, dan tetap mampu bertahan meski berbagai bencana menimpa. Semua itu terjadi di tengah perang yang semakin memanas, dalam pertempuran yang Israel sebut sebagai “pertempuran nol-sum”, dan di kawasan yang memiliki kepadatan penduduk jauh lebih tinggi.
3. Kali ini, tentara Israel memasuki pertempuran dengan bayangan jumlah korban luka di barisan mereka sendiri yang telah mencapai 20 ribu orang sejak perang dimulai, menurut laporan Kementerian Pertahanan Israel yang dimuat surat kabar Maariv. Itu belum termasuk jumlah korban tewas yang hingga kini ditutupi. Angka ini tentu menjadi beban psikologis yang berat, baik bagi prajurit maupun para komandannya.
4. Pada invasi pertama, tentara Israel berhasil menjual narasi ke dunia bahwa mereka sedang “membela diri” atau “merespons agresi”, dengan bertumpu pada kecaman internasional yang luas terhadap peristiwa 7 Oktober — yang sengaja dipisahkan dari konteks sejarah dan penderitaan panjang Palestina.
Namun kini mereka maju ke medan perang dengan cap “pelaku genosida” di kening mereka. Demonstrasi menentang Israel merebak di berbagai kota dunia, terutama di negara-negara Barat yang selama ini dianggap sebagai penopang utama Israel. Narasi Israel sebagai “negara yang sah” sedang dipertanyakan kembali, dan citra yang mereka bangun sejak berdirinya negara itu kini ikut terguncang.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera