Mengapa Blair “Si Putih” Ingin Memerintah Gaza ? (Bagian Kedua)
Oleh : Nihad Zaki
Artikel Mengapa Blair “Si Putih” Ingin Memerintah Gaza ? masuk dalam Kategori Analisa
Beban Orang Kulit Putih di Gaza
Dalam beberapa hari terakhir, banyak keraguan dan pertanyaan muncul mengenai rincian rencana Trump yang samar. Sementara syarat-syarat yang dibebankan pada Gerakan Hamas ditulis dengan sangat tegas dan jelas — seperti menyerahkan semua tawanan, hidup atau mati, dalam waktu 72 jam, melucuti senjata kelompok perlawanan, serta menghancurkan seluruh terowongan — di sisi lain, rencana tersebut justru kabur dan tidak transparan dalam hal kewajiban yang dikenakan pada pihak pendudukan Israel.
Rencana itu tidak menetapkan batas waktu bagi penarikan pasukan pendudukan dari Gaza, juga tidak menyinggung masa depan negara Palestina, hanya menyebut secara singkat soal koordinasi dialog Palestina–Israel mengenai masa depan Gaza. Hal ini membuat banyak pihak meragukan bahwa “perwalian internasional” itu bisa berlangsung tanpa batas waktu yang jelas.
Menurut Dr. Muhammad as-Sanusi, guru besar studi prospektif dan urusan internasional di Universitas Muhammad V, Maroko, sejarah sedang berulang dan terus memutar lingkaran tak berujung dari tragedi Palestina — dimulai dari Deklarasi Balfour tahun 1917, dilanjutkan dengan keputusan pembagian wilayah tahun 1947, kemudian Perjanjian Oslo tahun 1993, dan kini kita berada di ambang babak baru dari “perwalian internasional”, di mana “situasi sementara” lambat laun berubah menjadi kondisi permanen.

Hal ini juga ditegaskan oleh laporan Sam Kelly, yang menulis bahwa Trump — sebagaimana sebelumnya Netanyahu — menyatakan bahwa Jalur Gaza akan tetap berada di bawah perwalian internasional “sampai” Otoritas Palestina dapat membuktikan kelayakannya sesuai standar Amerika dan Israel.
Artinya, perwalian itu akan terus berlaku sampai para “wali” memastikan bahwa rakyat Palestina sudah siap memegang kekuasaan. Maka muncul pertanyaan penting: siapa yang menentukan bahwa rakyat Palestina sudah siap untuk memerintah dirinya sendiri dan menentukan nasibnya? Penilaian terhadap “kesiapan” Otoritas Palestina diserahkan kepada wali itu sendiri — yaitu Amerika Serikat — yang jelas bukan pihak netral, melainkan sekutu lama Israel, sekaligus pihak yang terlibat langsung dalam perang pemusnahan yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Lebih dari itu, rencana yang dipasarkan di bawah slogan kemanusiaan sebagai “langkah pertama menuju perdamaian” ini, justru akan memisahkan Gaza dari Tepi Barat, menghalangi berdirinya negara Palestina, dan mengosongkan substansi perjuangan Palestina dari maknanya.
Usulan untuk menempatkan rakyat Palestina di bawah perwalian adalah langkah mundur ke masa lalu. Ia menghidupkan kembali logika “beban orang kulit putih” yang dominan sepanjang abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 — gagasan yang berusaha membenarkan kolonialisme dengan dalih bahwa bangsa-bangsa belum cukup “beradab” untuk memerintah dirinya sendiri, dan bahwa perwalian internasional hanyalah masa sementara di mana “orang kulit putih” bertugas “mempersiapkan ras lain” agar layak diberi hak menentukan nasib sendiri sesuai ukuran “peradaban Barat”.
Tentang hal itu, ‘Adil Bisytawi menulis dalam bukunya Sejarah Kezaliman Amerika bahwa Kipling “dengan satu puisi telah memikulkan beban kemanusiaan baru di pundak umat manusia non-kulit putih — beban orang berkulit cokelat, kuning, dan hitam. Dan jika orang kulit putih memang memikul beban itu, maka beban yang sesungguhnya adalah memindahkan kekayaan bangsa-bangsa berwarna ke negerinya sendiri, sambil meninggalkan kebodohan, kemiskinan, penyakit, dan kelaparan di belakangnya.”
Dalam terang teori beban orang kulit putih itu, jika kita meninjau pernyataan Netanyahu dan sejumlah pejabat pemerintahannya, tampak jelas adanya kecenderungan superioritas ras terhadap bangsa Palestina. Mereka berulang kali menanggalkan kemanusiaan rakyat Palestina, menyebut mereka sebagai “hewan manusia”, bahkan mengaitkan penduduk Gaza dengan kaum ‘Amaliqah — sebuah bangsa yang disebut dalam kisah Perjanjian Lama, yang konon diperintahkan untuk dimusnahkan seluruhnya.
Hubungan erat antara rasisme dan kolonialisme ini telah dikaji secara mendalam oleh pemikir besar almarhum Dr. ‘Abd al-Wahhab al-Masiri, dalam jilid keenam Ensiklopedia Yahudi, Yudaisme, dan Zionisme-nya. Ia menulis bahwa proyek Zionis berusaha mengadopsi ide dan teori dasar yang menjadi landasan bagi proyek kolonial Barat, sehingga tidak mengherankan jika para pengusung Zionisme juga mengadopsi konsep “beban orang kulit putih.”
Sosiolog Zionis Arthur Ruppin bahkan membatasi istilah “Yahudi” hanya untuk orang Yahudi kulit putih, yakni kaum Ashkenazi, untuk memungkinkan mereka — sebagaimana dijelaskan al-Masiri — memperoleh hak-hak dan keistimewaan yang disimpan oleh “orang kulit putih” bagi dirinya sendiri, termasuk hak untuk memikul beban peradaban dan kolonialisme yang berat itu.
Rencana Trump Bukan yang Pertama
Rencana Trump bukanlah upaya pertama untuk menegakkan perdamaian di Timur Tengah dan menyelesaikan konflik Arab–Israel melalui sistem perwalian internasional. Pada April 2003, setelah Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush, mengumumkan “Peta Jalan” (Road Map) untuk solusi dua negara pada tahun 2005, mantan Duta Besar AS untuk Israel, Martin Indyk, menulis sebuah artikel panjang di majalah Foreign Affairs pada Mei tahun yang sama. Dalam tulisannya, ia menyerukan agar Palestina ditempatkan di bawah perwalian Amerika Serikat dengan mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, hingga tercapai solusi final mengenai batas-batas negara Palestina — dengan klaim bahwa perwalian asing adalah satu-satunya cara praktis untuk menerapkan peta jalan itu di lapangan.
Rencana Indyk tersebut mencakup masa mandat Amerika, di mana AS akan membangun lembaga-lembaga politik yang demokratis, kekuasaan kehakiman yang independen, serta menyusun konstitusi baru bagi negara tersebut. Pada akhirnya, Amerika akan mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas sebelum menyerahkan kekuasaan kepada rakyat Palestina.
Rencana itu juga mencantumkan pembentukan pasukan militer internasional berjumlah sepuluh ribu tentara, dengan partisipasi negara-negara seperti Inggris, Australia, dan Kanada. Indyk menjelaskan bahwa pasukan tersebut akan menjalankan peran serupa dengan yang dimainkan Amerika Serikat di Afghanistan pada tahun 2001. Ia menetapkan jangka waktu tiga tahun untuk masa berlakunya perwalian itu, yang bisa diperpanjang sesuai kondisi dan perkembangan situasi.
Pandangan Indyk ini tidak jauh berbeda dari rencana Trump yang baru-baru ini diumumkan. Keduanya sama-sama menyerahkan pengelolaan wilayah Palestina kepada kekuatan asing yang menjadi wakil resmi rakyatnya secara hukum dan politik. Dengan demikian, kedua gagasan itu sejalan dengan ideologi kolonial lama yang bersumber dari pandangan paternalistik — bahwa negara-negara Barat memiliki kewajiban moral untuk mengatur urusan bangsa-bangsa yang dianggap lebih rendah dan kurang beradab.
Itulah makna sejati dari konsep “beban orang kulit putih” (The White Man’s Burden), yang mengabaikan kedaulatan suatu bangsa atas tanahnya sendiri dan haknya untuk menentukan nasibnya.
Kedua rencana itu juga menempatkan rakyat Palestina di hadapan dua pilihan yang sama-sama pahit: perwalian internasional atau pendudukan Israel. Dengan cara ini, rencana-rencana tersebut tampak bukan sebagai sarana untuk mewujudkan perdamaian, melainkan alat tekanan dan pemerasan politik — menggunakan pendudukan Israel sebagai momok untuk menakut-nakuti dan menundukkan rakyat Palestina. Semua ini menimbulkan pertanyaan: apakah sebenarnya “rencana perdamaian” Trump hanyalah permainan politik yang memberi Israel lebih banyak waktu untuk mengubah kenyataan di lapangan?
Perlu juga dicatat bahwa terdapat dua versi dari rencana tersebut. Menteri Luar Negeri Pakistan, Muhammad Ishaq Dar, menegaskan bahwa versi rencana yang diumumkan Trump berbeda sama sekali dari dokumen yang dilihat oleh negara-negara Arab dan Islam dalam pertemuan mereka dengannya pekan sebelumnya. Netanyahu telah melakukan perubahan terhadap teks yang diumumkan, dalam sebuah pertemuan selama enam jam yang dihadiri menantu presiden Jared Kushner dan utusan Amerika untuk Timur Tengah, Steve Witkoff — sebagaimana diungkap oleh situs Axios Amerika.
Tidak mengherankan jika Netanyahu menjadi pendukung pertama dari rencana Amerika itu, karena rencana tersebut mewujudkan tujuan-tujuan perang yang gagal ia capai selama dua tahun intervensi militer — tanpa harus menanggung biaya besar dari pertempuran.
Pada saat yang sama, rencana itu menjadi tali penyelamat bagi Israel di tengah isolasi internasional yang semakin mencekik akibat meningkatnya kemarahan dunia atas perang pemusnahan brutal yang dilancarkannya terhadap Jalur Gaza, serta penggunaan kelaparan sebagai senjata untuk menghancurkan perlawanan rakyat Palestina.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera