Kisah Produk Islami yang Tak Bisa Diblokade oleh Prancis (Bagian Kedua)
oleh al-Mahdi az-Zaidawi
Artikel Kisah Produk Islami yang Tak Bisa Diblokade Prancis ini masuk dalam Kategori Sejarah
Sumber Gangguan yang Terus-Menerus
Pada November 2020, muncul kerumitan baru dalam masalah penyembelihan halal setelah Kementerian Pertanian dan Pangan Prancis memberlakukan syarat tambahan terhadap proses penyembelihan unggas. Kebijakan ini memicu reaksi keras dari perwakilan komunitas Muslim di Prancis, yang menilai syarat-syarat tersebut tidak realistis untuk diterapkan tanpa melanggar ajaran Islam dalam tata cara penyembelihan. Karena itu, langkah tersebut dipandang sebagai bentuk pelarangan terselubung terhadap praktik halal.
Sengketa utama terletak pada cara penyembelihan unggas. Rumah potong hewan halal di Prancis selama ini terbiasa menyetrum unggas dengan intensitas ringan sebelum disembelih — tujuannya agar hewan kehilangan kesadaran sebagian, tetapi masih hidup saat disembelih.
Namun, Kementerian Pertanian kini mewajibkan penyetruman listrik yang lebih kuat, agar hewan benar-benar kehilangan kesadaran sebelum disembelih. Aturan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengelola masjid dan rumah potong halal, karena penyetruman yang terlalu kuat dapat menyebabkan kematian hewan sebelum disembelih, menjadikannya bangkai yang haram dimakan. Para ahli pemerintah menolak kekhawatiran itu, tetapi solusi alternatif yang mereka tawarkan — seperti penyembelihan otomatis agar hewan tidak merasakan sakit — dinilai terlalu mahal untuk diterapkan.
Karena sikap keras pemerintah Prancis terhadap penyembelihan halal ini, tiga masjid besar di Prancis — di Paris, Lyon, dan Évry — mengumumkan penolakan resmi terhadap kebijakan tersebut. Dalam pernyataannya, lembaga Islam ini menyampaikan bahwa mereka akan membawa kekhawatiran tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertanian, namun hingga kini belum ada hasil positif dari protes tersebut.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Pemerintah Prancis di bawah kepemimpinan Emmanuel Macron telah memperketat ruang gerak umat Islam melalui berbagai undang-undang. Kebijakan baru terkait penyembelihan halal ini dianggap sebagai bagian baru dari rangkaian pembatasan terhadap umat Muslim.
Pada saat yang sama, pemerintah mulai memikirkan cara memanfaatkan potensi ekonomi dari uang umat Muslim, sambil tetap membatasi ruang sosial mereka. Hal ini semakin menguat dengan diberlakukannya Undang-Undang “Separatisme Islam”, yang muncul pada saat pasar halal sedang berkembang pesat dan menghasilkan keuntungan besar bagi negara-negara Barat, termasuk Prancis.
Peneliti Florence Bergeaud-Blackler dalam bukunya Understanding Halal (2010) menjelaskan bahwa pasar halal sebenarnya diciptakan oleh negara-negara Barat sendiri pada tahun 1970–1980-an untuk mengekspor daging ke negara-negara Islam. Awalnya, produk halal hanyalah pasar untuk mengalirkan kelebihan produksi daging.
Demi efisiensi keuntungan, rumah potong hewan akhirnya menyembelih seluruh batch sesuai syariat Islam, meski hanya sebagian yang dijual sebagai produk halal. Karena itu, sebuah studi pada tahun 2011 memperkirakan bahwa seperempat hewan yang disembelih di Prancis — terutama domba — disembelih sesuai syariat Islam.
Namun, keraguan terhadap keaslian halal tetap menjadi isu yang tak pernah reda. Pada tahun yang sama, perusahaan Herta dituduh menjual sosis halal yang mengandung DNA babi. Produk tersebut ditarik dari pasaran, meskipun kemudian perusahaan dan lembaga sertifikasi halal dinyatakan tidak bersalah.

Seberapa Besar Pasar Halal di Prancis?
Dalam laporan surat kabar Le Monde tahun 2016, disebutkan bahwa nilai pasar halal di Prancis mencapai sekitar 5,5 miliar dolar AS. Sementara dalam laporan lain pada tahun 2019, kanal berita BFM TV menyebut bahwa meskipun penjualan produk halal di supermarket besar terus meningkat, pertumbuhan pasar halal secara keseluruhan masih lambat dan terbatas.
BFM menambahkan bahwa produk halal hanya mewakili 0,3% dari total penjualan produk konsumsi di toko-toko Prancis — jumlah yang setara dengan pasar bir buatan rumahan (craft beer), dan jauh lebih kecil dibandingkan pasar bir dan minuman beralkohol secara umum.
Laporan itu juga mempertanyakan apakah pasar halal akan kehilangan momentumnya di Prancis. Namun, jawabannya sulit dipastikan karena penelitian yang ada biasanya hanya mencakup penjualan halal di supermarket besar, yang porsinya masih kecil dan hanya mencerminkan sebagian kecil dari total produk halal yang dijual di luar jaringan ritel besar. Produk halal memang masih menempati ruang yang sangat terbatas di supermarket-supermarket Prancis.
Hal lain yang tak kalah penting adalah rendahnya kepercayaan komunitas Muslim terhadap perusahaan multinasional besar yang berbisnis di sektor halal. Contohnya, perusahaan Herta, anak usaha dari Nestlé, menghentikan produksi produk halal pada tahun 2012 dengan alasan “permintaan yang tidak mencukupi” setelah muncul kampanye negatif akibat ditemukannya jejak daging babi dalam produk halal mereka.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera