Mereka Pindah ke Gaza Selatan Sesuai Perintah, Lalu Israel Membunuh Mereka
Entah kata-kata apa yang dapat digunakan untuk menggambarkan kejahatan dan kebrutalan Israel, Setelah Tentara Israel Perintahkan Warga untuk Pindah ke Selatan, Israel Bunuh Mereka dengan mudahnya.
rezaervani.com – 6 Oktober 2025 – Diusir dari Kota Gaza akibat serangan, dua jurnalis Palestina termasuk di antara puluhan orang yang tewas saat mencari perlindungan di selatan.
Setelah Israel meningkatkan serangan bom dan mengeluarkan perintah evakuasi di Kota Gaza, juru kamera Palestina, Sami Dawoud, mengemas barang-barangnya dan pindah ke selatan untuk mencari keselamatan.
Ia berlindung bersama keluarganya di sebuah tenda di Deir al-Balah, wilayah tengah Gaza yang dianggap salah satu daerah paling “aman” di tengah kelaparan yang melanda seluruh Jalur Gaza.
Namun, belum genap seminggu, jet tempur Israel menyerang daerah itu. Sebuah bom menghantam tenda Dawoud, menewaskannya bersama putrinya dan sejumlah warga Palestina lainnya.
“Sami sangat berkomitmen untuk menjaga keselamatan istri dan anak-anaknya, serta memastikan mereka senyaman mungkin di mana pun mereka berada,” ujar sahabat sekaligus rekannya, fotografer Yahya Barzaq, kepada Middle East Eye.
“Ia sangat melindungi keluarganya, terutama karena istrinya tidak tahan menghadapi rasa takut. Ia selalu berusaha memastikan istrinya merasa tenang,” tambah Barzaq.
“Ia sangat menyayangi anak-anaknya, memperhatikan pakaian, pendidikan, kebersihan, dan cara mereka dibesarkan.”
Pada pertengahan Agustus, Israel melancarkan fase pertama dari serangan besar yang bertujuan menguasai Kota Gaza sebagai langkah menuju pendudukan penuh atas Jalur Gaza.
Langkah ini menandai eskalasi besar dalam strategi militernya, berpindah dari serangan udara terbatas selama berbulan-bulan menjadi invasi darat skala penuh.
Menjelang pertengahan September, militer Israel kembali meningkatkan serangan udara dan mengeluarkan perintah pengusiran massal terhadap lebih dari sejuta penduduk di Kota Gaza dan Jalur Gaza utara, memerintahkan mereka untuk melarikan diri ke selatan.
Di bawah bombardir tanpa henti dan tanpa tempat aman tersisa di utara, ratusan ribu orang terpaksa mengungsi.
Namun banyak dari mereka — seperti Dawoud — justru terbunuh di tempat mereka mencari perlindungan, di mana serangan tidak kalah mematikan.
Sejak 11 Agustus, Israel telah membunuh 1.903 warga Palestina di wilayah tengah dan selatan Gaza — sekitar 46 persen dari total korban jiwa di Jalur Gaza selama periode tersebut, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza.

“Kebrutalan yang Tak Terbayangkan”
Awalnya, Dawoud adalah penduduk Shujaiya, di timur Kota Gaza. Ia telah berulang kali mengungsi sejak awal genosida Israel di Gaza pada Oktober 2023.
Namun setelah perjanjian gencatan senjata pada Januari, ia kembali ke rumahnya. Sekitar sebulan kemudian, ia kembali terpaksa mengungsi ketika Israel melanggar kesepakatan dan melanjutkan serangan ke wilayah yang diblokade itu.
Awalnya, Dawoud menolak saran teman-temannya, termasuk Barzaq, untuk pergi lagi.
Namun sehari kemudian, ia mengirim pesan ke grup percakapan mereka, mengatakan bahwa ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya di bawah tembakan dan tidak sempat membawa apa pun dari rumah.
“Kami semua tertawa dan berkata kepadanya, ‘Bukankah kamu kemarin bilang mau tetap tinggal seperti pahlawan?’” kenang Barzaq.
“Ia menjawab bahwa ia tidak pernah membayangkan tingkat ketakutan dan kebrutalan yang ia dan keluarganya alami. Sejak hari itu, Sami bertekad untuk tidak lagi membiarkan keluarganya terpapar bahaya semacam itu.”
Setelah Mengungsi, Ia Meminta Bantuan Barzaq untuk Mencari Tempat Berlindung
Barzaq memberitahunya tentang sebuah gedung tujuh lantai di Kota Gaza yang rusak parah — separuhnya hancur, dan separuh lainnya miring berbahaya — namun masih dihuni oleh keluarga-keluarga pengungsi yang menganggapnya lebih aman dibanding tinggal di tenda.
Satu apartemen masih kosong, dan Dawoud pun menerimanya. Ia tinggal di sana selama tiga hari.
“Lalu ia berkata kepadaku, ‘Yahya, gedung ini berbahaya. Setiap kali ada bom, bangunannya bergetar hebat dan anak-anak ketakutan,’” tutur Barzaq kepada Middle East Eye.
“Jadi ia pindah ke apartemen lain [di wilayah tengah Kota Gaza].”
Melarikan Diri dari Kematian ke Kematian
Akhirnya, Dawoud memutuskan untuk meninggalkan Kota Gaza sepenuhnya. Ketika tiba di wilayah tengah Jalur Gaza bulan lalu, ia kembali menghubungi Barzaq.
“Tolong aku. Aku sudah tiba, tapi aku ada di jalan,” tulisnya dalam pesan.
Barzaq kemudian membuat seruan publik secara daring, meminta jika ada seseorang di Deir al-Balah yang dapat menampung Dawoud dan keluarganya, bahkan hanya untuk satu malam. Namun tak ada yang merespons.
“Malam itu, ia praktis tidur di tempat terbuka,” kata Barzaq.
Keesokan harinya, setelah mencari ke mana-mana, Dawoud menemukan sebidang tanah kosong dan mendirikan tenda di sana.
Ia memberi tahu Barzaq bahwa ia merasa lega, karena mengira tempat itu aman — tidak ada orang lain di sekitarnya.
Sekitar seminggu kemudian, serangan udara Israel menargetkan tenda tersebut. Dawoud tewas bersama putri sulungnya, Ghena. Istrinya dan putri keduanya luka-luka.
Kematian Dawoud menimbulkan kemarahan dan kesedihan di kalangan jurnalis Gaza, karena rekan-rekannya menegaskan bahwa pekerjaannya tidak pernah memprovokasi tentara Israel.
“Kami pernah bekerja bersama dalam sebuah kanal pendidikan daring yang bertujuan mengubah kurikulum sekolah menjadi pelajaran digital selama pandemi COVID-19, ketika para siswa dan guru bergantung pada pembelajaran jarak jauh,” ujar Barzaq.
“Sami adalah juru kamera sekaligus editor video. Ia sangat terampil dan profesional dalam pekerjaannya. Yang membedakannya adalah ketenangannya — ia bekerja dengan sikap tenang dan rendah hati. Ia adalah sosok yang berakhlak, beriman, dan penuh ketenangan.”
Barzaq Tewas
Sehari setelah berbicara dengan Middle East Eye pada hari Senin, Yahya Barzaq tewas akibat serangan udara Israel di Deir al-Balah, wilayah tengah Jalur Gaza.
Serangan itu menghantam area dekat sebuah kedai kopi yang baru saja ia kunjungi untuk mengunggah hasil liputan yang telah difotonya.
Menurut sahabatnya, fotografer Mahmoud Abuhamda, Barzaq baru dua minggu sebelumnya melarikan diri dari Kota Gaza ke Deir al-Balah.
“Ia masih menyiapkan tendanya,” kata Abuhamda. “Tendanya belum selesai, tapi ia tak menemukan tempat lain untuk tinggal, jadi ia dirikan di atas atap sebuah bangunan di Deir al-Balah.”
Seperti Dawoud, Barzaq juga berusaha mati-matian mencari tempat aman untuk melindungi istri dan dua anaknya sebelum ia terbunuh.
Begitu mendengar kabar kematian sahabatnya, Abuhamda bergegas ke kamar jenazah di Rumah Sakit al-Aqsa untuk memberikan perpisahan terakhir.
“Aku melihat bercak darah di bagian belakang kepalanya, dan darah itu sudah membeku, jadi aku menduga berasal dari serpihan bom,” katanya.
“Ini bukan pertama kalinya ia menghadapi maut. Tahun lalu, saat meliput berita untuk TRT, sebuah drone quadcopter melayang di atasnya dan menembak langsung ke arahnya. Ia kemudian bersembunyi di tenda dan mendokumentasikan kejadian itu.”

Barzaq dikenal luas di Gaza sebagai fotografer bayi baru lahir. Ia telah melakukan sesi pemotretan untuk ratusan bayi di seluruh Jalur Gaza.
Pada bulan Januari, ia membagikan sebuah video montase berisi foto-foto bayi yang pernah ia potret — banyak di antara mereka kemudian tewas akibat serangan Israel.
“Ini adalah anak-anak yang pernah saya potret di studio saya. Saya menyaksikan tawa manis mereka dan kasih sayang orang tua mereka kepada mereka, dan kini mereka terbunuh dalam sekejap mata,” tulisnya dalam keterangan video tersebut.
“Saya ingin perang ini berakhir — untuk semua orang secara umum, dan terutama untuk anak-anak. Saya tidak sanggup lagi menyaksikan penderitaan mereka, tangisan mereka, ketakutan mereka, jeritan mereka, dan kelaparan mereka.”
Menurut Mahmoud Abuhamda, Barzaq memiliki firasat kuat bahwa ia akan terbunuh selama perang berlangsung.
“Ia merasa kematian sudah dekat. Ia sering berkata kepada saya bahwa ia berharap perang segera berhenti, karena ia tidak yakin bisa selamat dari serangan udara atau serpihan bom. Peristiwa yang akhirnya merenggut nyawanya itu selalu menghantui pikirannya,” kata Abuhamda.
“Ia sering berbicara tentang ironi hidupnya — bagaimana dulu ia memotret bayi-bayi yang baru lahir ke dunia, dan kini ia justru mendokumentasikan kematian di Gaza.”
Sumber : Middle East Eye