Setelah Keteguhan Warga Gaza, Apakah Dunia Bergerak Membantu ?
Keteguhan Warga Gaza disaksikan dunia dengan nyata, apakah setelah itu mereka bergerak membantu ?
rezaervani.com – 28 Oktober 2025 – Setelah dua tahun berlalu sejak perang genosida yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza di depan mata dan telinga dunia, warga Gaza telah membuktikan keteguhan mereka terhadap kota dan kampung halaman mereka meski menghadapi kehancuran dan pembunuhan. Mereka kembali mencari kehidupan dari bawah reruntuhan.
Namun, pertanyaan paling menonjol adalah tentang sikap masyarakat internasional — apakah mereka akan tetap diam, ataukah akan mengulurkan tangan untuk membantu warga Gaza agar mereka dapat kembali menjalani kehidupan yang layak sebagaimana manusia lainnya.
Program “Liqissah al-Baqiyyah” (Untuk Kisah yang Tersisa) menayangkan sebuah film khusus yang menggambarkan penderitaan warga sejak dimulainya perang pemusnahan terhadap mereka dua tahun lalu, serta apa yang mereka alami selama itu berupa pembunuhan yang menewaskan sekitar 65 ribu syahid, puluhan ribu orang terluka dan hilang, sementara tingkat kehancuran rumah-rumah di Jalur Gaza telah melampaui 80%.
Meski kehancuran besar melanda seluruh kota di jalur tersebut, banyak warga Gaza mulai mencoba memperbaiki rumah mereka yang hancur meski dengan keterbatasan sumber daya dan besarnya kerusakan. Sebagian dari mereka memutuskan untuk tetap tinggal di atas reruntuhan rumah mereka hingga tiba waktunya mereka dapat membangunnya kembali — untuk membuktikan kepada dunia bahwa mereka adalah pemilik tanah ini dan tidak akan meninggalkannya.
Setelah pengumuman berakhirnya perang, Pemerintah Kota Gaza mendapati dirinya benar-benar tidak mampu memberikan layanan dasar minimum kepada warga, setelah perang menghancurkan seluruh peralatan dan sarana yang mereka miliki serta merusak infrastruktur kota secara gila-gilaan.
Menurut juru bicara pemerintah kota, Nabih Asim, dalam episode program “Liqissah al-Baqiyyah” pada (27/10/2025), transisi dari tahap darurat menuju tahap pemulihan awal membutuhkan penyediaan kebutuhan mendesak — terutama alat berat yang digunakan untuk membuka jalan dan mengangkat puing-puing, selain juga memperbaiki jaringan air dan saluran pembuangan, serta mengumpulkan lebih dari seperempat juta ton sampah yang menumpuk di berbagai penjuru kota.
Pejabat tersebut menunjukkan bahwa wilayah itu sepenuhnya bergantung pada generator listrik setelah pasokan listrik terputus sejak hari-hari pertama agresi, yang menuntut masuknya pasokan bahan bakar dalam jumlah cukup untuk mengoperasikan fasilitas vital yang tersisa.
Sanitasi
Nabih menegaskan adanya kebutuhan mendesak akan 1.000 ton semen hanya untuk membangun fasilitas sanitasi dan sumur air, tanpa memperhitungkan kebutuhan rekonstruksi rumah-rumah yang hancur atau perbaikan infrastruktur lainnya.
Juru bicara pemerintah kota itu menyoroti bahwa lebih dari 200 ribu meter panjang jaringan sanitasi rusak di Kota Gaza saja, sementara angka tersebut berlipat ganda jika dihitung di seluruh wilayah jalur itu.
Ia tidak menyembunyikan rasa kecewanya karena belum menerima bantuan apa pun hingga saat ini, meskipun pihaknya telah menyerahkan daftar rinci kebutuhan kepada lembaga internasional dan berbagai organisasi, menegaskan bahwa penderitaan yang berlangsung selama dua tahun perang masih terus berlanjut bahkan setelah pengumuman gencatan senjata.
Dalam konteks yang sama, Direktur Tim Lapangan Pertahanan Sipil Gaza, Ibrahim Abu Rish, menegaskan bahwa jenis senjata yang digunakan dalam beberapa bulan terakhir tidak hanya menghancurkan permukaan tanah, tetapi juga menembus ke bawah tanah, sehingga menyebabkan kehancuran hampir total pada infrastruktur air dan sanitasi.
Abu Rish memperingatkan bahwa lebih dari 80% bahan peledak dan roket yang dijatuhkan di jalur tersebut belum meledak, yang menimbulkan bahaya mematikan bagi warga yang kembali ke rumah mereka.
Ia menjelaskan bahwa pasukan pendudukan telah menghancurkan lebih dari 75% dari total sumur pusat milik pemerintah kota, serta lebih dari 120 ribu meter panjang jaringan air, sehingga penyaluran air kini hanya mencakup area yang sangat terbatas di kota.
Abu Rish juga menyebutkan berhentinya operasi pabrik desalinasi air yang terletak di barat laut kota, yang sebelumnya memasok lebih dari 10% dari total pasokan air Gaza sejak awal agresi.
“Menteri Kebahagiaan”
Di sisi lain, seniman dan jurnalis Palestina Mahmoud al-Zaitar, yang dijuluki warga Gaza sebagai “Menteri Kebahagiaan,” menceritakan pengalamannya tetap tinggal di Gaza selama perang dan upaya terus-menerusnya untuk menanamkan harapan di hati penduduk.
Al-Zaitar menjelaskan bahwa warga Gaza adalah rakyat yang mencintai kehidupan dan penuh semangat menghadapinya meski harus menanggung penderitaan dan kehancuran, seraya menunjukkan bahwa keberadaannya di Gaza selama perang adalah pesan harapan bagi warga — bahwa mereka tidak sendirian.
Sumber: Al Jazeera