Gaza: Bagaimana Kehidupan Dibawah Blokade Panjang ?
Oleh : Yaser Alashqar (Dosen Studi Konflik dan Politik Timur Tengah, Trinity College Dublin)
Artikel Gaza: Bagaimana Kehidupan Dibawah Blokade Panjang ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Dalam laporan terbarunya kepada Dewan Keamanan PBB pada akhir Oktober, Nikolay Mladenov, koordinator khusus PBB untuk proses perdamaian Timur Tengah, memperingatkan bahwa selama pendudukan atas tanah Palestina terus berlangsung dan solusi dua negara semakin menjauh, maka: “Ini adalah tragedi lintas generasi bagi rakyat di tanah ini.” Mladenov mengatakan bahwa meskipun situasi kemanusiaan di Gaza tetap menjadi prioritas utama bagi PBB, “inti dari krisis di Gaza adalah persoalan politik.”
Saya kembali ke Gaza — tempat saya tumbuh dan tinggal selama 22 tahun — pada Juli 2019 untuk sebuah proyek penelitian tentang dimensi kemanusiaan dan politik dari krisis di sana, dengan melakukan wawancara terhadap berbagai lapisan masyarakat. Perjalanan ini memberi saya gambaran nyata tentang realitas pendudukan, blokade, dan penderitaan di Gaza.
Perjalanan masuk dan keluar Gaza penuh dengan ketidakpastian, pembatasan, dan hal-hal yang tak terduga. Namun semua ketidakpastian itu hanyalah sekilas dari apa yang harus dihadapi penduduk Gaza setiap hari di wilayah yang terkepung ini.
Sekitar dua juta orang telah hidup di Gaza di bawah blokade ketat Israel sejak 2007. Mereka telah menjadi sasaran serangan militer brutal sejak 2008, dalam konteks kebijakan Israel yang disebut “memotong rumput” — serangan dan pemboman militer yang membunuh warga sipil tanpa pandang bulu dan menyebabkan kerusakan besar terhadap infrastruktur sipil di Gaza. Kampanye Israel ini terus berlanjut dengan dalih untuk melemahkan kekuatan militer Hamas, gerakan politik bersenjata Palestina yang memerintah Gaza.
Blokade ini diberlakukan dengan cara militer, baik di darat maupun di udara. Pergerakan pesawat militer Israel, suara drone tak terlihat, dan ledakan di malam hari menjadi sumber utama stres, ketakutan, dan kecemasan. Seperti yang dikatakan oleh Lana Matar, seorang ibu dua anak yang bekerja di bidang media di Gaza:
“Karena keadaan ketakutan yang terus-menerus ini, anak-anak hampir tidak memiliki harapan untuk hidup lama di Gaza.”
Kemungkinan untuk bepergian keluar dari Gaza melalui perlintasan Rafah dengan Mesir tetap terbatas dan penuh dengan risiko serta pembatasan keamanan. Pergerakan orang antara Gaza, Tepi Barat, dan Israel terus dibatasi hanya untuk “kasus-kasus luar biasa” dan tunduk pada izin Israel, yang dalam banyak kasus ditolak dengan alasan keamanan yang tidak dijelaskan.

Selain itu, terdapat berbagai pembatasan yang rumit dari pihak Israel terhadap pengiriman barang dagangan serta pergerakan barang masuk dan keluar Gaza.
Setiap upaya untuk menembus blokade dibalas dengan hukuman berat. Kisah tentang Gaza terus diberitakan oleh media internasional melalui laporan tentang roket dan serangan udara yang melibatkan Israel dan Gaza. Namun, sejak Maret 2018, banyak warga Gaza yang turun ke jalan setiap hari Jumat dalam aksi protes damai bertajuk “Pawai Kepulangan” di perbatasan Gaza-Israel.
Keterlibatan para pengungsi Palestina dalam gerakan massa dan perjuangan tanpa kekerasan, seperti yang pernah saya sampaikan sebelumnya, merupakan salah satu pilihan utama yang tersedia bagi rakyat Palestina untuk mengambil inisiatif dan menciptakan perubahan politik.
Kondisi yang Memburuk
Dua tahun terakhir telah menyaksikan memburuknya kondisi ekonomi dan kemanusiaan di Gaza secara parah. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa jumlah pengungsi Palestina di Gaza yang bergantung pada bantuan pangan meningkat dari kurang dari 80.000 orang pada tahun 2000 menjadi sekitar satu juta pada tahun 2018. Akibatnya, 80% penduduk Gaza kini bergantung pada bantuan internasional, dan 95% dari mereka tidak memiliki akses langsung terhadap air bersih. Krisis listrik yang parah dan merusak juga terus berlanjut.
Keputusan Amerika Serikat untuk menghentikan pendanaan bagi UNRWA pada tahun 2018 menyebabkan kesulitan keuangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi lembaga tersebut, serta berkontribusi terhadap pemangkasan layanan yang diberikannya kepada rakyat Palestina di Gaza dan wilayah lainnya.
Data dari Bank Dunia menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan pemuda Gaza telah mencapai lebih dari 70%. Memperparah situasi ini, layanan dasar seperti kesehatan, air, dan sanitasi juga mengalami kemerosotan besar sejak tahun 2014.
Blokade ini merupakan bentuk pemenjaraan fisik dan keputusasaan manusia. Ia tidak hanya menghancurkan harapan kolektif rakyat Gaza akan masa depan yang lebih baik, tetapi juga menghalangi mereka untuk mengakses kesempatan profesional dan pendidikan di luar negeri. Jalinan sosial masyarakat pun mulai terkoyak. Dalam wawancara penelitian saya, saya mendengar semakin banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, bunuh diri, dan kecanduan. Sosiolog asal Gaza, Ayat Abu-Jayab, mengatakan bahwa tekanan yang terus meningkat terhadap penduduk di bawah pengepungan dan memburuknya kondisi hidup:
“Menghasilkan perilaku seperti kekerasan dan kecanduan, sehingga kekerasan dalam rumah tangga berkembang. Dalam situasi Gaza saat ini, ada rasa putus asa dan ketidakberdayaan.”
Bagi banyak orang, mencari jalan untuk bermigrasi telah menjadi satu-satunya cara untuk melarikan diri dari penjara besar ini. Bentuk kehidupan seperti itu digambarkan sebagai “penyiksaan psikologis” oleh Mustafa Al-Masri, seorang ahli psikologi dan kesehatan mental di Gaza, yang mengatakan kepada saya:
“Berpikir untuk melarikan diri dari penjara adalah respons alami dan manusiawi dalam kondisi seperti ini.”
Kebuntuan dan Harapan
Krisis kemanusiaan di Gaza ini bersifat politis, dan penyebab utamanya berakar langsung pada pendudukan Israel atas tanah Palestina. Namun, pemilihan umum Israel baru-baru ini menunjukkan bahwa penyelesaian politik terhadap persoalan Palestina — termasuk krisis Gaza — bukanlah prioritas kebijakan bagi para pemilih maupun kandidat dalam pemilu Israel. Beberapa minggu setelah pemilu, perdana menteri pun belum juga muncul.
Meskipun kondisi terus memburuk, pada Juli dan Agustus 2019 para seniman Palestina dari Shababeek (Windows Studio) meluncurkan sebuah proyek seni besar bertajuk “Contemplative Contrasts: Gaza Art” yang menampilkan pameran seni kontemporer yang merepresentasikan kehidupan sosial dan politik di Gaza. Proyek ini memberi kesempatan bagi banyak seniman muda untuk mengekspresikan bakat, kegelisahan, serta persoalan masyarakat mereka dengan cara yang bebas dan kreatif.
Rana Al-Batrawi, salah satu seniman yang berpartisipasi dalam proyek tersebut, mengatakan bahwa pesan yang ingin ia sampaikan melalui karyanya adalah:
“Kami kembali hidup setelah konflik dan kehancuran, dan kembali berusaha meraih mimpi kami — gagasan tentang kebangkitan. Kami adalah bangsa yang penuh ambisi dan memiliki kreativitas.”
Pada akhirnya, proyek dan pameran Gaza Art menunjukkan bahwa meskipun rakyat Gaza hidup di bawah blokade yang terus berlanjut dan kondisi kemanusiaan yang semakin buruk, keinginan untuk meraih kebebasan dan masa depan yang lebih baik tetap sangat kuat di dalam wilayah yang terkepung ini.
Sumber : The Conversation