Akhir dari Mitos Israel untuk Selamanya (Bagian Kedua)
Oleh : Dr. Muhammad Al-Sunusi (Profesor Studi Futuristik dan Urusan Internasional di Universitas Muhammad V, Maroko)
Artikel Akhir dari Mitos Israel untuk Selamanya ini kami arsipkan dalam Kategori Analisa
Israel sebagai Cermin: Dari Pengecualian Moral Menjadi Model Kolonial
Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, kalangan intelektual Barat mulai berbicara tentang Israel bukan sebagai sebuah kasus yang unik, melainkan sebagai perpanjangan dari sistem kolonialisme yang belum mati.
Israel tidak lagi menjadi “benteng demokrasi,” melainkan cermin yang memantulkan cacat dari proyek Barat itu sendiri: kecenderungan untuk membenarkan kekerasan ketika menguntungkan, dan klaim superioritas moral untuk membenarkan dominasi.
Pertanyaan yang muncul dengan sendirinya di sini adalah: apakah Israel adalah “kita” dalam wujud telanjang kita sendiri?
Di dalam pertanyaan ini terletak bahaya perubahan yang mendalam, karena ia memindahkan perdebatan dari ranah politik ke ranah moral, dari pembenaran tindakan menuju pertanyaan terhadap diri sendiri.
Ketika Israel menanggalkan jubah korban dari dirinya, ia jatuh di mata banyak orang sebagai representasi dari inti yang justru ingin dilupakan oleh Barat: masa lalunya yang kolonial.
Apa yang terjadi hari ini bukan sekadar kritik terhadap kebijakan Israel, melainkan keraguan terhadap dasar moral yang menopang gagasan Zionisme itu sendiri — gagasan tentang keselamatan kolektif melalui penyingkiran pihak lain.
Israel telah berubah dalam imajinasi dunia: dari simbol penyelamatan menjadi cermin dominasi, dari alat perlindungan menjadi alat genosida, dan dari model modernitas demokratis menjadi laboratorium kekerasan terorganisir yang dilakukan atas nama keamanan.
Dalam pengertian ini, Israel tidak lagi menjadi isu Timur Tengah, tetapi telah menjadi persoalan dunia terhadap dirinya sendiri.
Perubahan Tenang dalam Kesadaran Global
Dari universitas-universitas di Amerika Serikat hingga alun-alun di Eropa, dari para seniman di Amerika Latin hingga gerakan mahasiswa di Kanada, sedang terbentuk kesadaran baru yang tidak selalu diekspresikan sebagai posisi politik, melainkan sebagai penolakan moral.
Generasi muda tidak lagi melihat Palestina sebagai persoalan nasional yang jauh, melainkan sebagai cermin untuk menguji kejujuran nilai-nilai yang mereka junjung: keadilan, kebebasan, dan martabat manusia.
Perubahan tenang ini bukanlah hasil kebijakan pemerintah, tetapi lahir dari hati nurani individu yang telah jemu dengan kemunafikan wacana lama dan dengan logika tentang “kehidupan yang pantas untuk diratapi” dan “kehidupan yang tidak pantas untuk diratapi,” seperti yang dikatakan oleh filsuf Judith Butler.
Ini bukan hanya kebangkitan politik, melainkan kebangkitan moral.
Masyarakat yang menyaksikan Gaza terbakar telah menyadari bahwa diam bukan lagi bentuk netralitas, tetapi partisipasi dalam kejahatan.
Sementara para politisi terus mengulang bahasa lama, di lapisan bawah sedang tumbuh kesadaran baru yang memandang Palestina bukan sebagai krisis, melainkan sebagai ukuran kemanusiaan itu sendiri.
Penutup
Dapatkah kesadaran global lahir dari bawah reruntuhan? Pertanyaan ini tampak puitis, namun pada hakikatnya adalah ujian bagi nurani kemanusiaan: apakah kita mampu belajar dari penderitaan, ataukah kita hanya mengenalinya ketika itu adalah penderitaan kita sendiri?
Mungkin Gaza tidak menang dalam arti militer yang konvensional, tetapi ia menang dalam pertempuran yang lebih dalam — pertempuran makna. Gaza telah menunjukkan bahwa kekuatan bukanlah keistimewaan moral, dan bahwa status korban bukanlah identitas abadi. Ia memaksa dunia untuk memandang dirinya sendiri, bukan sebagai hakim atas tragedi yang jauh, tetapi sebagai bagian dari struktur yang terus melahirkan ketidakadilan atas nama nilai-nilai luhur.
Ketika simbol-simbol lama runtuh, dunia tidak lagi sama seperti sebelumnya. Israel, yang membangun citranya di atas mitos penderitaan, kini menghadapi krisis moral yang eksistensial: bagaimana mungkin korban sejarahnya sendiri kini membenarkan kekejamannya? Dan bagaimana mungkin kekuatan yang mengaku membela diri justru menghancurkan segala sesuatu yang membuat pembelaan itu sah?
Topeng itu telah jatuh: kekuatan tidak memberi keperawanan moral, dan keselamatan tidak membenarkan kejahatan.
Dalam citra-citra Gaza, dunia melihat bayangannya sendiri: bahwa korban bisa berubah menjadi algojo ketika gagal menghadapi ingatannya, bahwa peradaban bisa bersekongkol dengan kebiadaban ketika menidurkan dirinya dengan bahasa hukum, dan bahwa kebenaran bisa berbicara melalui suara yang tertindas, bukan yang berkuasa.
Ini bukan sekadar perang terhadap Gaza, melainkan perang terhadap citra dunia tentang dirinya sendiri.
Mungkin perang ini belum usai, tetapi sesuatu telah patah dalam kesadaran manusia — dan hal itu tidak akan mudah diperbaiki.
Dunia tidak lagi melihat Israel seperti dahulu, dan mungkin — untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama — ia mulai melihat dirinya apa adanya: entitas yang terbelah antara klaim moralitas dan praktik dominasi, antara wacana kemanusiaan dan kenyataan ketidakpedulian.
Di antara reruntuhan dan cermin, lahirlah momen kebenaran — bukan hanya tentang Gaza, tetapi tentang makna menjadi manusia di zaman ketika makna kemanusiaan itu sendiri sedang terkikis.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera