Dilema Fundamentalisme Sekuler dengan Muslim Eropa (Bagian Pertama)
Oleh : Nabil Shibib (Penulis Palestina)
Artikel Dilema Fundamentalisme Sekuler dengan Muslim Eropa ini masuk dalam Kategori Analisa dan Opini
Setelah pembunuhan sutradara dan jurnalis Belanda “Van Gogh” serta gelombang pembakaran sekolah dan tempat ibadah Islam, rangkaian peristiwa tersebut menandakan adanya titik balik berbahaya dalam hubungan antara umat Islam di Eropa dan masyarakat yang kini telah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Pertanyaan yang terus diajukan dengan penuh kekhawatiran mengenai masa depan hubungan ini sesungguhnya adalah pertanyaan utama tentang hakikat keberadaan Islam di tengah masyarakat sekuler.
Persoalan ini dapat ditinjau dari berbagai sisi. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa yang paling penting di antaranya adalah persoalan yang menyentuh langsung kehidupan sosial sehari-hari, yaitu kesulitan untuk menyatukan dua hal yang bertentangan: nilai dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan menurut pandangan Islam di satu sisi, dan nilai-nilai serta pola hubungan yang telah mengakar kuat di Barat dalam kerangka pendekatan sekuler terhadap agama di sisi lain.
Fakta-fakta Awal
Pertama-tama, perlu dijelaskan beberapa hal:
- Pembahasan ini tidak berkaitan langsung dengan isu terorisme atau apa yang disebut “perang melawan terorisme”, serta hubungannya dengan umat Islam di Eropa, meskipun tekanan terhadap mereka semakin meningkat—terutama setelah ledakan di Madrid. Sebelumnya, dampak dari peristiwa serangan di New York dan Washington masih bisa sedikit diredam, bahkan sempat muncul gelombang simpati di kalangan masyarakat menggantikan rasa takut. Hal ini disebabkan oleh rasa kemanusiaan serta kekhawatiran politik terhadap arah serangan militer Amerika dan aliansinya dengan Israel di kawasan dunia Islam, beserta akibatnya secara regional maupun global.
- Rincian kasus pembunuhan sutradara Belanda tersebut—penyebab, latar belakang, dan akibatnya—sudah banyak diberitakan oleh media. Karena itu, di sini cukup disinggung beberapa aspeknya yang relevan dengan topik “Dilema Fundamentalisme Sekuler terhadap Muslim di Eropa”.
- Keberadaan umat Islam di negara-negara Eropa kini tidak lagi didominasi oleh para pendatang—baik pekerja, pelajar, maupun pengungsi karena alasan ekonomi atau politik. Proporsi kelompok-kelompok tersebut terus menurun, sementara jumlah Muslim keturunan Eropa dan mereka yang lahir serta memperoleh kewarganegaraan di Eropa terus meningkat. Banyak dari mereka kini telah menjadi warga tetap setelah puluhan tahun menetap di benua tersebut.
Pembahasan ini juga tidak lengkap tanpa menyebutkan bahwa tidak ada yang namanya “kebebasan mutlak” dalam sistem sekuler, sebagaimana juga tidak ada dalam sistem lainnya. Prinsip ini berlaku pula pada kebebasan seni, sastra, dan penelitian ilmiah, yang juga memiliki batasan. Bidang yang paling terkenal dengan pembatasan tersebut misalnya adalah tema “anti-Semitisme” dan “Holocaust Nazi”.
Demikian pula kebebasan beragama juga tunduk pada berbagai batasan, salah satunya berupa aturan hukum yang menyingkirkan pengaruh nilai-nilai agama dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Aturan hukum yang menegaskan “pembebasan” hubungan tersebut menurut pandangan sekuler, pada hakikatnya justru melegalkan bentuk “kebebasan moral tanpa batas” yang bertentangan secara langsung dengan pandangan agama. Selama acuan utamanya adalah sekularisme, maka apa yang dianggap oleh pandangan sekuler sebagai salah satu pencapaian besar peradaban modern, justru dianggap oleh pandangan keagamaan sebagai sumber dari berbagai penyakit sosial yang serius—terutama hancurnya institusi keluarga dan akibat lanjutannya seperti penyebaran narkoba, kejahatan di kalangan remaja, dan bahkan anak-anak.
Inti Permasalahan
Sekularisme Eropa menganggap “kebebasan individu” sebagai pencapaian terbesarnya. Namun, ia menghadapi persoalan mendasar ketika terpaksa membatasi salah satu pilar utamanya, yaitu kebebasan beragama individu, begitu nilai-nilai agama melampaui batas dinding rumah, tempat ibadah, atau hubungan pribadi yang sempit dengan orang lain. Pembatasan ini menjadi semakin keras dalam hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai hubungan antara laki-laki dan perempuan, terutama setelah munculnya apa yang disebut “revolusi seksual” — hasil dari “revolusi mahasiswa” tahun 1968.
Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi penghapusan bertahap terhadap semua “nilai dan aturan lama”, dan dilegalkannya apa yang dalam pandangan agama disebut sebagai “kemerosotan moral total”. Akibatnya, penolakan terhadap apa yang disebut “perkawinan sesama jenis” — antara laki-laki dengan laki-laki maupun perempuan dengan perempuan — kini dianggap sebagai pelanggaran hukum dan pelanggaran terhadap hak minoritas. Dari sini terlihat jelas sampai sejauh mana konflik sekularisme dengan nilai-nilai agama telah berkembang. Sebagai contoh, ketika seorang calon anggota Komisi Uni Eropa menyatakan penolakannya terhadap homoseksualitas atas dasar keyakinan agama, sikapnya itu menjadi alasan utama parlemen menolak mengesahkan susunan komisi tersebut (November 2004), hingga akhirnya komposisinya diubah dan dirinya dikeluarkan.
Selama “gelombang kebebasan seksual” yang berlangsung dengan mengorbankan nilai-nilai agama itu, posisi umat Islam di Eropa juga mengalami perubahan besar, begitu pula cara pandang masyarakat Eropa terhadap mereka. Pada awalnya, kepentingan ekonomi memandang umat Islam hanya sebagai tenaga kerja sementara yang didatangkan dari luar. Kemudian, melalui propaganda kelompok sayap kanan ekstrem, mereka mulai dilihat sebagai beban ekonomi dan sosial. Akhirnya, munculnya fenomena terorisme membuat umat Islam secara umum dituduh sebagai sumber ancaman keamanan.
Di sisi lain, perkembangan positif yang muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran Islam adalah lahirnya gagasan-gagasan baru yang lebih positif dalam membangun hubungan sosial dan resmi antara umat Islam dengan masyarakat Eropa. Misalnya: konsep “integrasi tanpa kehilangan identitas”, gagasan “keberagaman budaya yang mencakup umat Islam”, serta seruan untuk “dialog peradaban dan penolakan terhadap gagasan benturan peradaban”. Namun, semua itu tidak sejalan dengan pandangan “fundamentalisme sekuler”, sebagaimana sering dinyatakan oleh para penganutnya.
Beberapa contohnya antara lain:
- Kampanye tidak adil terhadap orientalis Jerman, Anna Marie Schimmel, ketika ia dianugerahi Penghargaan Perdamaian Buku Jerman pada tahun 1995.
- Serangan terus-menerus hingga kini terhadap Persatuan Organisasi Islam di Berlin, yang setelah perjuangan hukum selama 20 tahun akhirnya memperoleh keputusan pengadilan tertinggi yang menetapkan hak umat Islam untuk ikut menyusun kurikulum pendidikan agama Islam bagi anak-anak mereka di negara bagian Berlin.
- Kampanye besar-besaran “politisasi jilbab” di Prancis terhadap para siswi Muslim, dan di Jerman pada tahun 1998 terhadap guru Muslimah, dimulai dengan keputusan sepihak dari kementerian yang melarang guru Muslimah, Fereshteh Ludin, mengajar dengan mengenakan jilbab tanpa dasar hukum yang jelas.
Selain itu, lembaga-lembaga intelijen juga melancarkan kampanye dengan menuduh kelompok Islam sebagai ekstremis tanpa bukti yang kuat, sering kali melalui laporan-laporan yang tidak tahan uji ilmiah. Hal ini, misalnya, dijelaskan oleh pakar akademik Jerman, Prof. Werner Schiffauer, dalam kajiannya tentang organisasi Turki “Milli Görüş” di Jerman.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera