Sandera, Tahanan, dan Narapidana: Media Barat Masih Mengistimewakan Nyawa Israel di Atas Nyawa Palestina
Oleh : Muhammad al Masry (Profesor Kajian Media di Doha Institute for Graduate Studies)
Media Barat sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama memiliki sejarah keberpihakan yang panjang kepada Israel dan telah menjadi alat propaganda mereka selama hampir seratus tahun. Tulisan dari Muhammad al Masry, seorang Profesor Kajian Media, memaparkan bagaimana saat ini hal itu belumlah berubah, kami arsipkan di Kategori Analisa dan Opini
Pada hari Senin, Israel dan Hamas saling menukar tawanan sebagai bagian dari rencana gencatan senjata Gaza yang berisi 20 poin yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Liputan media arus utama Barat tentang pertukaran tersebut mencerminkan bias pro-Israel yang telah lama menjadi ciri khas pemberitaan mengenai Israel dan Palestina — bias yang menempatkan nyawa orang Israel lebih tinggi daripada nyawa orang Palestina.
Media besar seperti BBC, The New York Times, The Wall Street Journal, CNN, Associated Press, The Washington Post, Reuters, Deutsche Welle, dan Agence France-Presse menyoroti tawanan Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah tewas, sambil sebagian besar mengecilkan pengalaman para tawanan Palestina.
Di surat kabar, siaran televisi, situs web, dan media sosial, tawanan Israel serta keluarga mereka mendapatkan perhatian jauh lebih besar — dan digambarkan secara lebih manusiawi melalui detail pribadi serta citra emosional — dibandingkan dengan orang Palestina.
Sebagai contoh, tujuh dari delapan unggahan AFP di platform X (Twitter) tentang pertukaran tersebut berfokus sepenuhnya pada tawanan Israel. Reuters menerbitkan galeri berisi 36 foto, di mana 26 di antaranya menampilkan para sandera Israel, keluarga mereka, atau warga biasa yang merayakan, sementara hanya sembilan foto yang menampilkan warga Palestina.
Situs web BBC memuat beberapa laporan tentang pertukaran tersebut, termasuk beberapa artikel tentang tawanan Palestina dan keluarga mereka, namun juga menerbitkan profil panjang dan simpatik mengenai 20 sandera Israel yang dibebaskan, berjudul “Siapa para sandera yang dibebaskan itu?” — tanpa fitur serupa mengenai warga Palestina.
CNN melaporkan pembebasan para “tahanan” Palestina dan menyertakan beberapa detail yang memanusiakan mereka, tetapi judul utama artikelnya, “Keluarga sandera bersatu kembali saat Trump disambut meriah di parlemen Israel,” hanya menyebut warga Israel.
Demikian pula, daftar enam “perkembangan penting” versi The Washington Post dimulai dengan pidato Trump, perang Gaza, dan KTT Sharm el-Sheikh. Dua poin berikutnya berfokus pada tawanan Israel, baik yang hidup maupun yang telah tewas, sementara hanya poin terakhir yang menyebut Palestina.
The Post memberikan sedikit upaya untuk memanusiakan warga Palestina, tetapi ketimpangan pro-Israel tetap tampak jelas.
Perhatian yang Tidak Seimbang
Sejak Trump mengumumkan rencananya dua minggu lalu, liputan media Barat banyak berfokus pada tuntutan Hamas agar jenazah 28 tawanan Israel yang tewas dikembalikan.
Jauh lebih sedikit perhatian diberikan pada kewajiban Israel, berdasarkan Pasal 5 dari rencana tersebut, untuk mengembalikan jenazah 420 warga Palestina yang telah lama mereka tahan.
Ketimpangan itu terus berlanjut pada hari Senin. Pencarian di basis data berita menunjukkan sorotan luas terhadap jenazah warga Israel dan hampir tidak ada penyebutan tentang jenazah warga Palestina.
Standar ganda yang mencolok ini mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam pemberitaan Barat, yang secara rutin mengabaikan dan mengecilkan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel.
Menurut kelompok hak asasi manusia Israel, B’Tselem, Israel memiliki “praktik yang telah berlangsung lama” menahan jenazah warga Palestina untuk digunakan “sebagai alat tawar-menawar” dalam negosiasi. Undang-undang kontra-terorisme Israel memungkinkan pemerintah untuk menahan jenazah warga Palestina yang telah meninggal dan membatasi pelaksanaan pemakaman mereka.
Lebih dari 600 jenazah warga Palestina saat ini masih ditahan oleh Israel — sebuah kenyataan yang jarang diakui oleh media Barat.
Standar Ganda dalam Bahasa
Media Barat hampir secara universal menyebut tawanan Israel sebagai “sandera”, istilah yang memang dapat dibenarkan secara hukum internasional karena mereka yang ditawan oleh Hamas memenuhi definisi hukum konvensional dari penyanderaan.
Pertanyaannya, mengapa warga Palestina yang ditawan oleh Israel tidak digambarkan dengan istilah yang sama?
Setelah 7 Oktober 2023, Israel telah menahan lebih dari 1.700 warga sipil dari Gaza, termasuk banyak perempuan dan anak-anak yang tidak memiliki peran apa pun dalam serangan tersebut. Mereka telah ditahan tanpa dakwaan selama hampir dua tahun.
Mengingat niat Israel yang jelas untuk menggunakan para tahanan ini sebagai alat tawar dalam negosiasi, mereka juga secara logis dapat dikategorikan sebagai sandera menurut hukum internasional. Namun demikian, media Barat terus menyebut mereka hanya sebagai “tahanan” atau “narapidana”, mencerminkan standar ganda linguistik yang terus-menerus membentuk persepsi tentang siapa yang tidak bersalah, bersalah, dan menderita.
Penelitian akademik sejak lama telah mendokumentasikan pola ini, di mana media Barat menggunakan istilah paling keras untuk tindakan orang Palestina, sementara melunakkan istilah yang digunakan untuk Israel.
Puluhan tahun penelitian juga menunjukkan bahwa liputan Barat tentang Israel dan Palestina sering kali menghilangkan konteks penting, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Liputan pada hari Senin tentang pertukaran tawanan bukanlah pengecualian.
Tinjauan saya menemukan sangat sedikit penyebutan mengenai pendudukan ilegal Israel atas Tepi Barat, blokade yang terus berlangsung di Gaza, atau tuduhan genosida terhadap Israel. Jika konteks itu dimasukkan, biasanya berfokus pada serangan Hamas tanggal 7 Oktober.
Satu penghilangan yang sangat mencolok dalam liputan Barat tentang pertukaran tawanan adalah fakta bahwa warga Palestina secara eksplisit dilarang merayakan kembalinya mereka yang dibebaskan. Sementara warga Israel didorong untuk merayakan kembalinya para tawanan mereka, warga Palestina yang menunggu di luar penjara Ofer di Tepi Barat yang diduduki justru disambut dengan tembakan gas air mata oleh polisi Israel terhadap keluarga dan jurnalis.
The Guardian termasuk di antara sedikit media arus utama yang menyoroti larangan tersebut.
Momen semacam ini bukanlah detail kecil: upaya Israel untuk mengendalikan bahkan ekspresi emosional warga Palestina semakin memperlihatkan ketimpangan kekuasaan dan kekejaman dari pendudukannya secara militer.
Pertanggungjawaban Media
Peliputan media Barat terhadap pertukaran tawanan tidak hanya mengistimewakan satu pihak; tetapi juga memperkuat hierarki nilai kemanusiaan, di mana nyawa orang Israel dianggap secara inheren lebih berharga dan pantas mendapatkan simpati dibandingkan dengan nyawa orang Palestina.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang lebih luas tentang liputan media terhadap perang tersebut. Misalnya, sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu mengenai dua minggu pertama perang — ketika hampir 3.000 warga Palestina dan sekitar 1.200 warga Israel terbunuh — menemukan bahwa media yang diteliti menampilkan empat kali lebih banyak kisah emosional dan personal tentang korban Israel dibandingkan korban Palestina.
Penelitian lain juga menegaskan ketergantungan kronis media Barat terhadap sumber-sumber Israel dan pro-Israel.
Namun audiens berita kini sedang berubah, begitu pula opini publik mengenai Israel dan Palestina. Selama dua tahun terakhir, sentimen pro-Palestina meningkat tajam di kalangan masyarakat Barat, terutama di kalangan anak muda, bahkan ketika kepercayaan terhadap media arus utama terus menurun dan menghadapi kritik yang semakin keras.
Mengingat perubahan ini, tidak mengherankan bahwa banyak orang — khususnya kaum muda — kini beralih ke platform independen atau alternatif untuk mendapatkan liputan mengenai Israel dan Palestina.
Di dalam ruang redaksi sendiri, perlawanan juga meningkat. Pemberontakan staf terjadi di berbagai media besar, termasuk Los Angeles Times, The New York Times, dan BBC, di mana ratusan jurnalis menyuarakan kemarahan mereka terhadap kebijakan editorial yang jelas-jelas pro-Israel.
Sampai kapan ruang redaksi akan menyadari beratnya krisis ini? Demi para pembaca berita, para jurnalis, dan rakyat Palestina yang menderita, pertanggungjawaban itu tidak bisa datang cukup cepat.
Sumber : Middle East Eye