Tinjauan atas Posisi dan Peluang Negosiasi di Sudan (Bagian Pertama)
Oleh: Mona Abu Zaid – Penulis dan Jurnalis asal Sudan
Artikel Tinjauan atas Posisi dan Peluang Negosiasi di Sudan ini diarsipkan dalam Kategori Analisa dan Opini
Sebelum membahas tentang negosiasi atau dialog di Sudan, perlu terlebih dahulu mendefinisikan kedua konsep tersebut, serta menentukan posisi dan perubahan yang terjadi pada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.
Negosiasi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan hasil dari pertemuan berbagai kehendak dan perubahan keseimbangan kekuatan. Oleh karena itu, menelaah posisi dan peluang para pihak yang berunding secara militer maupun berdialog secara politik merupakan langkah pertama untuk memahami arah perdamaian di Sudan.
Peta Politik
Koalisi “Taqaddum” (Kemajuan) — sayap sipil dan militer
Dapat dikatakan bahwa koalisi Taqaddum telah berhasil dalam satu hal mendasar sepanjang perang ini: memastikan keberadaannya dalam setiap skenario penyelesaian di masa depan — “baik di bawah pengawasan internasional maupun atas kemauan lokal.”
Meskipun narasi politik, pemerintah, dan publik kerap menggambarkan mustahilnya keberadaan Taqaddum di Sudan pascaperang, kenyataannya menunjukkan bahwa koalisi tersebut akan menjadi bagian dari setiap kesepakatan mendatang, tanpa dapat dihindari.
Dan meskipun sebagian pihak berpendapat bahwa perpecahan di dalam Taqaddum hanyalah langkah taktis politik, kemungkinan terjadinya perpecahan nyata — tergantung dinamika negosiasi — tidak bisa dikesampingkan apabila kepentingan politik menuntut demikian. Sebab Taqaddum pada dasarnya adalah kumpulan entitas politik yang disatukan oleh kepentingan dan kebutuhan, dan bisa pula tercerai karena alasan yang sama.
Dimensi militer dari sebagian besar komponen Ta’sis (pendiri), kecuali beberapa individu yang mewakili diri mereka sendiri secara resmi dan bukan partai mereka, membuat mereka sulit untuk diakomodasi dalam hasil dialog politik. Karena itu, keterlibatan mereka dalam meja perundingan militer lebih masuk akal dan lebih mungkin terjadi.
Adapun koalisi “Sumud” (Keteguhan), yang kini berdiri di tengah-tengah setelah terjadinya perpecahan — dalam “wilayah abu-abu politik” perang ini, jika boleh dikatakan demikian — relatif lebih siap untuk duduk di meja dialog politik.
Namun, visi Sumud masih terbatas karena sepenuhnya bergantung pada dukungan luar negeri, serta belum memahami perubahan global dalam keseimbangan kekuatan, maupun pergantian posisi dalam “permainan kursi” yang mungkin menentukan sikap internasional terhadap pihak-pihak yang bertikai.
Kaum Islamis antara Penolakan dan Reposisi
Sebagian besar politisi memperlakukan kelompok Islamis sebagai satu blok yang diperangi secara global dan berusaha menekan mereka di tingkat domestik, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Pengalaman setelah revolusi berwarna di dunia Arab — dari Mesir dan Tunisia hingga Suriah baru-baru ini — menunjukkan bahwa Islam politik tidak selalu diperangi sepenuhnya, melainkan bisa dibentuk ulang dalam berbagai wujud, sesuai dengan kepentingan internasional.
Islamis di Sudan sendiri bukanlah satu aliran yang utuh, melainkan terpecah oleh pertikaian tersembunyi serta perbedaan ideologis dan organisatoris, yang tentu memengaruhi posisi mereka dalam dialog politik maupun negosiasi militer.
Berbeda dari harapan para penentang mereka, mustahil untuk menyingkirkan mereka sepenuhnya dari panggung politik, karena beberapa alasan:
Pertama, sebagian besar rakyat Sudan — di luar lingkaran politik — menilai bahwa para Islamis telah “menebus” kesalahan rezim Inqaz (Penyelamatan Nasional) yang menggulingkan mereka, melalui peran aktif mereka dalam membela tanah air dan pengorbanan mereka yang besar, termasuk banyaknya syuhada di medan perang.
Kedua, perang ini telah mengubah pemahaman kolektif banyak revolusioner Sudan tentang makna kebaikan dan kejahatan, serta dosa dan hukuman. Banyak di antara mereka yang dulunya menentang militer kini berpihak pada tentara Sudan dan berbalik menentang kekuatan revolusi politik yang tetap memusuhi militer dalam perang ini. Akibatnya, permusuhan banyak revolusioner terhadap Islamis pun mulai mereda, kecuali bagi kelompok Taqaddum beserta sekutu dan para pendukungnya.
Perubahan di Lapangan dan di Politik
Keseimbangan kekuatan terus berubah setiap hari — baik di medan perang maupun dalam dinamika politik antara dua pemerintahan: pemerintah sah di Port Sudan dan pemerintahan bayangan di Nyala.
Demikian pula halnya dengan aliansi regional dan internasional yang terus bergeser, terutama dalam menentukan sikap sejumlah pihak internasional terhadap perang ini dan terhadap para kombatan — faktor kunci untuk memahami akar dan ambisi di balik perang tersebut, serta mencoba memproyeksikan arah akhirnya.
Pertanyaan penting yang muncul:
Apakah ambisi lama telah surut, atau justru muncul ambisi baru setelah dua setengah tahun berlalu?
Apakah milisi dan sekutunya masih memiliki efektivitas dalam mencapai tujuan-tujuan itu, ataukah dinamika baru telah mengubah jalannya, bahkan mungkin sebagian tujuan kini bisa dicapai melalui tentara dan sekutu Islamisnya sendiri?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan bahasa dan arah wacana perdamaian — baik di tingkat internasional maupun di antara pihak-pihak yang berperang di dalam negeri.
Selain itu, kekuatan kehendak rakyat yang terwujud melalui perlawanan bersenjata rakyat juga berperan besar dalam mengubah arah perang ini, apa pun bentuknya: “pembersihan demografis, klaim rasial, ambisi politik dan ekonomi domestik, kepentingan ekonomi asing, serta ambisi pribadi sejumlah tokoh berkuasa,” dan sebagainya.
Akhirnya, muncul satu faktor yang tak terduga dan tak diperhitungkan sebelumnya — baik dalam cara maupun dampaknya — yang telah mengubah keseluruhan dinamika konflik. Faktor ini tidak boleh diabaikan ketika membahas hasil dan konsekuensi perang.
Kemungkinan Perpecahan di Tubuh Militer
Ada pula kemungkinan terjadinya perubahan internal di tubuh tentara jika ketidakpuasan terhadap kinerja otoritas militer-politik meningkat.
Sebagian pihak melihat keputusan otoritas tersebut terlalu lembek atau bahkan kompromistis terhadap musuh, sementara yang lain menilainya terlalu keras di bawah tekanan kelompok Islamis.
Karena itu, munculnya perpecahan dalam institusi militer bisa saja mengubah peta aliansi dan membuka jalur negosiasi baru. Apa pun pandangan terhadap hal ini, faktor tersebut tak bisa diabaikan dalam membaca keseluruhan situasi di Sudan saat ini.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera