Sambut Tim Senam Israel, Indonesia Khianati Palestina
Oleh : Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat
Seakan-akan menunjukkan sikap hipokrit, sikap Inodnesia Sambut Tim Senam Israel telah mengkhianati sejarah panjang dukungan negeri itu pada Palestina. Demikian paparan kritis dari penulis ini yang kami muat di Kategori Analisa
Indonesia selama ini mengklaim posisi moral yang tinggi dalam perjuangan rakyat Palestina. Dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali komitmen Jakarta terhadap solusi dua negara, mengutuk krisis kemanusiaan di Gaza, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Palestina tidak dapat dipisahkan dari keadilan.
Namun, hanya beberapa minggu kemudian, Indonesia bersiap untuk menggelar karpet merah bagi tim nasional senam Israel. Federasi Senam Israel mengonfirmasi bahwa para atletnya telah resmi terdaftar untuk berkompetisi dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik di Jakarta pada 19 Oktober. Para pejabat Indonesia, dalam langkah yang sangat berbeda dari kebijakan selama beberapa dekade, menyatakan bahwa delegasi tersebut akan disambut tanpa syarat.
Waktunya tidak bisa lebih ironis. Ketika gambar-gambar kehancuran, pengungsian massal, dan kematian warga sipil dari Gaza terus mengguncang dunia, Indonesia mengambil keputusan yang justru melemahkan prinsipnya sendiri. Menjadi tuan rumah bagi Israel bukan sekadar urusan olahraga; itu adalah tindakan politik, sebuah langkah yang berisiko menormalkan negara yang bertanggung jawab atas apa yang oleh banyak pakar hak asasi manusia, termasuk pejabat PBB, digambarkan sebagai kampanye pembersihan etnis—kalau bukan genosida terang-terangan.
Selama beberapa dekade, Indonesia telah menarik garis yang jelas. Sejak Asian Games tahun 1962, ketika Israel dan Taiwan dikeluarkan dari Jakarta, pemerintahan-pemerintahan berikutnya selalu konsisten menolak menjadi tuan rumah bagi delegasi Israel. Bahkan ketika globalisasi membawa atlet Israel ke berbagai kompetisi di Asia, Indonesia tetap teguh, memaksa Israel mengalihkan hubungan olahraganya ke Eropa. Sikap itu bukan soal permusuhan kecil atau isolasionisme; melainkan cerminan keyakinan Indonesia bahwa tidak ada ajang olahraga yang boleh melegitimasi negara apartheid.
Pada tahun 2023, Indonesia dicabut haknya sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA setelah menolak partisipasi Israel. Gubernur Bali secara terbuka menentang keikutsertaan Israel, yang akhirnya memicu intervensi FIFA. Pada tahun yang sama, Indonesia juga melepaskan status tuan rumah World Beach Games ketimbang menerima atlet Israel. Meski berbiaya tinggi, keputusan-keputusan itu menandakan kejernihan moral: pembelaan terhadap hak-hak Palestina lebih penting daripada gengsi menjadi tuan rumah ajang internasional.
Mengapa kejernihan itu kini ditinggalkan?
Alasan pemerintah terdengar samar, dibungkus dengan janji kabur tentang “memisahkan olahraga dari politik.” Para pejabat menekankan skala kejuaraan senam yang belum pernah terjadi sebelumnya—diikuti 86 negara, terbesar sepanjang sejarah—dan pentingnya menunjukkan kemampuan Indonesia sebagai tuan rumah global. Namun olahraga tidak pernah benar-benar terpisah dari politik, terlebih di sini. Mengizinkan tim Israel masuk ke Jakarta sementara reruntuhan Gaza masih berasap mengirimkan pesan yang jelas: bahwa Indonesia bersedia melunakkan prinsip kebijakan luar negerinya yang paling dijunjung tinggi demi kenyamanan dan pengakuan internasional.
Ucapan Prabowo di PBB kini terasa penuh kontradiksi yang tidak nyaman. Ia berbicara tegas tentang hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri, tentang kewajiban komunitas internasional menghadapi penjajahan dan kekejaman. Namun di dalam negeri, pemerintahnya justru memberi izin kepada delegasi Israel. Rakyat Indonesia pun bertanya: manakah kebijakan yang sejati? Yang diucapkan di aula marmer New York, atau yang dijalankan di arena senam Jakarta?
Ketidakkonsistenan ini berisiko lebih dari sekadar rasa malu. Ia mengancam meruntuhkan kredibilitas Indonesia sebagai pemimpin di dunia Muslim dan Selatan Global. Selama puluhan tahun, Jakarta menempatkan diri sebagai suara hati nurani—menolak hubungan dengan Israel, menggalang solidaritas internasional, dan memposisikan diri sebagai jembatan antarbangsa. Dengan membiarkan Israel berkompetisi tanpa penolakan, Indonesia melemahkan posisi moralnya tepat pada saat hal itu paling dibutuhkan.
Tentu saja, ada harga dari sikap tegas. Kehilangan hak menjadi tuan rumah terasa menyakitkan. Federasi internasional menghukum pembangkangan, dan para atlet muda sering menjadi korban dari kesempatan yang dibatalkan. Namun solidaritas bukanlah sesuatu yang mudah. Rezim apartheid Afrika Selatan tidak tumbang hanya oleh diplomasi sopan; ia dijatuhkan oleh isolasi global, termasuk larangan berpartisipasi dalam Olimpiade dan berbagai ajang olahraga lainnya. Isolasi itu memiliki bobot simbolik, menandakan bahwa supremasi ras tidak memiliki tempat di dunia. Lalu mengapa Israel—yang kebijakannya di Gaza dan Tepi Barat mencerminkan, bahkan dalam beberapa hal melampaui, kekejaman apartheid Afrika Selatan—harus dikecualikan dari perlakuan serupa?
Indonesia kini menghadapi sebuah pilihan. Ia bisa tetap berpegang pada ilusi nyaman bahwa olahraga dan politik berada di dua dunia yang terpisah, atau ia dapat menegaskan kembali integritas prinsipnya. Mengizinkan Israel berkompetisi di Jakarta ketika Gaza masih berdarah adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang selama ini Indonesia klaim sebagai pegangannya.
Prabowo berkata di PBB bahwa kebebasan Palestina tidak dapat dipisahkan dari keadilan itu sendiri. Jika kata-kata itu hendak bermakna, maka Indonesia harus meninjau kembali keputusannya. Dunia tidak akan menilai Jakarta dari keberhasilan penyelenggaraan kejuaraan yang diadakannya, melainkan dari apakah ia memilih untuk tetap teguh—atau goyah—di hadapan genosida.
Sumber : Middle East Monitor