Mengapa Video Dokumentasi Kejadian di al-Aqsha Menghilang ?
Oleh: Abdullah Ma’ruf (Penulis asal Palestina, Direktur Pusat Studi Yerusalem di Universitas Istanbul 29 Mei)
Artikel Mengapa Video Dokumentasi Kejadian di al-Aqsha Menghilang ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Dengan dimulainya musim penyerbuan terpanjang dan paling keras terhadap Masjid Al-Aqsa tahun ini —yang dimulai pada Tahun Baru Yahudi, berlanjut pada Hari Penebusan Dosa (Yom Kippur), dan berakhir pada musim paling berbahaya, yaitu Hari Raya Pondok Daun (Sukkot)— penting untuk membahas secara serius persoalan peliputan media terhadap apa yang terjadi di dalam masjid tersebut.
Bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan di Masjid Al-Aqsa, tidaklah sulit melihat adanya penurunan drastis dalam jumlah foto dan video yang mendokumentasikan serbuan para pemukim ekstremis dari kelompok “Kaum Bait Suci” yang setiap hari memasuki kompleks masjid dan melakukan ritual mereka di dalamnya.
Hingga pada akhirnya, semua foto dan video yang mendokumentasikan serbuan pada Tahun Baru Yahudi (23 September lalu) dan Hari Penebusan Dosa (awal Oktober ini) berasal dari luar masjid —bahkan dari luar Kota Tua Yerusalem seluruhnya.
Banyak foto yang disebarkan oleh laman berita dan media Arab ternyata diambil dari atas Bukit Zaitun, yang berjarak sekitar 500 meter dari tembok timur Masjid Al-Aqsa.
Sudut pengambilan gambar ini hanya mencakup area kecil di depan Masjid Qibli, dan tidak memungkinkan untuk memantau apa yang terjadi saat para pemukim berkumpul di area timur, atau ketika mereka menjalankan ritual di sisi utara dan barat kompleks Al-Aqsa.
Sementara itu, foto dan video yang menampilkan perbuatan kelompok ekstremis tersebut ironisnya justru berasal dari akun media sosial mereka sendiri —yang mempublikasikannya dengan bangga untuk menunjukkan apa yang mereka lakukan selama serbuan.
Salah satu contoh paling berbahaya adalah peristiwa peniupan shofar (terompet Tahun Baru Yahudi) di dalam kompleks masjid. Kejadian ini sama sekali tidak terekam dalam liputan media. Kelompok ekstremis “Beydino” mengklaim bahwa para pemukim telah meniup terompet itu lima kali pada hari tersebut, sementara sejumlah warga Yerusalem yang berhasil mencapai kompleks Al-Aqsa hanya mendengar suaranya satu atau dua kali tanpa ada rekaman yang mengonfirmasi.
Kebenaran peristiwa itu baru dapat dipastikan setelah kelompok ekstremis yang sama merilis video yang menunjukkan salah seorang pemukim meniup terompet di dalam masjid sebelum akhirnya dikeluarkan oleh polisi pendudukan.
Rabi ekstremis Yehuda Glick —tokoh utama dalam serbuan ke Masjid Al-Aqsa— kemudian merayakan peristiwa ini dan menyebutnya sebagai “kemenangan simbolis” dalam upaya merebut kendali keagamaan atas tempat suci tersebut.
Selama tahun terakhir, pasukan pendudukan Israel memperketat kontrol mereka terhadap Masjid Al-Aqsa secara belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka ikut campur bahkan dalam urusan kecil di dalam masjid, termasuk mengintervensi khutbah Jumat dengan melarang penyebutan Gaza, bahkan sekadar menyebutnya dari kejauhan, di bawah ancaman pengusiran dari masjid —tanpa memperhatikan kedudukan keagamaan, sosial, atau resmi para khatib. Hal ini dialami antara lain oleh Syaikh Muhammad Sarandah (khatib Al-Aqsa), Syaikh Ikrimah Sabri (khatib Al-Aqsa dan Ketua Dewan Islam Tertinggi), serta Syaikh Muhammad Husain (Mufti Yerusalem dan Palestina).
Tindakan tersebut juga disertai dengan pengetatan sistematis terhadap jurnalis dan fotografer Yerusalem —mata masyarakat terhadap apa yang terjadi di dalam masjid. Banyak di antara mereka yang kini menghadapi pemanggilan, pengusiran, atau penyitaan ponsel dan kamera saat mencoba mendokumentasikan peristiwa. Polisi pendudukan bahkan memeriksa ponsel jamaah Muslim di dalam kompleks Al-Aqsa untuk memastikan mereka tidak mengambil foto atau video pemukim saat serbuan berlangsung, menjadikan peliputan dari dalam masjid hampir mustahil dilakukan pada banyak kesempatan.
Menurut kesaksian sejumlah jurnalis dan aktivis lokal, pasukan pendudukan tidak hanya menutup akses pintu bagi mereka, tetapi sering kali mengusir mereka dari halaman masjid beberapa menit sebelum penyerbuan dimulai, atau bahkan melarang mereka masuk sama sekali dengan berbagai alasan. Akibatnya, area masjid dibiarkan kosong dari media dan para penjaga tetap (murabithin), menyisakan tempat itu hanya untuk pemukim dan polisi.
Pengosongan area ini secara sistematis adalah bagian dari rencana jelas untuk menutupi realitas sebenarnya —agar satu-satunya narasi yang keluar setelah kejadian adalah versi resmi Israel yang menggambarkan serbuan itu sebagai “doa terbatas” atau “kunjungan kelompok terorganisir” ke ruang publik terbuka, sesuai definisi mereka terhadap Masjid Al-Aqsa.
Dengan absennya dokumentasi langsung dari lapangan, kemampuan opini publik Arab dan Muslim untuk mengikuti perkembangan di masjid menjadi lemah. Yerusalem pun tereduksi menjadi sekadar judul singkat dalam buletin berita, sementara di dalamnya, upaya pemaksaan pembagian waktu dan ruang di Masjid Al-Aqsa terus berlanjut secara senyap.
Pemandangan yang beberapa tahun lalu masih memenuhi layar televisi dengan suara takbir dan protes kini berubah menjadi keheningan, kecuali beberapa pernyataan singkat dari Direktorat Wakaf Islam, Kementerian Luar Negeri Yordania, atau sejumlah lembaga peduli Al-Aqsa.
Apa yang terjadi bukanlah kebetulan sementara, melainkan hasil dari kebijakan jangka panjang yang bertujuan memutus Masjid Al-Aqsa dari kehadirannya di ruang media —bagian dari rekayasa kesadaran publik untuk menghapusnya dari benak umat.
Pertarungan atas Masjid Al-Aqsa bukan sekadar soal batu dan bangunan, tetapi juga pertarungan atas narasi, citra, dan ingatan. Gambar visual adalah salah satu alat paling kuat dalam membangkitkan kesadaran dan empati publik. Siapa yang menguasai gambar, menguasai narasi. Dan siapa yang memonopoli narasi, memiliki kekuatan untuk membenarkan tindakannya sekaligus menghapus kebenaran.
Karena pendudukan Israel telah menyadari sejak awal bahwa gambar seorang tentara yang menyerbu masjid, atau gambar seorang pemukim yang mengibarkan benderanya di pelataran Al-Aqsa, sudah cukup untuk memicu kemarahan global yang luas, mereka memutuskan untuk melarang masuknya kamera ke dalam kompleks. Sebaliknya, mereka membuka akses bagi kamera-kamera Israel tertentu yang dipilih secara khusus untuk merekam peristiwa sesuai dengan cara yang mereka inginkan. Gambar-gambar itu kemudian disebarkan di media sosial kelompok ekstremis “Kaum Bait Suci”, disertai dengan narasi dan pembenaran versi mereka.
Yang membuat situasi ini semakin berbahaya adalah kenyataan bahwa platform media sosial —yang selama ini menjadi alat penting untuk menyebarkan apa yang terjadi di Al-Aqsa dan melawan upaya penyensoran Israel— kini juga telah berubah menjadi arena pengawasan yang sunyi.
Begitu video yang mendokumentasikan penyerbuan atau serangan terhadap Masjid Al-Aqsa dan para jamaah diunggah, video tersebut segera diblokir atau diturunkan tingkat penyebarannya dengan alasan “melanggar standar komunitas”. Dengan demikian, penyensoran hari ini menjadi jauh lebih ketat dan canggih. Ia tidak lagi memerlukan kehadiran tentara yang menghalangi kamera di pintu masuk; cukup dengan algoritme perusahaan besar yang bekerja otomatis untuk menghapus gambar dalam sekejap.
Sebaliknya, para penjaga tetap (murabithin) dan aktivis Yerusalem yang berani mendokumentasikan momen-momen penyerbuan dan kekerasan —meskipun dari kejauhan, dan menyebarkannya secepat mungkin sebelum mereka ditangkap— kini menjadi garis pertahanan pertama bagi ingatan visual Masjid Al-Aqsa. Tanpa mereka, dunia akan kehilangan hubungan langsung dengan apa yang sebenarnya terjadi di pelataran masjid. Namun sayangnya, upaya-upaya pribadi yang berani ini tidak memiliki dukungan media atau institusional yang memadai untuk melindunginya.
Dengan demikian, penyensoran media tidak lagi menjadi efek samping dari konflik seputar Masjid Al-Aqsa, melainkan telah berubah menjadi alat utama dalam pengendalian narasi peristiwa. Ketika pelanggaran tidak terlihat, maka tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban. Ketika gambar menghilang, kesadaran terhadap bahaya pun ikut lenyap. Karena itu, tampak jelas bahwa pendudukan Israel kini lebih bersemangat menutup lensa kamera daripada menutup pintu-pintu masjid.
Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana seharusnya menghadapi kondisi ini?
Dalam hal ini, perlu secara langsung menyoroti peran lembaga resmi yang mengelola Masjid Al-Aqsa, khususnya Direktorat Wakaf Islam yang berada di bawah Kementerian Wakaf, Urusan Agama, dan Peninggalan Suci Yordania. Pendudukan Israel kini memperlakukan lembaga ini seolah hanya mengelola keberadaan umat Islam di dalam kompleks Al-Aqsa, bukan mengelola masjid itu sendiri —sebuah hal yang tidak boleh diabaikan atau ditoleransi.
Yordania sebagai pihak resmi harus menggunakan seluruh hak hukumnya, baik politik maupun administratif, untuk mengelola urusan Masjid Al-Aqsa sepenuhnya, bahkan jika hal itu berisiko menimbulkan ketegangan dengan Israel. Sebab, meski tampak negatif di awal, ketegangan tersebut justru akan membawa dampak positif dalam jangka menengah dan panjang. Pendudukan Israel yang hari ini tampak kuat karena kebrutalannya di Gaza dan Tepi Barat, sejatinya tidak mampu membuka terlalu banyak front konflik sekaligus.
Konfrontasi atau ketegangan dengan negara seperti Yordania justru akan memperdalam perpecahan internal dalam masyarakat politik Israel yang sudah terbelah sejak awal —terlebih karena Yordania berbagi garis perbatasan darat terpanjang dengan Israel.
Bagi Yordania, isu Masjid Al-Aqsa adalah persoalan eksistensial yang tidak boleh diabaikan, apa pun risikonya. Karena itu, langkah paling minimal yang bisa diambil Yordania adalah menegakkan haknya sebagaimana dijamin oleh hukum internasional, sebagai otoritas keagamaan yang memiliki hak eksklusif dalam pengelolaan, pemeliharaan, dan perbaikan Masjid Al-Aqsa —termasuk hak untuk memantau seluruh area masjid serta menempatkan para penjaganya guna mendokumentasikan dan menyiarkan setiap bentuk serangan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Jika hal ini tidak dilakukan, penyensoran yang disengaja ini akan menjadi pintu masuk untuk menghapus identitas Masjid Al-Aqsa dan membangun “Bait Suci” secara simbolis maupun fisik, di bawah naungan pengepungan dan penyembunyian fakta. Saat itu terjadi, penyesalan tidak akan ada gunanya lagi.
Sumber : al Jazeera