Ketakutan Terus-Menerus di Israel, Apa yang Terjadi Setelah 7 Oktober ? (Bagian Ketiga)
Oleh : Saifuddin Maw’id (Penulis dan Jurnalis Palestina)
Artikel Ketakutan Terus-Menerus di Israel, Apa yang Terjadi Setelah 7 Oktober ? ini masuk dalam Kategori Analisa
Pasca Penipuan Peradaban
7 Oktober memaksa dunia melihat dirinya sendiri dari awal dan menghadapi pertanyaan yang dihindari selama seabad:
Bisakah peradaban dibangun tanpa nurani?
Pertanyaan ini menuntun kita pada pengadilan terhadap modernitas itu sendiri.
Manusia Barat, yang membangun peradabannya atas nama rasionalitas dan kebebasan, kini menyadari bahwa ia hidup dalam struktur “akal instrumental”, sebagaimana dikemukakan oleh Mazhab Frankfurt — cara berpikir yang menghasilkan solusi teknis tanpa pernah mempertanyakan makna dan tujuan moralnya.
Seperti yang dijelaskan Thaha Abdurrahman, ini adalah penyakit ketidakrasionalan dan ketidaktermoralan yang menyelimuti akal Barat — akal yang menghasilkan alat, bukan makna, dan mengukur segala sesuatu dengan manfaat, terlepas dari nilai.
Peristiwa 7 Oktober menyingkap paradoks besar modernitas: bahwa ia mencapai puncak ilmu pengetahuan namun terjerembab ke jurang kebijaksanaan.
Peradaban yang berinvestasi dalam kecerdasan buatan namun gagal melindungi manusia nyata kehilangan alasan moral untuk ada.
Peradaban yang memiliki seluruh alat teknologi namun kehilangan kompas moralnya tak ubahnya bentuk baru dari barbarisme dan Nazisme.
Tak heran jika nilai-nilai berubah menjadi slogan, dan kemanusiaan direduksi menjadi retorika diplomatik kosong.
Modernitas yang mengklaim membebaskan manusia dari mitos justru menciptakan mitos barunya sendiri — mitos “kemajuan” yang membenarkan segalanya.
Akibatnya, dunia memiliki kemampuan menghancurkan yang belum pernah ada sebelumnya, tetapi kehilangan kemampuan untuk merasa bersalah.
Dengan demikian, jelas bahwa krisis Barat bukan politik atau ekonomi, melainkan krisis spiritual.
Barat kehilangan hubungannya dengan manusia sebagai tujuan, dan menggantikannya dengan fungsi — alat yang tunduk pada kepentingan kekuasaan.
Kini dimulailah era pasca-penipuan peradaban.
Tak seorang pun lagi percaya pada “netralitas” nilai-nilai yang menjadi fondasi peradaban Barat, atau pada “keadilan” sistem internasional yang mengendalikan dunia modern.
Bahkan keberadaan sistem liberal global itu sendiri kini dipertanyakan.
Dunia memang menjadi lebih sadar, tetapi juga lebih brutal; sebab runtuhnya topeng tidak selalu berarti bangkitnya nurani — terkadang justru kebangkitan naluri.
Dan di situlah bahaya masa depan: bahwa pasca 7 Oktober mungkin menjadi awal dari perpecahan kosmik baru — bukan hanya antara Timur dan Barat, tetapi antara manusia dan bayangannya sendiri.
Sebuah Pelajaran dari Palestina
Ketika kita membaca ulang sejarah setelah 7 Oktober, kita menyadari bahwa peristiwa ini bukan penyimpangan dari jalur sejarah, melainkan kembalinya pada inti konflik abadi manusia — antara kebenaran dan kebatilan, antara kebebasan dan dominasi.
Rakyat Palestina telah mengajarkan — dari bawah reruntuhan — pelajaran tentang martabat yang tidak bisa diajarkan oleh universitas paling bergengsi: bahwa kelemahan tidak berarti menyerah, bahwa perlawanan bukan hanya tindakan militer, tetapi tindakan eksistensial melawan ketiadaan, dan bahwa siapa pun yang memiliki tekad dan perjuangan yang adil tidak akan kalah, bahkan jika ia kehilangan segalanya.
Mungkin karena itu, Palestina hari ini menjadi panggung simbolis pertarungan antara dua jenis manusia:
Yang satu hidup dengan makna melalui perjuangannya, dan yang lain bersembunyi di balik teknologinya untuk menutupi kehampaan moralnya.
Yang pertama berjuang karena ia tak punya pilihan selain jujur pada dirinya sendiri, sementara yang kedua berperang karena ia tak sanggup menatap cermin.
Dengan demikian, “Badai al-Aqsha” bukan sekadar pertempuran di bumi, tetapi pertempuran atas kebenaran itu sendiri — dan atas hak untuk mendefinisikan kemanusiaan.
Kini jelas bahwa Palestina bukan sekadar isu kemanusiaan atau berkas politik, melainkan titik pertemuan dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial terbesar manusia: tentang keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa Badai al-Aqsha tidak mengubah dunia karena kemenangan militernya, tetapi karena ia memaksa dunia melihat dirinya apa adanya — tanpa hiasan, tanpa topeng, tanpa ilusi.
Dan pertanyaan yang tersisa:
Bagaimana dunia Arab dan Islam melihat dirinya sendiri setelah 7 Oktober?
Itu kisah lain — dan narasi yang masih harus diceritakan.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera