Pelanggaran Gencatan Senjata Israel: Bagaimana Akan Mempengaruhi Hubungan Israel dengan AS?
Oleh : Dr. Ufuk Necat Taşçı (Dosen Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Politik Universitas Çanakkale Onsekiz Mart)
Artikel Pengaruh Pelanggaran Israel pada Hubungan Mereka dengan AS ini dimasukkan dalam Kategori Analisa
Jika pelanggaran gencatan senjata di Gaza terus berlanjut dan genosida di bawah pendudukan dimulai kembali, yang akan terdampak bukan hanya Gaza, tetapi juga Timur Tengah, Teluk, dan yang terpenting, hubungan antara Amerika Serikat dan Israel.
Gencatan senjata yang diberlakukan di Gaza pada 10 Oktober sedang menghadapi ujian berat. Tak diragukan lagi, penyebab dari ujian-ujian ini adalah Israel. Pada tahap ini, proses tersebut bukan lagi sekadar gencatan senjata, melainkan telah berubah menjadi serangan terbatas yang terus dilakukan Israel di tengah tekanan dari Amerika Serikat. Dalam proses yang hampir mencapai dua minggu ini, Israel telah membunuh puluhan warga Palestina meskipun ada gencatan senjata, dan terus membombardir Gaza dengan alasan-alasan sewenang-wenang.
AS kesulitan menghentikan Netanyahu
Rezim di Tel Aviv, yang tidak akan ragu untuk melangkah lebih jauh jika tidak berada di bawah tekanan dan upaya penyeimbangan dari AS, sangat rentan terhadap marginalisasi, terutama karena meningkatnya ketegangan politik domestik dan tekanan internasional. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang selama ini telah kehilangan semua “alasan pembenaran” atas kekacauan yang diciptakannya di kawasan dan dunia—yang diambil langsung oleh AS—berusaha mempertahankan kekuasaannya di tengah kritik keras dari oposisi dalam negeri, tekanan sosial, dan perdebatan sengit di Knesset dengan menciptakan kekacauan baru.
Menyadari situasi ini, Presiden AS Donald Trump telah mengirim menantunya, Jared Kushner, Utusan Khusus Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff, Wakil Presiden AS JD Vance, dan Menteri Luar Negeri Marco Rubio ke Israel secara berturut-turut—sebuah tanda nyata betapa sulitnya Washington menahan Netanyahu. Dalam wawancara terbaru, Kushner bahkan menyebut, dengan merujuk pada Trump, bahwa “Israel telah keluar kendali.” Selain itu, dalam konferensi pers setelah pertemuan antara JD Vance dan Netanyahu, ketika Vance diberi pertanyaan, Netanyahu sendiri menjawab, dengan tegas menyatakan, “Israel tidak berada di bawah perlindungan AS.”
Namun, poin yang paling penting adalah solidaritas Teluk yang semakin menguat, terutama setelah serangan Israel terhadap Qatar. Jaminan dan janji yang diberikan Trump kepada sekutunya di Teluk setelah serangan terhadap Qatar—termasuk janji bahwa pelanggaran ilegal terhadap Tepi Barat oleh Israel tidak akan diizinkan—telah dibayangi oleh keputusan Knesset yang baru saja mengesahkan rancangan undang-undang yang mengatur kemungkinan aneksasi Tepi Barat, tepat saat pertemuan Vance-Netanyahu berlangsung. Dalam situasi di mana janji-janji yang diberikan AS kepada negara-negara kunci dalam proses gencatan senjata dilanggar secara terang-terangan oleh Israel, ini menandakan fase baru yang kemungkinan besar tidak hanya akan memengaruhi gencatan senjata di Gaza, tetapi juga dinamika kawasan secara keseluruhan.
Apakah Israel ancaman bagi kebijakan luar negeri AS?
Dengan berbagai dalih, Israel secara sistematis melanggar gencatan senjata meskipun ditentang oleh AS, dan bersamaan dengan itu mengambil keputusan terkait Tepi Barat. Hal ini bukan hanya mengguncang dinamika Gaza, tetapi juga berpotensi membahayakan banyak prioritas kebijakan luar negeri AS. Bantuan yang seharusnya masuk ke Gaza tidak sampai sebagaimana mestinya, Netanyahu semakin terpojok di dalam negeri, dan meskipun Hamas telah membebaskan para sandera, Israel tetap tidak mematuhi perjanjian yang dimotori AS—semua ini memicu kemarahan di dalam AS sendiri.
Bahkan, tokoh-tokoh seperti mantan penasihat Trump Steve Bannon, jurnalis Amerika Tucker Carlson, serta Piers Morgan, dan beberapa senator kini secara terbuka menunjukkan penentangan terhadap Tel Aviv, serta mengeluarkan pernyataan penting mengenai perlunya menyeimbangkan Israel. Di satu sisi, dibicarakan rencana Gaza tanpa Hamas, sementara di sisi lain, pelanggaran gencatan senjata oleh Israel dan langkah-langkah pseudo-legal untuk menganeksasi Tepi Barat menunjukkan wajah Israel yang sepenuhnya mengabaikan prioritas kebijakan luar negeri AS.
Jika pelanggaran gencatan senjata di Gaza terus berlanjut dan genosida di bawah pendudukan dimulai kembali, yang akan terdampak bukan hanya Gaza, tetapi juga Timur Tengah, Teluk, dan yang terpenting, hubungan AS-Israel. Jika proses gencatan senjata yang didukung oleh negara-negara kawasan dan komunitas internasional menghadapi pelanggaran fatal, maka Israel—yang sudah terisolasi secara moral dari komunitas dan sistem internasional, dan hubungan kawasan yang tak akan segera pulih—akan menjadi semakin terpinggirkan, bahkan mungkin kembali menebar kekacauan di kawasan.
Knesset, yang baru memulai masa legislatifnya, dalam waktu dekat akan melakukan pemungutan suara terhadap berbagai isu sensitif yang berpotensi memicu kekacauan seperti yang dijelaskan di atas. Selain aneksasi Tepi Barat, isu-isu seperti hukuman mati bagi tahanan Palestina, wajib militer bagi Yahudi ultra-Ortodoks, dan reformasi peradilan juga akan diperdebatkan. Proses politik domestik Israel ini berpotensi memicu gempa politik di dalam negeri dan di komunitas internasional, yang tidak hanya dapat mengguncang gencatan senjata di Gaza, tetapi juga menyeret berbagai dinamika global ke titik yang sama sekali tidak diinginkan oleh AS.
Tentu, penting untuk tidak mengabaikan dinamika mendasar di balik upaya AS saat ini untuk menyeimbangkan Israel. Bukan karena AS benar-benar peduli dengan genosida di Gaza, tetapi karena untuk pertama kalinya, AS mendapati dirinya berada dalam posisi di mana prioritas kebijakan luar negerinya terancam karena Israel. Oleh karena itu, menjaga keberlanjutan gencatan senjata di Gaza dan melanjutkan ke tahap berikutnya sangat penting bagi hubungan AS-Israel, hubungan AS-Timur Tengah, dan kemampuan AS untuk kembali fokus pada persaingannya dengan Tiongkok.
Kita sebenarnya tidak berada dalam periode pertama di mana genosida dan penindasan terhadap Palestina membuat AS dan Israel saling berhadapan secara terbuka. Sebelumnya, berbagai presiden AS juga pernah menyatakan bahwa konflik Israel-Arab dan pengaruh lobi Zionis di AS telah membawa dampak serius bagi negara mereka, namun hal itu tidak pernah mencuat ke publik seperti sekarang. Untuk pertama kalinya, ketegangan antara AS dan Israel—khususnya antara AS dan Netanyahu—terasa secara terbuka oleh masyarakat, dan ini berpotensi mengubah banyak keseimbangan.
Dalam konteks ini, mungkin saja dalam jangka pendek dan menengah, AS akan berusaha menyeimbangkan Israel melalui bidang, aktor, dan mekanisme yang tak pernah diduga sebelumnya. Saat ini, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab baik di AS maupun di Israel adalah: “AS yang mana dan Israel yang mana yang akan menang?”
Sebab kedua negara memiliki faksi-faksi internal yang mendukung pandangan berbeda mengenai kebijakan luar negeri dan hubungan bilateral, dan mereka kini berada dalam salah satu pertarungan paling sengit dalam sejarah. Oleh karena itu, pada periode ini, baik di AS maupun Israel, termasuk para figur politiknya, semua pihak berada dalam atmosfer kompleks di mana mereka mungkin harus membayar berbagai harga politik.
Faktanya, upaya aliran Trump-Vance untuk menyeimbangkan Israel, mempertahankan gencatan senjata di Gaza dengan cara yang memuaskan semua pihak (termasuk negara-negara mediator), dan melanjutkan ke tahap-tahap berikutnya merupakan langkah paling penting bagi AS untuk kembali menemukan landasan politik dan sosiologisnya di Timur Tengah.
Sumber : Anadolu Agency