Hamas Menekan Setan ke Pojok (Bagian Pertama)
Ahmad Al-Haylah (Penulis dan analis politik Palestina)
Artikel Hamas Menekan Setan ke Pojok masuk dalam Kategori Analisis
Gerakan Hamas mengumumkan kesediaannya untuk membebaskan seluruh tawanan dari kalangan tentara dan perwira Israel sesuai dengan “mekanisme pertukaran yang tercantum dalam Rencana Presiden Trump,” serta menyatakan kesiapan untuk segera memulai perundingan melalui para mediator guna membahas rincian pelaksanaannya.
Sikap ini langsung disambut positif oleh Presiden Trump. Ia memublikasikan pernyataan Hamas di akun pribadinya di platform Truth Social dan mengatakan, “Berdasarkan pernyataan Hamas, saya percaya mereka siap untuk perdamaian yang abadi.” Ia menambahkan, “Israel harus segera menghentikan pemboman di Gaza agar kita dapat mengevakuasi para sandera dengan aman dan cepat.”
Sihir yang Berbalik ke Penyihirnya
Beberapa hari sebelum tanggapan Hamas, muncul perdebatan luas mengenai kelayakan dan efektivitas Rencana Presiden Trump untuk menghentikan perang di Gaza. Rencana tersebut memuat sejumlah poin yang saling terkait namun juga saling bertentangan.
Di satu sisi, rencana itu menekankan penghentian perang, melarang pemaksaan penduduk untuk meninggalkan Jalur Gaza, menolak pendudukan Israel atas wilayah Gaza atau sebagian darinya, menyerukan penarikan bertahap pasukan pendudukan, memastikan masuknya bantuan kemanusiaan, serta pembebasan seluruh tawanan dalam waktu 72 jam.
Namun di sisi lain, rencana itu juga menyentuh isu-isu krusial yang berkaitan dengan masa depan perjuangan Palestina dan hak-hak nasional rakyat Palestina, di antaranya:
-
Menempatkan Jalur Gaza di bawah perwalian internasional pimpinan Amerika Serikat dengan nama “Dewan Perdamaian” di bawah kepemimpinan Presiden Trump, yang berarti mengabaikan hak penentuan nasib sendiri dan ketentuan hukum internasional. Selanjutnya, akan dibentuk pemerintahan lokal yang terdiri dari teknokrat Palestina dan pakar asing untuk mengelola urusan sipil, dengan syarat menyingkirkan Hamas, seluruh faksi nasional, serta Otoritas Palestina dari pengelolaan wilayah tersebut.
-
Memisahkan Jalur Gaza dari Tepi Barat, sementara Washington dan Presiden Trump memahami sepenuhnya sikap Israel yang secara tegas menolak berdirinya negara Palestina.
-
Membentuk pasukan internasional di bawah pengawasan Amerika Serikat untuk menggantikan pasukan pendudukan Israel yang akan menarik diri secara bertahap dan menempatkan diri di zona perbatasan dalam Jalur Gaza. Pasukan ini tetap akan mengendalikan perlintasan dagang dan pergerakan penduduk. Penarikan bertahap tersebut dikaitkan dengan sejumlah syarat politik, keamanan, dan sosial yang harus dipenuhi oleh pihak Palestina sesuai Rencana Trump, tanpa batas waktu yang jelas.
Rencana Presiden Trump untuk menghentikan perang menuntut langkah yang cermat dari pihak Palestina agar rakyatnya tidak terjebak dalam perangkap yang tersembunyi di dalamnya. Sebab, jika Hamas menyetujui rencana itu sebagaimana adanya — sesuai dengan seluruh rincian yang tercantum — hal itu berarti menerima sebuah rencana penyerahan diri dan pengawasan internasional atas bangsa Palestina, yang akan berpindah “dari bawah cucuran air ke bawah genteng bocor,” yaitu dari penjajahan Israel menuju penjajahan gabungan Amerika–Israel. Hal ini juga berarti meniadakan hak mereka untuk mendirikan negara Palestina dan hak menentukan nasib sendiri, sebagaimana dijamin oleh hukum internasional dan pendapat penasihat Mahkamah Internasional tahun 2024.
Bahkan klaim bahwa rencana itu mendorong rakyat Palestina untuk tetap tinggal dan tidak diusir secara paksa dari Jalur Gaza pun patut diragukan, jika pengelolaan Jalur Gaza dan nasib rakyat Palestina diserahkan kepada Israel yang brutal dan kepada Presiden Trump yang sulit diprediksi arah politiknya dari hari ke hari.
Gerakan Hamas menghadapi ujian yang sangat berat dan situasi yang tidak mudah. Bagaimana mungkin mereka mengorbankan hak-hak nasional rakyat Palestina dan menyerahkan nasib bangsa besar ini melalui kesepakatan yang memberikan legitimasi kepada kekuatan asing dan kepemimpinan Amerika untuk mengendalikan masa depan rakyat serta perjuangan Palestina — padahal Hamas berdiri dan berjuang demi membela rakyatnya yang telah menanggung pengorbanan luar biasa yang sulit digambarkan dengan kata-kata.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa apabila Hamas menerima rencana tersebut sebagaimana adanya, hal itu akan mempertaruhkan bahkan menghancurkan kredibilitasnya sendiri — sama saja dengan menembak diri sendiri, rakyatnya, dan perjuangan nasionalnya. Namun, jika menolaknya secara mutlak, Hamas akan dituduh oleh berbagai pihak dan negara sebagai tidak peduli terhadap darah rakyat Palestina, terutama di tengah sambutan positif yang diterima oleh Rencana Presiden Trump. Inilah yang membuat Hamas dan rakyat Palestina yang tertindas berada di posisi yang sangat sulit dan terjepit.
Dalam konteks yang rumit dan sensitif ini, sikap Hamas terhadap Rencana Presiden Trump menunjukkan kecerdasan dan ketajaman politik yang tinggi, karena mereka menanganinya dengan perhitungan yang sangat cermat, sebagai berikut:
Pertama: Hamas menyampaikan penghargaan terhadap upaya negara-negara Arab dan Islam serta terhadap usaha Presiden Trump dalam menghentikan perang. Langkah ini memberi Trump pujian yang diinginkannya — sebagai sosok “pembawa perdamaian” yang berambisi meraih Hadiah Nobel — dan memperkuat citranya sebagai tokoh dunia yang berperan besar dalam menghentikan peperangan, termasuk di Jalur Gaza.
Kedua: Hamas memisahkan antara apa yang menjadi kewenangannya sebagai gerakan dan apa yang menjadi hak rakyat Palestina sebagai bangsa, yang tidak dapat mereka putuskan sendiri. Karena itu, Hamas menyetujui pembebasan seluruh tawanan yang berada di tangan mereka sebagaimana tertuang dalam Rencana Trump, dengan mengaitkannya pada penghentian perang, penolakan terhadap pendudukan Jalur Gaza, pencegahan pengusiran, dan masuknya bantuan kemanusiaan.
Ketiga: Hamas menegaskan bahwa pengelolaan Jalur Gaza akan diserahkan kepada badan Palestina independen berdasarkan kesepakatan nasional sebelumnya, yang telah mendapat dukungan Mesir dan negara-negara Arab melalui KTT Arab di Kairo pada Maret 2025. Langkah ini merupakan keputusan cerdas yang menolak perwalian internasional sekaligus melibatkan negara-negara Arab dalam tanggung jawab langsung mendukung Palestina pascaperang.
Keempat: Hamas menyerahkan seluruh isu nasional yang tercantum dalam Rencana Trump — yang berkaitan dengan masa depan Jalur Gaza dan hak-hak rakyat Palestina — kepada forum nasional Palestina yang menyeluruh, yang juga akan diikuti oleh Hamas. Forum ini akan membahas isu-isu penting seperti hubungan antara Tepi Barat dan Jalur Gaza, pembentukan negara Palestina, hak menentukan nasib sendiri, serta status senjata perlawanan, dengan mengaitkannya pada negara Palestina yang berdaulat sebagai pemegang otoritas sah.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera