Mengapa Blair “Si Putih” Ingin Memerintah Gaza ? (Bagian Ketiga)
Oleh : Nihad Zaki
Artikel Mengapa Blair “Si Putih” Ingin Memerintah Gaza ? masuk dalam Kategori Analisa
Rencana Tony Blair
Sebagian pihak berpendapat bahwa alasan dipilihnya Tony Blair untuk memimpin Jalur Gaza setelah perang berakhir adalah karena hubungan politik dan diplomatiknya yang luas, yang membuatnya memahami secara mendalam kompleksitas konflik antara Palestina dan Israel — terlebih ia telah berperan selama delapan tahun sebagai mediator antara kedua pihak. Pendapat ini benar, tetapi itu hanyalah satu dari banyak faktor yang membuatnya terpilih.
Setelah mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Inggris pada tahun 2007, Blair langsung diangkat sebagai utusan Kuartet Timur Tengah (The Middle East Quartet), yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tugasnya adalah membantu menyelesaikan “masalah-masalah politik” yang tersisa antara Otoritas Palestina dan Israel sebagai langkah menuju pembentukan negara Palestina.
Saat itu, Martin Indyk menerbitkan sebuah laporan di majalah Foreign Affairs yang mendorong Tony Blair—sebagai utusan Kuartet Timur Tengah—untuk mengadopsi rencana penempatan Palestina di bawah perwalian internasional. Ia menasihati Blair bahwa untuk meraih keberhasilan di posisinya yang baru, ia membutuhkan rencana kerja yang siap dijalankan dan beberapa ribu pasukan internasional sebagai pendukung.
Tampaknya Blair mendengarkan nasihat itu. Dalam minggu-minggu pertama sejak dimulainya perang Israel terhadap Jalur Gaza, Blair berulang kali mengunjungi wilayah Palestina yang diduduki. Setelah kembali, ia menugaskan lembaganya yang terkenal untuk menyusun proposal pembentukan suatu badan yang dapat memperoleh mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa agar menjadi wakil sah dan politik bagi wilayah tersebut, dengan nama “Otoritas Internasional Sementara untuk Gaza”.
Ini berarti, segera setelah perang dimulai, Blair langsung memulai perumusan rencananya sendiri untuk menerapkan sistem perwalian atas Gaza. Kini, dengan melihat situasi saat ini, tampak jelas bagaimana tiga benang rencana—proyek Trump, rencana Blair, dan gagasan Martin Indyk—bertemu untuk menentukan nasib Gaza tanpa mempertimbangkan kehendak rakyatnya.
Dalam pidatonya yang mengumumkan rencana komprehensif bagi perdamaian di Gaza, Trump menyebut mantan perdana menteri Inggris itu sebagai “Blair yang baik hati”, sebuah julukan yang sejalan dengan citra yang ingin dibangun Blair untuk menandai kembalinya ke panggung internasional dan kehidupan publik.
Uskup Agung Afrika Selatan yang terkenal, Desmond Tutu, pernah menyatakan bahwa Blair seharusnya diadili di Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag atas perannya dalam kematian ratusan ribu orang Irak selama perang Irak. Penulis dan jurnalis Amerika, Belén Fernández, juga sependapat, dengan mengatakan bahwa sekadar mencantumkan nama Blair dalam “Dewan Perdamaian Trump” sudah memberi “cap kolonial” pada keseluruhan proyek, seraya bertanya: bagaimana mungkin seorang penjahat perang di Irak bisa menjadi pembawa perdamaian di Gaza?
Jawabannya sederhana: dua pertiga masyarakat Israel memandang Blair sebagai teman sejati Israel. Ia pun tidak pernah menyembunyikan dukungannya. Dalam perang Lebanon pada Juli 2006, Blair berdiri di pihak Amerika Serikat, menolak seruan gencatan senjata, dan menyatakan bahwa Israel memerlukan lebih banyak waktu untuk menghancurkan kemampuan Hizbullah.

Selama menjabat sebagai utusan Kuartet, Blair tidak menunjukkan sikap netral terhadap isu Palestina dan rakyat Palestina. Banyak pengamat menilai kebijakannya kala itu tidak jauh berbeda dengan kebijakan yang ia jalankan saat menjadi Perdana Menteri Inggris—sepenuhnya sejalan dengan agenda Amerika dan Israel.
Semua faktor yang mencurigakan ini membangkitkan kembali kenangan masa mandat Britania Raya atas Palestina (1917–1948). Sejarawan asal Yerusalem, Dr. Ahmad al-‘Alami, dalam bukunya Penjajahan Britania atas Palestina, menjelaskan bagaimana Inggris menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya negara Zionis asing di tanah Palestina, demi mewujudkan janji Menteri Luar Negeri Britania, Balfour.
Rekam jejak Blair dalam politik tidak berhenti pada perannya menyesatkan rakyat Inggris dengan klaim palsu tentang keberadaan senjata pemusnah massal di Irak—sebagaimana diungkap oleh laporan Komisi Penyelidikan Perang Irak yang dipimpin Sir John Chilcot pada 2016, yang menyimpulkan bahwa keputusan invasi itu salah dan didasarkan pada intelijen palsu. Ia juga menghadapi tuduhan lain di luar ranah politik, sebagaimana disebut jurnalis Inggris Jonathan Cook dalam makalah penelitian yang diterbitkan pada musim gugur 2013 oleh Palestine Studies Institute.
Para pengkritiknya menilai Blair tidak pernah berlaku adil terhadap Timur Tengah. Selain itu, Financial Times memperkirakan pendapatan tahunan Blair mencapai sekitar 20 juta pound sterling pada tahun 2012. Ia mendirikan lembaga konsultasi politik di London bernama Tony Blair Institute for Global Change, memanfaatkan jaringan luasnya untuk memberikan jasa konsultasi politik dan ekonomi ke berbagai negara. Sejak tahun 2008, ia juga bergabung dengan bank investasi Amerika Serikat, JP Morgan, sebagai penasihat senior dengan bayaran besar.
Atas semua alasan itu, penempatan Gaza di bawah perwalian langsung Amerika Serikat dan pengawasan Tony Blair menjadi bagian paling berbahaya dari rencana ini. Sam Kelly, dalam laporannya yang disebutkan sebelumnya, menulis bahwa langkah tersebut menempatkan posisi Palestina dalam kebuntuan, baik jika menerima maupun menolaknya. Rencana ini menggunakan kedok “perdamaian” untuk menutupi permainan politik yang rumit, penuh tipu daya dan pemerasan, dengan dalih menghentikan serangan dan menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi penduduk Gaza.
Dalam permainan ini, rekonstruksi hanyalah alat tekanan; penarikan pasukan Israel dijadikan hadiah bersyarat, bukan hak sah rakyat Palestina. Dengan demikian, proyek Trump tidak lebih dari ladang ranjau—bukan rencana perdamaian.
Inilah jebakan yang berusaha dihindari oleh Gerakan Perlawanan Islam (Hamas). Tanggapan mereka terhadap rencana Presiden AS pada 3 Oktober lalu terbagi dua.
Bagian pertama menunjukkan niat baik, dengan menyatakan kesediaan menyerahkan semua tawanan, hidup maupun mati, guna memenuhi poin pertama dan menjamin penghentian agresi Israel terhadap Gaza. Sedangkan bagian kedua menegaskan bahwa penentuan masa depan Gaza adalah urusan nasional yang tidak bisa diputuskan Hamas sendiri. Gerakan tersebut juga menyatakan persetujuan terhadap proposal Mesir dan menegaskan kembali keinginannya menyerahkan administrasi Gaza kepada badan Palestina independen.
Secara tak terduga, Trump menyambut positif tanggapan Hamas dan mempublikasikan pernyataan itu di akun resminya di media sosial. Sikap ini mengejutkan Netanyahu, yang menurut laporan Axios menganggap respons Hamas sebagai penolakan terhadap rencana Amerika.
Meski tampak bahwa kesepakatan gencatan senjata dan penghentian perang antara pasukan pendudukan dan kelompok perlawanan semakin dekat, hari-hari mendatang akan diwarnai perundingan yang rumit, sarat dengan rincian yang ingin diamankan masing-masing pihak. Di tengah semua itu, Tony Blair—bersama pihak-pihak yang mendukungnya—menunggu hasil akhir dari negosiasi tersebut, mengincar peran imperial baru yang bersembunyi di balik nama indah: “Dewan Perdamaian.”
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera