Bagaimana “Pagar Pembatas” Israel Menjadi Pencekik Psikologis
Oleh: Samah Jabr (Psikiater dan Kepala Unit Kesehatan Mental di Kementerian Kesehatan Palestina)
Artikel Bagaimana “Pagar Pembatas” Israel Jadi Pencekik Psikologis ini kami arsipkan di Kategori Analisa
18 Tahun Gaza dikurung dengan “Pagar Pembatas” Israel dengan banyak pos pemeriksaan. Ini menjadikannya sebagai Penjara Terbuka Terbesar di dunia
Saya menulis dengan rasa sedih yang mendalam tentang perkembangan terbaru dari sistem kendali yang semakin mencekik kehidupan rakyat Palestina.
Struktur-struktur besi berwarna kuning yang menghubungkan dua blok beton besar — yang keliru disebut banyak orang sebagai “gerbang” — kini semakin banyak muncul di seluruh Tepi Barat yang diduduki. Saya menyebutnya menakutkan, karena setiap kali melihatnya muncul rasa khawatir dan firasat buruk — sebagai reaksi terhadap ancaman pengusiran penduduk dan perampasan tanah yang terus terjadi di Palestina.
Namun, benda-benda itu bukanlah gerbang dalam arti sebenarnya. Sebuah gerbang biasanya membuka dinding, memberikan makna pada jalan masuk, jalan keluar, atau sebuah kemungkinan untuk bergerak maju.
Yang ini berbeda. Ini adalah struktur seperti penjara terbuka yang mengubah lingkungan kecil kami menjadi kandang, baik di Tepi Barat maupun di Yerusalem. Semuanya dirancang untuk mengisolasi, menghalangi, melumpuhkan, dan mencekik kehidupan kami.

Kisah Seorang Ibu
Pekan lalu, seorang ibu dari Yerusalem menelepon klinik saya sambil menangis. Ia telah mempersiapkan putranya yang berusia 12 tahun untuk sesi terapi yang sudah lama ditunggu, tetapi tentara Israel menahannya di salah satu titik besi itu selama tiga jam.
Ketika akhirnya tiba di klinik, saya sudah pulang. Putranya, yang memang sedang berjuang melawan kecemasan, menangis tersedu-sedu di kursi belakang mobil dan berkata ia tidak ingin mencoba lagi.
Kisah kecil seperti ini terjadi ratusan kali setiap hari di seluruh Tepi Barat yang diduduki.
Memecah Kehidupan Palestina
Angka-angka menunjukkan kenyataan yang suram. Sejak Oktober 2023, ratusan struktur baru semacam ini dibangun di Tepi Barat, sehingga jumlah penghalang pergerakan mencapai hampir 1.000 titik.
Di Yerusalem Timur saja, lebih dari 80 pos pemeriksaan dan struktur besi seperti ini membentuk jaringan baja yang memecah kehidupan rakyat Palestina menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain.
Akibatnya sangat berat. Penutupan dan pembatasan ini meningkatkan kemiskinan. Dua minggu lalu, seorang buruh muda berusia 22 tahun dari Jenin, bernama Sanad Hantouli, mencoba memanjat tembok pemisah untuk masuk ke Yerusalem. Ia hanya membawa tas berisi pakaian dan berharap bisa bekerja demi memberi makan keluarganya. Namun, ia ditembak mati oleh tentara Israel.
Di beberapa desa, ambulans tertahan begitu lama di titik-titik itu sehingga pasien meninggal sebelum sempat sampai ke rumah sakit. Hal-hal seperti ini bukanlah kecelakaan, melainkan hasil yang bisa diperkirakan dari kebijakan yang sengaja diciptakan untuk memisahkan dan membuat orang tidak bisa bergerak bebas.

Arsitektur Penindasan
Struktur-struktur ini bukanlah hal baru. Semuanya adalah kelanjutan dari sistem penindasan dan kendali yang telah dibangun selama puluhan tahun.
Sejak Perjanjian Oslo ditandatangani, pergerakan di Tepi Barat semakin dibatasi dengan dalih keamanan. Orang Palestina dibatasi oleh izin keluar, tembok pemisah, dan penutupan wilayah.
Yang kita lihat sekarang adalah kelanjutan dari logika yang sama, tetapi dengan bentuk yang lebih keras: tujuan akhirnya adalah memecah tanah Palestina, merusak hubungan sosial, dan membuat kehidupan sehari-hari begitu sulit sampai orang merasa lelah, putus asa, dan akhirnya menyerah atau meninggalkan tanah mereka.
Sekarang, alat penindasan ini juga muncul di al-Ram, wilayah utara Yerusalem tempat klinik psikiatri saya berada. Klinik ini melayani banyak pasien dari Tepi Barat dan Yerusalem, membantu mereka menemukan kembali tujuan hidup dan keseimbangan batin.
Namun struktur-struktur besi di sekitar al-Ram mengganggu proses penyembuhan itu. Saat saya membantu pasien memulihkan diri dari trauma dan stres agar mereka bisa belajar, bekerja, dan merawat keluarga, di luar sana struktur-struktur itu justru menghancurkan irama kehidupan manusia, dan sengaja menciptakan kekacauan di tengah masyarakat Palestina.
Ironinya terasa menyakitkan. Di dalam klinik saya berusaha meredakan serangan panik, mengangkat depresi, dan memberi harapan kepada mereka yang menderita. Tetapi di luar, struktur-struktur itu memperkuat kecemasan, memadamkan harapan, dan menambah penderitaan baru.
Hidup dalam Ketidakpastian
Dari sisi psikologis, struktur-struktur ini menciptakan ketidakpastian yang terus-menerus. Pasien saya sering menggambarkan rasa takut saat mendekati “gerbang” itu — tidak tahu apakah akan dibuka atau tetap tertutup selama berjam-jam.
Anak-anak belajar sejak kecil bahwa hidup mereka ditentukan oleh satu tombol di tangan seorang tentara. Lama-kelamaan, ketidakpastian seperti ini mengikis perasaan memiliki kendali atas hidup sendiri.
Padahal, terapi membutuhkan rutinitas dan kepastian. Namun pendudukan justru memaksakan kekacauan. Bahkan hanya karena takut akan ditahan di gerbang, sebagian orang memilih tidak keluar rumah sama sekali.
Pendudukan menyebut semua ini sebagai “langkah keamanan”. Tetapi keamanan untuk siapa? Apa yang dimaksud dengan keamanan ketika seorang anak tidak bisa sekolah, seorang pasien tidak bisa berobat, dan seluruh kota dikurung di balik pagar besi dan beton?
Kebenarannya, semua ini bukan soal keamanan, tapi tentang kekuasaan. Struktur-struktur itu seperti jerat di leher rakyat Palestina, yang siap menarik napas terakhir mereka.
Luka Kolektif
Kerusakan yang timbul tidak hanya pada individu. Keluarga terpisah ketika seorang nenek tidak bisa menghadiri pernikahan cucunya karena gerbang ditutup. Mahasiswa gagal ikut ujian. Petani melihat hasil panennya membusuk karena truk tidak bisa lewat tepat waktu.
Bahkan iring-iringan jenazah — yang dulu menjadi bentuk duka bersama — bisa terhenti di tengah jalan. Para pelayat dipaksa menunggu atau memohon izin untuk lewat. Pendudukan dengan sengaja menciptakan kekacauan, bukan hanya di tubuh manusia, tapi juga dalam kehidupan sosial yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan bagi masyarakat.
Harapan untuk Membongkar Kandang
Setiap kali saya duduk bersama pasien, saya melihat betapa besar tenaga yang dibutuhkan hanya untuk berusaha mendapatkan perawatan kesehatan mental di bawah pendudukan. Struktur-struktur itu menggagalkan usaha itu bahkan sebelum mereka tiba di klinik.
Bukan stigma yang membuat orang Palestina enggan berobat. Hambatan yang mereka hadapi nyata dan bisa disentuh — terbuat dari besi dan beton. Setiap penundaan, setiap penutupan jalan, setiap penolakan masuk yang sewenang-wenang memperkuat rasa tidak berdaya dan putus asa.
Padahal kesembuhan membutuhkan keteraturan, hubungan, akses yang mudah, dan rasa aman — semua hal yang sengaja dihilangkan oleh sistem ini.
Namun rakyat Palestina tidak hanya diam menderita. Sebagai bentuk perlawanan, anak-anak muda membentuk grup Telegram untuk memantau dan mengumumkan waktu buka-tutup gerbang, memberi tahu orang lain tentang penutupan mendadak atau antrean panjang.
Saya sendiri memperluas layanan terapi jarak jauh (teleterapi) agar pasien tetap bisa mendapat bantuan. Ini bentuk kecil dari ketahanan bersama — cara sederhana untuk merebut kembali sedikit kendali di tengah kekacauan yang disengaja.
Komunitas digital ini mirip dengan ronda lingkungan di masa lalu. Mereka menunjukkan bahwa bahkan dalam keterpecahan, rakyat Palestina tetap berusaha saling membantu dan menopang satu sama lain.
Menjadi Saksi dan Bertahan
Menjadi saksi atas kenyataan ini adalah bagian dari pekerjaan saya. Berbicara tentangnya adalah kewajiban.
Agar rakyat Palestina bisa hidup dengan martabat, dan agar perawatan kesehatan mental benar-benar berhasil, membongkar seluruh sistem penghalang ini adalah syarat utama untuk bertahan hidup, sembuh, dan menjaga kemanusiaan.
Namun di tengah semua ini, ketahanan masih ada. Pasien tetap datang, bahkan dengan berjalan jauh. Keluarga tetap berkumpul, meski tertunda. Anak-anak tetap bermimpi tentang masa depan di luar tembok.
Ketahanan ini lahir bukan karena pilihan, tetapi karena kebutuhan — dan itu nyata. Ia menunjukkan bahwa rakyat Palestina akan terus berjuang untuk hidup, untuk sembuh, dan untuk menjaga hubungan kemanusiaan, bahkan ketika pendudukan terus menciptakan kekacauan di sekitar mereka.
Saat dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia minggu lalu, saya ingin menegaskan kembali satu hal:
Kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari kebebasan politik.
Kesembuhan sejati hanya akan terjadi ketika kunci dan kandang itu dibongkar, dan rakyat Palestina dapat hidup dengan martabat di tanah mereka sendiri.
Sumber : Middle East Eye