Pihak Tersembunyi Dibalik Konflik Afghanistan – Pakistan
Oleh : Yasin Aktay (Akademisi, Politisi, dan Penulis asal Turki)
Artikel Pihak Tersembunyi Dibalik Konflik Afghanistan – Pakistan ini diarsipkan dalam Kategori Analisa dan Opini
Sementara dunia Islam—bahkan seluruh dunia—mengikuti dengan penuh kekhawatiran pembantaian yang sedang berlangsung di Gaza dan menahan napas dengan harapan agar perang pemusnahan yang dilakukan Israel itu segera berhenti, tanda-tanda perang yang akan segera pecah mulai tampak di cakrawala antara Afghanistan dan Pakistan.
Pada saat yang menuntut kewaspadaan tertinggi terhadap setiap perkembangan yang mungkin menutupi tragedi Gaza dan isu-isu kemanusiaan serta politik yang terkait dengannya, kemungkinan konfrontasi antara dua negara Muslim bersaudara tampak sebagai hal yang sangat signifikan.
Perkembangan ini menjadi semakin penting ketika kita mengingat pernyataan yang baru-baru ini disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengatakan bahwa penarikan pasukan mereka dari pangkalan Bagram adalah sebuah “kesalahan” dan bahwa mereka berniat untuk kembali. Menanggapi hal ini, Menteri Dalam Negeri Imarah Islam Afghanistan, Sirajuddin Haqqani, berkata: “Jika mereka siap untuk berperang lagi dengan kami selama dua puluh tahun ke depan, biarlah mereka datang dan mencobanya.”
Tak lama setelah pernyataan itu, ketegangan terjadi antara Afghanistan dan Pakistan—sebuah pengingat yang menyedihkan betapa rapuhnya keseimbangan dunia Islam dan betapa mudahnya ia menjadi sasaran manipulasi.
Namun, rahmat Allah mendahului ledakan tersebut. Upaya diplomatik dengan cepat membuahkan hasil berupa kesepakatan yang dicapai di Doha melalui mediasi Qatar dan Turki. Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala Badan Intelijen Turki, Ibrahim Kalin, atas arahan langsung dari Presiden Republik Turki.
Gambaran dari proses penandatanganan itu benar-benar menimbulkan harapan dan kebanggaan, karena sekali lagi menegaskan bobot peran Turki dalam penyelesaian krisis, berdampingan dengan Qatar. Bobot tersebut tidak hanya berasal dari kebijaksanaan politik, tetapi juga dari kemampuan nyata untuk menumbuhkan kepercayaan di antara berbagai pihak, mengingat posisi dan wibawa Turki baik di tingkat Islam maupun internasional.
Diumumkan bahwa rincian teknis dari kesepakatan itu akan dibahas kemudian di Istanbul, dengan partisipasi pihak-pihak yang sama, untuk menindaklanjuti apa yang telah dicapai di Doha.
Perlu diingat bahwa ketegangan yang hampir meledak juga pernah terjadi antara Pakistan dan India pada bulan Mei lalu, tetapi cepat diselesaikan, dan Turki juga memainkan peran berbeda dalam krisis itu. Meski demikian, penyelesaian tersebut bersifat parsial dan kemungkinan bersifat sementara, karena konflik antara India dan Pakistan berakar dalam pada struktur dasar kedua negara itu. Konflik tersebut melampaui batas geografis mereka dan tidak semata-mata berkaitan dengan faktor internal.
Dalam ketegangan terbaru antara Afghanistan dan Pakistan, bayangan negara-negara seperti India, Amerika Serikat, dan entitas Zionis tampak jelas sebagai pihak-pihak tersembunyi yang hadir dan siap terlibat bila diperlukan—hal yang tentu menimbulkan kekhawatiran.
Pada dasarnya, tidak ada alasan alami bagi terjadinya konflik antara Afghanistan dan Pakistan, karena nilai, kepentingan, dan potensi yang dimiliki bersama jauh melampaui faktor-faktor pemicu perselisihan. Semua itu justru mendorong pada kerja sama erat yang dapat memberikan manfaat besar bagi kedua negara.
Ketika peristiwa pecah pada tanggal 9 Oktober, Menteri Luar Negeri Afghanistan, Amir Khan Muttaqi, sedang melakukan kunjungan ke India untuk memperkuat hubungan bilateral. Hal ini menimbulkan kesan bagi sebagian pihak bahwa Afghanistan sedang mengirim sinyal kepada Pakistan melalui upaya mendekatkan diri dengan India.
Namun, pertanyaannya: apakah sinyal ini hanya sekadar kesan, ataukah benar-benar awal dari hubungan nyata? Patut dicatat bahwa sejak mengambil alih pemerintahan, pemerintah Taliban telah mengikuti pendekatan diplomatik yang damai dan multiarah, berupaya membangun kebangkitan nasional dan memecahkan isolasi internasional.
Pada saat sebagian besar negara—bahkan negara tetangganya—enggan memberikan pengakuan, Rusia justru menjadi pihak pertama yang melangkah, dan hubungan pun mulai mendalam. India juga, dalam kunjungan ini, mengumumkan niatnya untuk meningkatkan hubungan ke tingkat perwakilan diplomatik penuh, yang berarti pengakuan de facto terhadap pemerintahan Taliban.
Perlu ditekankan bahwa Taliban tidak berupaya mendapatkan pengakuan tersebut dengan mengorbankan negara mana pun, terutama negara-negara Muslim. Demi kepentingan tertinggi bersama, semua negara Islam sebaiknya segera menormalisasi hubungan mereka dengan Afghanistan, demi kepentingan masing-masing sekaligus mencegah Taliban mengetuk pintu yang salah untuk keluar dari kebuntuan mereka.
Kesan terkuat saya dari semua pertemuan dengan para pejabat Afghanistan adalah adanya keinginan tulus mereka untuk memperluas hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara Islam, terutama Turki. Bila Turki atau negara-negara Muslim lainnya terlambat menjembatani hubungan itu, mereka tidak berhak mengkritik Taliban bila kemudian kelompok tersebut menjalin hubungan dengan kekuatan lain.
Adapun inti perbedaan dengan Pakistan berpusat pada “Gerakan Taliban Pakistan” (TTP) dan hubungannya dengan Afghanistan. Gerakan ini didirikan pada tahun 2007 di wilayah suku di barat laut Pakistan, terutama di Waziristan Selatan, di bawah kepemimpinan Baitullah Mehsud, salah satu pemimpin suku Mehsud Pashtun. Mehsud pernah berperang bersama Taliban Afghanistan melawan pendudukan Amerika pada tahun 2001, lalu terbunuh dalam serangan udara Amerika pada tahun 2013. Ia kemudian digantikan oleh Hakimullah Mehsud, dan setelah itu oleh Maulawi Fazlullah.
Hubungan antara Taliban Afghanistan dan Taliban Pakistan berakar pada afiliasi keduanya terhadap mazhab Deobandi serta dominasi etnis Pashtun dalam masing-masing kelompok. (Perlu dicatat bahwa Taliban Afghanistan tidak terbatas pada etnis Pashtun saja; sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ada representasi jelas dari berbagai etnis lain dalam jabatan tinggi, dengan proporsi yang hampir mencerminkan bobot demografis mereka.)
Faktanya, garis perbatasan antara Afghanistan dan Pakistan membelah masyarakat dan suku-suku yang memiliki kesamaan budaya, asal-usul, dan bahasa, seperti Pashtun dan Baluch. Garis ini digambar oleh penjajah Inggris pada masa kolonial India, sehingga batas tersebut hanya memisahkan kedua negara di peta, bukan dalam realitas sosial dan budaya. Karena itulah, wilayah ini menyatu seolah menjadi satu kesatuan selama dua masa pendudukan—Soviet dan Amerika.
Selama periode itu, Taliban Pakistan berjuang berdampingan dengan saudara-saudara mereka di Afghanistan, yang belajar di madrasah yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan menghidupi budaya yang sama. Namun, setelah perang berakhir, Imarah Islam Afghanistan menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa mereka tidak akan mengizinkan wilayahnya digunakan untuk menyerang negara mana pun. Fokus mereka kini adalah membangun negara dari dalam dan mencapai rekonsiliasi nasional yang mencakup pengumuman amnesti umum. Langkah ini menjadi titik balik penting dalam perjalanan Imarah Islam.
Adapun Taliban Pakistan mengambil sikap bermusuhan terhadap pemerintah di Islamabad, menuduhnya berkhianat karena hubungannya dengan Amerika Serikat, dan membenarkan operasi-operasinya terhadap negara Pakistan dengan alasan tersebut.
Meski Pakistan menuduh Taliban Afghanistan menutup mata terhadap aktivitas Taliban Pakistan di wilayahnya, Imarah Islam menolak tuduhan itu dan tidak mengakui adanya tanggung jawab atasnya.
Dengan demikian, inti perbedaan antara kedua pihak sudah jelas, dan bukanlah jenis perselisihan yang mustahil diselesaikan melalui mediasi pihak ketiga—terutama jika pihak itu memiliki kedudukan emosional dan persaudaraan di hati kedua belah pihak, seperti halnya Turki dan Qatar.
Umat Islam kini sangat membutuhkan lebih banyak persatuan dan penguatan semangat solidaritas untuk menghadapi tantangan bersama. Selama kedua negara Muslim yang dimaksud menempatkan Islam sebagai dasar keberadaan mereka, maka mereka seharusnya tidak kesulitan menyelesaikan perselisihan di antara mereka, betapapun rumitnya.
Mungkin, dalam ujian ini, tersembunyi peluang yang belum kita lihat—kesempatan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan—asalkan kita menyadari bahaya dari masalah-masalah bersama ini dan mengarahkan energi kita untuk menyelesaikannya dengan kesadaran dan ketulusan.
Sumber : al Jazeera