Ketakutan Terus-Menerus di Israel, Apa yang Terjadi Setelah 7 Oktober ? (Bagian Kedua)
Oleh : Saifuddin Maw’id (Penulis dan Jurnalis Palestina)
Artikel Ketakutan Terus-Menerus di Israel, Apa yang Terjadi Setelah 7 Oktober ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Israel: Terbuka Wajah Sebenarnya, Batas Kekuatan, dan Krisis Fungsi
Di bawah tekanan kenyataan dan kebrutalannya, gambaran “korban Israel” hancur di dalam kesadaran masyarakat Barat — front paling berbahaya yang selama ini menjadi sumber kekuatannya. Dunia kini tidak lagi bisa diyakinkan bahwa pihak yang memiliki salah satu tentara terkuat di dunia adalah pihak yang “membutuhkan perlindungan”. Israel, yang selama puluhan tahun memasarkan dirinya sebagai “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah” dan “korban terorisme”, tiba-tiba tampak dalam wujud aslinya: sebuah entitas kolonial pemukim yang dibangun di atas pengusiran, pemusnahan, dan pembersihan etnis, melakukan perang terhadap warga sipil secara langsung di siaran langsung, dengan dukungan buta dari sistem Barat yang tidak melihat orang Palestina selain sebagai bahan untuk dimusnahkan.
Dunia kini melihat identitas sejati Israel yang cacat — fasisme modern yang menjelma dalam masyarakat yang hidup dengan sindrom penindasan dan superioritas sekaligus; antara kompleks “bangsa yang terancam punah” dan doktrin “bangsa terpilih” yang tidak bisa diadili.
Kini dunia lebih sadar akan hakikat entitas Zionis — sebagai model anti-kemanusiaan, yang terjebak dalam dualisme patologis: hidup dari ketakutan dan kebencian, dan menganut ideologi pemusnahan yang mencabut kemanusiaan dari “yang lain” dan membenarkan pembunuhannya atas nama keselamatan.
Semua orang kini tahu bahwa entitas ini tidak tahu bagaimana hidup tanpa musuh, dan tidak mampu melihat dunia kecuali melalui perang; artinya, eksistensinya bergantung pada kekerasan yang selalu dibenarkan.
Sebaliknya, Israel menemukan batas kekuatannya — bahwa daya gentarnya tidak lagi berguna menghadapi tekad yang berlandaskan keyakinan akan keadilan.
Setelah dua tahun perang, ia gagal menaklukkan Gaza maupun mematahkan perlawanan; dan pada akhirnya terpaksa bernegosiasi dengan pihak yang bersumpah akan dihancurkannya.
Ketika Israel terbuka sebagai kekuatan yang kehilangan kemampuan menakut-nakuti, pertanyaan tentang eksistensi dan fungsi menjadi semakin mendesak. Israel, yang lahir sebagai alat kolonialisme dan tangan panjang Barat di Timur, kini berubah dari kekuatan pelindung menjadi beban, dari tombak serangan menjadi masalah keamanan dan politik, yang menyeret sekutunya ke dalam perang, krisis moral, dan diplomatik.
Setelah 7 Oktober, Israel tampak seperti sistem rapuh yang dibebani kesombongan dan kelemahan struktural, bukan hanya di medan perang, tetapi juga dalam pola pikir yang mengelolanya. “Keamanan” berubah menjadi dogma ketakutan, terperangkap dalam obsesi eksistensial permanen, yang melihat ancaman sebagai rantai tanpa ujung — dimulai dari Gaza dan tidak berhenti di kawasan.
Dengan demikian, 7 Oktober menyingkap bahwa “benteng keamanan” yang diagungkan Israel selama ini hanyalah ilusi yang dibangun di atas ketakutan, bukan kekuatan. Di balik negara yang dibangun atas mitos “tentara yang tak terkalahkan”, tersembunyi masyarakat rapuh, terpecah, gelisah, dan terjebak dalam krisis identitas serta memori kolektifnya.
Dalam arti ini, Israel pasca 7 Oktober memasuki fase kecemasan eksistensial, bukan hanya dari sisi keamanan, tetapi dari kedalaman pertanyaan yang kini menghantuinya:
Lalu apa berikutnya? Bagaimana entitas yang hidup dari ketakutan bisa merasa aman? Bagaimana masyarakat yang hidup dari perang bisa menikmati stabilitas?
Itu bukan sekadar pertanyaan keamanan, melainkan pertanyaan tentang makna keberlanjutan dan fungsi.
Masa depan Israel tidak lagi janji tentang keunggulan, sebagaimana diklaim selama ini, melainkan ujian keras untuk sekadar bertahan hidup, di tengah keruntuhan kemampuannya meyakinkan dunia akan pentingnya eksistensinya sebagai “benteng Barat di Timur”, di zaman ketika benteng-benteng mulai runtuh dari dalam.
Namun, pergeseran ini tidak berarti Israel akan mundur dari proyek agresinya. Sebaliknya — Israel yang ketakutan justru lebih berbahaya bagi kawasan dan dunia, karena entitas yang hidup dari ketakutan tidak akan ragu menyalakan perang setiap kali menghadapi pertanyaan tentang eksistensinya.
Terbukanya Wajah Peradaban Barat dan Pusatnya
Kembali ke Barat — dampak 7 Oktober tidak hanya menyingkap kebohongan politik dan media, tetapi juga menelanjangi kerapuhan ide-ide dasar proyek peradaban Barat.
Barat hidup selama puluhan tahun dalam ilusi misi moral — bahwa mereka adalah pusat peradaban, bahwa intervensinya atas bangsa lain dilakukan atas nama hak asasi manusia, bahwa mereka pembawa obor kemajuan dan punya tugas “mendidik dunia.”
Namun Gaza membuktikan bahwa misi itu hanyalah topeng dari privilese kekuasaan.
Orang yang membom rumah sakit tidak sedang memajukan peradaban; orang yang menutup akses air dan obat bagi anak-anak yang terkepung tidak sedang membebaskan siapa pun; dan orang yang membenarkan semua itu atas nama “pertahanan diri” tidak sedang membela siapa pun kecuali kebiadabannya sendiri.
Mahasiswa yang turun ke jalan di kampus-kampus Amerika dan Eropa sambil meneriakkan “Free Palestine” bukan sekadar simpatisan — mereka, tanpa sadar, mengumumkan kematian narasi Barat itu sendiri.
Kesadaran Barat kini menjadi medan pertempuran baru.
Peristiwa 7 Oktober tidak hanya menjatuhkan topeng, tetapi menelanjangi fondasi filosofis yang menopang sentralitas diri Barat yang selama ini memimpin dan mendominasi sistem dunia.
“Diri Barat” hanya bisa menjalankan “keadilan” dari posisi kekuasaan, dari kursi pengendali yang menentukan kapan ia mau memberi dan kapan ia mencabutnya.
Kemanusiaan versi Barat akhirnya tampak apa adanya — kemanusiaan bersyarat: tergantung warna darah, geografi identitas, dan keseimbangan kekuatan.
Sebagaimana dikatakan Edward Said, peradaban Barat melahirkan “kemanusiaan selektif” yang menelanjangi slogan Pencerahan dan kebebasan — sebab nilai-nilainya beroperasi hanya dalam lingkaran Barat, dan mengecualikan bangsa-bangsa terjajah.
Hati nurani Barat kini mulai melepaskan diri dari narasi biblis yang selama puluhan tahun mengekangnya.
Sejak Perang Dunia II, telah dibangun di Barat rumus moral: bahwa Yahudi adalah korban absolut, dan bahwa setiap kritik terhadap Israel adalah penyangkalan Holocaust dan antisemitisme.
Namun pemandangan Gaza menghancurkan rumus itu dari akarnya — sebab ketika korban berubah menjadi algojo, sejarah tak bisa lagi dipakai sebagai senjata moral.
Orang Palestina tidak butuh teori untuk membuktikannya — mereka membuktikannya dengan darah mereka sendiri.
Ketika dunia terdiam menyaksikan pembantaian, banyak orang menyadari bahwa sistem nilai yang menjadi dasar peradaban Barat hanyalah etalase kaca yang menyembunyikan mesin penindasan lama yang sama.
7 Oktober mendefinisikan ulang seluruh kosa kata besar zaman modern: perlawanan, terorisme, kolonialisme, kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia, hukum, politik, etika — bahkan manusia itu sendiri.
Ia mengembalikan pertanyaan ke akarnya:
Apa artinya menjadi manusia di dunia yang hanya melihatmu sebagai alat atau ancaman?
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera