Asy-Syaghur di Damaskus: Ketenteraman Sejarah dan Pesona Gang-Gang Sempit (Bagian Pertama)
Suriah – Asy-Syaghur — nama yang bergema dalam ingatan Damaskus sebagaimana lonceng-lonceng tua berdentang di keheningan fajar — tidak pernah sekadar menjadi sebuah distrik yang berlindung di balik dinding waktu, melainkan kisah yang mengalir panjang seperti detail Sungai Barada yang telah mengitari kota ini selama ribuan tahun.

Namanya, yang diucapkan dengan khidmat oleh penduduk Damaskus — “Asy-Syaghur” atau “Benteng Asy-Syaghur” — mengandung dalam huruf-hurufnya aroma rahasia kuno dan lapisan kerinduan yang menumpuk dari generasi ke generasi, yang menjaga tempat ini seolah-olah ia adalah jantung mereka yang berdenyut.
Para penutur kisah mengatakan bahwa penamaan itu berasal dari akar bahasa Arab kuno. Kata “Asy-Syaghur” dikaitkan dengan makna kekuatan dan keteguhan. Konon, pada masa-masa awalnya, distrik ini dikelilingi oleh tembok dan menara yang menyerupai benteng-benteng kecil yang melindungi wilayahnya, sehingga dikenal dengan sebutan “Benteng Asy-Syaghur”.
Ada pula yang menelusuri namanya dari akar agraris wilayah ini, sebab dulu merupakan bagian dari kebun-kebun luas di tepian Sungai Barada. Kata “Asy-Syawaghir” berarti lahan hijau yang di antara hamparannya mengalir saluran air yang membagi ladang dan taman-taman — sebuah isyarat akan keterikatan mendalam kawasan ini dengan ingatan akan air dan kesuburan.
Asy-Syaghur terletak di jantung Damaskus kuno, bagaikan permata yang tersembunyi di dada sejarah, melekat pada dinding tua kota dalam ruang yang merangkum kejeniusan tempat. Distrik ini terbentang di antara simpul pasar-pasar besar dan jalur perdagangan utama kota; dekat dengan Pasar Al-Hamidiyah yang ramai dengan kerumunan pengunjung, dan Pasar Al-Buzuriyah yang memancarkan aroma rempah, herbal, dan wewangian. Dengan demikian, Asy-Syaghur menjadi penghubung antara Damaskus tua dan pasar-pasarnya yang hidup.
Ia adalah jantung yang berdenyut dengan kenangan. Di sekelilingnya menyebar gang-gang sempit yang menyerupai urat-urat nadi yang saling berjalin, mengalir di jalur-jalur berliku di antara rumah-rumah Damaskus yang bersandar pada batu-batu putih dan dinding kayu berukir.
Ketika melangkah ke dalam Asy-Syaghur, engkau akan merasa seolah memasuki teks panjang yang ditulis dengan tinta zaman. Gang-gang sempit dan berkelok yang berujung pada halaman-halaman kecil, jendela-jendela kayu tua yang mengintip ke jalan seperti mata yang berjaga, serta pintu-pintu tinggi berhias paku tembaga — semuanya menceritakan detail kehidupan sehari-hari generasi yang pernah tinggal di sini.
Setiap sudutnya meninggalkan jejak sebuah kisah. Dinding-dindingnya yang telah menyerap kelembapan berabad-abad dan panasnya musim-musim telah menjadi catatan bisu bagi suka dan duka, bagi gema azan yang bersahut-sahutan di antara menara, bagi tawa anak-anak yang mengalun setiap pagi di gang-gang sempit, tempat aroma melati Damaskus berpadu dengan harum roti segar dari tungku-tungku rumah.
Asy-Syaghur bukan sekadar ruang arsitektural di peta Damaskus, melainkan identitas peradaban yang berwujud dalam setiap detailnya — dalam gang-gang yang mempertahankan kelengkungan lamanya, pada kolam-kolam kecil yang berkilau di halaman rumah Damaskus, pada balkon-balkon tempat melati menjuntai, dan dalam bahasa sunyi yang digunakan tempat ini untuk berbicara dengan para pengunjungnya.
Ia adalah distrik yang mencerminkan roh seluruh kota — sebuah kota yang memeluk masa lalu dan merangkul masa kini dengan kasih sayang, kota yang menguasai seni bertahan melalui pembaruan, dan menyimpan dalam lipatannya kisah peradaban yang masih hidup dalam kesadaran penduduknya.
Dan betapapun musim silih berganti dan wajah-wajah berubah, Asy-Syaghur tetap menjadi napas hangat Damaskus. Penduduknya berlindung di sana sebagaimana orang kehausan mencari mata air, dan para pelancong datang ke sana sebagaimana seorang peziarah menuju tempat sucinya. Sebab di setiap sudutnya ada kisah, di setiap gangnya ada kenangan, dan di setiap batu yang membentuknya ada denyut yang mengingatkan para pejalan bahwa Damaskus bukanlah kota dari tanah liat dan batu, melainkan makhluk hidup yang menulis kisahnya dengan suara gang-gang dan aroma mawar serta melati.

Kedudukan dan Jiwa
Asy-Syaghur adalah tenunan hidup dari jiwa dan peradaban kota, sebidang waktu yang tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagaimana cermin menyimpan bayangan para pejalan selama berabad-abad. Ia adalah sebuah lukisan seni yang rumit, yang tidak mengungkapkan semua rahasianya kecuali kepada mereka yang tahu bagaimana mendengarkan keheningan batu dan musik air yang merayap di antara kebun-kebun tua yang dahulu mengelilingi distrik ini dan menghidupi gang-gangnya dengan roh sungai dan kesejukan semilir angin.
Sepanjang zaman, Asy-Syaghur telah menjadi tempat pertemuan jiwa sebelum menjadi tempat pertemuan manusia; ruang di mana lapisan-lapisan sosial berbaur tanpa sekat dan tanpa kepura-puraan. Pedagang yang duduk di depan tokonya berbincang dengan pengrajin tentang kabar pagi, sementara sesepuh kampung yang duduk di persimpangan gang mengenali wajah semua orang, dan seorang murid sufi yang melintasi lorong-lorong menuju zawiyahnya menyebarkan salam seperti semilir fajar.
Di distrik tua ini, bunyi palu dari bengkel tembaga berpadu dengan lantunan Al-Qur’an yang mengalun dari jendela rumah Damaskus, dan dengan nada-nada kecapi yang sedang dipelajari oleh seorang anak di halaman rumah luas yang dijaga pepohonan jeruk dan limau.
Ad-Darbul-Wathi, gang yang terpatri dalam ingatan tempat ini, merupakan ruang yang menyimpan rincian kehidupan penuh keakraban. Dari jendela rumah-rumah tua yang menghadap ke jalan sempit, terdengar tawa para perempuan yang mengintip pejalan kaki atau merajut dari benang-benang percakapan kisah-kisah kecil tentang hari yang telah berlalu atau esok yang dinanti.
Di sanalah tangan-tangan pengrajin membentuk dari kayu pintu-pintu berukir, dari tembaga piring-piring berkilau, dan dari kapas kain-kain yang layak untuk pasar-pasar Timur dan Barat. Setiap gerak, setiap suara, setiap aroma, menuliskan rincian hari Damaskus yang berulang tanpa kehilangan keunikannya.
Dan di jantung Asy-Syaghur, tempat gang-gang saling bersilangan seperti urat-urat di tubuh yang berdenyut, terwujud makna mendalam dari distrik Damaskus: sebuah komunitas kecil dengan wajah sebuah kota utuh. Gang-gang berliku itu menyimpan kisah tentang kafe-kafe lama yang menjadi tempat para pemikir dan penyair, tentang zawiyah sufi yang dipenuhi zikir lirih dan salat panjang, serta tentang rumah-rumah dagang yang menjadi perbendaharaan sejarah ekonomi klasik.
Di distrik ini, perbedaan sosial luluh di bawah hangatnya rasa bertetangga. Mereka berbagi kebahagiaan pada acara pernikahan dan saling menguatkan di musim duka, seolah-olah mereka satu tubuh yang bernapas dengan cinta dan rasa memiliki.
Asy-Syaghur adalah wajah sosial Damaskus yang memadukan keaslian dan kehangatan, kedalaman ingatan dan pembaruan kehidupan. Di sini, orang asing pun merasa seperti anak dari tempat ini; gang-gangnya menyambutnya seakan telah mengenalnya sejak lama, dan aroma melati menuntunnya menuju halaman rumah Damaskus yang membuka pintunya bagi setiap tamu yang datang.
Ia juga merupakan panggung peradaban yang menceritakan kisah sebuah kota yang tahu bagaimana menenun dari pertemuan dan keberagaman warganya sebuah mozaik harmoni dan kebersamaan; tempat di mana pengrajin berdiri di samping pedagang, dan syaikh di samping anak muda, dalam potret kemanusiaan yang penuh keselarasan dan martabat.
Barang siapa hidup di Asy-Syaghur akan menyadari bahwa tempat ini bukanlah sekadar batu atau lorong semata, melainkan jiwa yang berkelanjutan, yang menjaga rincian waktu dan mengulanginya setiap hari dengan cara-cara baru — dalam suara muazin yang bergema di waktu fajar, dalam riuh pasar di awal siang, dan dalam ketenangan malam yang menutup harinya serta mempersiapkan gang-gang untuk menyambut hari berikutnya — seakan seluruh distrik ini menulis riwayatnya dengan tinta yang terus diperbarui dan tak pernah habis.
Bersmbung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera