Badan Media Irak Paksa Meta Sensor Unggahan Oposisi
Menjelang Pemilu Parlemen November mendatang, Badan Media Irak Meminta Meta untuk melakukan sensor atas Unggahan Oposisi
rezaervani.com – 26 Oktober 2025 – Sejumlah jurnalis dan influencer Irak dikejutkan oleh pemblokiran akun dan unggahan mereka di platform Facebook dan TikTok pada minggu lalu. Lembaga-lembaga pembela kebebasan pers mengecam langkah Otoritas Media dan Komunikasi Irak (CMC) yang menandatangani perjanjian dengan kedua platform tersebut untuk melakukan pembatasan dan penyensoran konten.
Pemblokiran ini terjadi di tengah kampanye politik para calon legislatif menjelang pemilihan parlemen yang dijadwalkan pada 11 November mendatang, yang akan menentukan arah kekuasaan legislatif dan masa depan politik Irak.
Pengguna media sosial membagikan laporan transparansi perusahaan Meta untuk Irak pada Oktober ini, yang mengungkap bahwa Meta menerima dua pemberitahuan resmi dari CMC yang meminta pembatasan akses terhadap dua unggahan di Facebook. Permintaan itu didasarkan pada putusan Mahkamah Agung Federal Irak (nomor 325 dan 331 tahun 2023) serta Pasal 229 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Irak.
Meta menyebut bahwa kedua unggahan tersebut berisi tuduhan korupsi dan keberpihakan terhadap pejabat peradilan senior. Menurut perusahaan itu, CMC mengancam akan menjatuhkan sanksi, termasuk larangan iklan dan pembatasan transaksi keuangan melalui bank sentral, jika Meta tidak mematuhi permintaan tersebut. Meskipun Meta mengakui bahwa unggahan itu tidak melanggar standar komunitasnya, perusahaan tetap membatasi akses terhadap konten tersebut untuk mematuhi hukum lokal Irak.
Langkah ini menimbulkan gelombang kecaman luas dari kalangan jurnalis, yang menilainya sebagai upaya membungkam suara-suara kritis di masa sensitif politik.
Pusat Rafidain Internasional memperingatkan bahaya pembatasan terhadap pers, aktivis, dan media, serta menegaskan pentingnya menjamin ruang bebas untuk berekspresi dan berdiskusi publik di Irak. Dalam sebuah pernyataan di platform X, lembaga tersebut menyebut bahwa undang-undang yang dijadikan dasar pembatasan sebenarnya dimaksudkan untuk memblokir konten cabul dan tidak bermoral, bukan kritik politik.
Sementara itu, Koalisi Pembela Kebebasan Berekspresi di Irak mengecam upaya CMC untuk memberlakukan sensor terhadap media independen, dan menandatangani kesepakatan dengan perusahaan asing pemilik platform digital untuk membungkam suara independen.
Koalisi yang berafiliasi dengan Observatorium Hak Asasi Manusia Irak menegaskan bahwa konstitusi Irak menjamin kebebasan berekspresi dan praktik jurnalisme, dan bahwa setiap pembatasan terhadap kebebasan ini hanya sah jika diatur oleh undang-undang yang jelas dan berdasarkan keputusan peradilan independen, bukan melalui “keputusan administratif atau kesepakatan rahasia dengan perusahaan asing.”
Koalisi itu memperingatkan bahwa menjadikan platform digital sebagai alat sensor pemerintah akan menciptakan lingkungan digital yang represif, membuka jalan bagi sensor pra-publikasi dan kontrol terhadap konten media, serta memperburuk peringkat Irak dalam indeks kebebasan pers dan kebebasan internet.
Akhirnya, koalisi tersebut menyerukan kepada tiga lembaga utama negara (Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen) untuk segera menghentikan kebijakan penyensoran ini, menjamin lingkungan kerja yang aman dan independen bagi jurnalis dan pembuat konten, serta membentuk komisi independen untuk menyelidiki keputusan CMC dan meminta pertanggungjawaban pihak yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.
Sumber: Al Jazeera