Bagaimana Gaza Mengalahkan Pasukan yang Dianggap Terkuat ?
Oleh : Kamal Ozturk (Penulis dan Jurnalis Turki)
Artikel Bagaimana Gaza Mengalahkan Pasukan yang Dianggap Terkuat ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Saat aku melihat puluhan ribu orang berjalan tanpa alas kaki, di atas debu yang berdebu, di tengah sebuah kota yang hancur, aku merasa malu menulis apa pun tentang keuntungan atau kerugian geopolitik dari gencatan senjata.
Saat itu aku sadar bahwa tetap hidup di Gaza itu sendiri sudah merupakan sebuah kemenangan.
Selamat hidup di bawah ancaman pemusnahan yang dilakukan oleh entitas pembunuh yang mengebommu dengan senjata paling mematikan, sementara kau terkepung di sebidang tanah kecil tanpa tempat berlindung dan tanpa jalan keluar — itu adalah kemenangan bagi dua juta orang yang terkepung.
Bertahan hidup sebagai anak yang tak bersenjata, atau seorang wanita yang tak berdaya, atau seorang pria tanpa senjata, di tanah yang dikepung dari laut dan darat, sementara bom-bom berjatuhan di atas kepala penduduknya dan tidak ada yang menanggapi seruan tolong mereka — itu sendiri adalah sebuah mukjizat.
Sebuah bangsa tetap berpegang pada rumah-rumahnya yang berubah menjadi debu, yang dipaksa mengungsi sekali ke selatan, lalu untuk kelima kalinya ke utara, yang ditembaki oleh penembak runduk agar mereka tidak makan atau minum sampai mati di jalan — namun tetap bersikeras kembali; itu adalah kemenangan.
Tetap hidup di Gaza, tetap ada, tidak mati — itu kemenangan yang belum pernah disaksikan sejarah sejenisnya.
Tahan tanpa senjata, tanpa parit, tanpa perlindungan, tanpa sekutu, tanpa sepotong roti, namun tetap berdiri — itu kemenangan yang legendaris.
Seluruh dunia menyaksikan perlawanan sebuah bangsa yang sedang dimusnahkan, melawan salah satu tentara terkuat di dunia, yang dipasok dengan senjata paling mematikan, sebuah tentara yang tak mengenal belas kasihan.
Dalam pembantaian massal yang disaksikan oleh “teman-teman” dan “saudara-saudara”, negara-negara yang mengaku beradab, tetangga yang berbicara dalam bahasamu, namun tak bergerak sedikit pun — tetap jatuh tanpa menyerah; itu juga kemenangan.
Di tanah yang dipenuhi makhluk yang menunggu kematianmu, serigala dan anjing liar mengintaimu dengan cakar mereka yang ternoda, selamat dari luka-luka itu — itu kemenangan.
Aku tak mampu menulis tentang ketentuan-ketentuan perjanjian gencatan senjata, setelah melihat seorang ibu dan anaknya berusaha kembali ke rumah yang berubah menjadi tumpukan batu di Khan Yunis.
Aku tak sanggup menjelaskan kepadanya keuntungan-geopolitik dari perjanjian itu saat aku menatap matanya.
Aku tak mampu membandingkan: “Apakah Israel diuntungkan dari perjanjian ini? Dan apakah Hamas dirugikan?”.
Ketika sebuah bangsa yang diusir untuk keempat kalinya ke selatan, dan kelima kalinya ke utara… berjalan tanpa alas kaki di jalan-jalan yang telah menjadi gurun, aku tak lagi mampu menulis tentang titik-titik kelemahan dan kekuatan dalam perjanjian itu.
Karena tekad orang-orang yang melangkah di bawah teriknya matahari, yang debu mereka disapu angin menuju laut, namun mereka bersikeras kembali ke reruntuhan rumah mereka — itu sendiri sudah kemenangan.
Dalam sejarah peperangan, hal pertama yang menjadi sasaran negara-negara adalah kehendak perlawanan pada musuh. Karena setiap tentara dan setiap bangsa yang kehilangan kehendak untuk bertempur, sudah ditakdirkan untuk kalah.
Bayangkan seorang Palestina yang kehilangan anak-anaknya, kerabatnya, kotanya diratakan, rumahnya hancur, tak tersisa apa pun di dunia ini baginya — namun kehendaknya untuk berjuang tak patah.
Mereka membunuh anak-anaknya dengan kelaparan, tersisa hanya tulang, tak punya sepotong makanan, namun ia tak menyerah, tak melepaskan perjuangan.
Mungkin hal terbesar yang bisa mematikan kehendak berjuang adalah pengkhianatan teman. Negara-negara yang disebut “saudara”, dan bangsa-bangsa yang dianggap “teman”, tak memberinya roti, tak mengulurkan tangan saat ia sekarat kelaparan.
Namun meski begitu, semangatnya tak goyah, ia tak mundur dari pertarungan untuk bertahan hidup.
Dan ini—pada dirinya sendiri—adalah kemenangan.
Sejarah belum pernah menyaksikan perlawanan seperti ini.
Sejarah tak mengenal suatu bangsa yang memilih mati dengan kehormatan, dan menolak menyerah kepada salah satu tentara terkuat di bumi, yang dipersenjatai dengan alat-alat pembunuh paling hebat.
Oleh karena itu, tetap hidup di Palestina adalah kemenangan.
Saat mereka tetap hidup, saat mereka tak meninggalkan tanah mereka, saat mereka mencengkeram tanah berdebu itu dengan tangan mereka, sesungguhnya mereka telah mengalahkan salah satu tentara terkuat di bumi.
Maafkan saya, saya tak akan menulis tentang “keuntungan dan kerugian realpolitik” dalam perjanjian gencatan senjata.
Karena tetap hidup di Gaza adalah kemenangan, dan kemenangan ini dicapai oleh tangan bangsa Palestina yang berani.
Sumber: Al Jazeera