Bagaimana HAMAS Berhasil Bermanuver dan Lolos dari Perangkap ? (Bagian Ketiga)
Oleh: Saif al-Din Maw’id (Penulis dan Jurnalis Palestina)
Artikel Bagaimana HAMAS Berhasil Bermanuver dan Lolos Perangkap ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Siapa yang menjamin bahwa perang tidak akan berlanjut lagi setelah tawanan dikembalikan dan perlawanan dilucuti? Siapa yang menjamin bahwa blokade tidak akan meluas atau pengusiran tidak akan kembali dilakukan atas nama “bantuan kemanusiaan”?
Ada satu kenyataan yang tidak boleh diabaikan: perlawanan kini terjepit antara palu realitas dan landasan tekanan. Pilihannya sangat terbatas. Menerima jebakan dalam rencana berarti menerima pendudukan, menyerahkan senjata, dan mengorbankan masa depan perjuangan Palestina. Menolaknya berarti dituduh sebagai penyebab berlanjutnya pembantaian di hadapan dunia.
Beginilah perlawanan ditempatkan pada posisi yang sulit. Persamaan tanpa jalan keluar ini adalah hasil dari ketimpangan kekuatan dan keberpihakan dunia terhadap Israel, tetapi juga akibat dari kesalahan perhitungan dan kebijakan keliru dari beberapa ibu kota Arab dan Muslim yang mengira bahwa tekanan dan permainan diplomasi bisa membantu meredam dampak perang di Gaza — seolah-olah perlawananlah yang menjadi penyebab kekacauan, bukan pendudukan Israel dan dukungan Amerika tanpa batas.
Padahal, kenyataannya, penerapan Rencana Trump apa adanya akan membawa dampak regional yang sama berbahayanya dengan perang itu sendiri. Rencana ini berpotensi membuka jalan bagi penerapan model “perwalian asing” di seluruh dunia Arab dengan dalih “mengeringkan sumber ancaman”. Apa yang diuji hari ini di Gaza, bisa diterapkan besok di Tepi Barat, Lebanon, Suriah, atau bahkan di kota Arab dan Muslim lainnya.
Proyek Zionis pada dasarnya adalah alat kekaisaran kolonial untuk mempertahankan kendali atas jantung dunia lama. Semakin melemah kemampuan Amerika untuk memaksakan dominasinya secara langsung, semakin besar kebutuhan untuk menjadikan Israel sebagai pusat gravitasi politik, keamanan, dan ekonomi yang menarik kawasan ke dalam orbitnya.
Cukup kita lihat pernyataan Tom Barrack — “Lawrence of Arabia” versi Amerika modern — yang menyampaikan pandangan Amerika–Zionis tanpa basa-basi: menyerukan kembalinya negara-negara Arab ke bentuk kesukuan, dan menggantikan proyek nasional yang menyatukan dengan entitas-entitas otonom berdasarkan sekte, suku, dan ras, sesuai dengan kepentingan regional dan internasional. Semua ini membentuk realitas “pasca-negara”, di mana tanah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan, dan manusia sekadar alat untuk melayani proyek kekuasaan dan penaklukan.
Barang siapa menganggap hal ini berlebihan, cukuplah meninjau dua dekade “kekacauan kreatif” dan melihat ke mana arah kemerosotan itu berjalan.
Namun, mengkritik rencana atau meragukan masa depan negosiasi saja tidak cukup. Jika Gaza adalah titik krusial antara kebangkitan sebuah umat dan kawasan yang terus dirampas, maka yang dibutuhkan adalah visi dan peta jalan Arab–Islam. Tidak ada arti bagi pembicaraan tentang keamanan regional tanpa landasan moral dan hukum yang menghentikan genosida, membongkar sistem pemukiman, dan mengakhiri pendudukan.
Karena itu, menyikapi Rencana Trump bukanlah urusan internal Palestina semata, tetapi ujian moral besar bagi seluruh umat.
Taruhan sejati hari ini adalah kemampuan bangsa Palestina — dengan seluruh faksi dan kekuatan nasionalnya — dan dukungan kuat dari dunia Arab dan Islam, untuk membentuk posisi bersama yang membongkar perangkap ini, menata ulang prioritas atas dasar kebebasan dan keadilan, serta menjaga hak-hak sah rakyat Palestina — bukan atas dasar pemerasan politik dan kemanusiaan.
Rinciannya tidak boleh diserahkan kepada Washington dan Tel Aviv untuk menulis ulang medan dan mengubah penghentian perang menjadi jeda sementara. Hal itu hanya bisa dicegah dengan tekanan dan pengaruh nyata dari dunia Arab–Islam yang mampu menggunakan kekuatan diplomasi dan politik untuk menghadapi Amerika Serikat.
Dibutuhkan dua payung utama: payung kemanusiaan, untuk segera menghentikan pembantaian dan membuka bantuan tanpa syarat politik; dan payung politik, yang dibangun di atas prinsip kokoh — penarikan penuh pasukan dengan tenggat waktu yang jelas, jaminan hukum internasional yang mengikat, penyatuan kembali Gaza dan Tepi Barat di bawah otoritas Palestina yang sah dan dipilih rakyatnya, serta keadilan bagi para korban melalui kompensasi dan rekonstruksi.
Kita berada di momen ujian bagi kesadaran dan martabat umat. Perundingan tidak boleh dilakukan atas dasar pengorbanan prinsip rakyat Palestina, dan pengelolaan “hari setelah perang” tidak boleh merampas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri. Yang harus dilakukan adalah menolak segala upaya mematikan perjuangan atas nama “penyelamatan”, dan menegakkan gencatan senjata sejati yang melindungi warga sipil tanpa menyerahkan masa depan mereka — mengembalikan politik kepada makna sejatinya: pembebasan tanah dan manusia, bukan pengelolaan liang kubur yang terbuka.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera