Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan (Bagian Kedua)
rezaervani.com – 15 Mei 2025 – Siapa dan Bagaimana Sejarah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan ?
Peran Pasukan Dukungan Cepat
Dalam upacara wisuda angkatan kelima Pasukan Dukungan Cepat, Hemedti menjelaskan bahwa peran pasukannya adalah “membela tanah air dan pencapaiannya”, serta menegaskan bahwa mereka “mengajak kepada perdamaian, bekerja demi terwujudnya perdamaian, menjaganya, menanamkan rasa aman di antara masyarakat, mengakhiri konflik antar-suku, memerangi perdagangan manusia dan migrasi ilegal, serta memberantas perdagangan senjata, narkoba, dan segala bentuk ekstremisme.”
Berikut beberapa peran nyata yang telah dijalankan oleh Pasukan Dukungan Cepat:
1. Menghadapi Pemberontakan di Darfur
Setelah dibentuk dan diakui sebagai pasukan resmi tempur, Pasukan Dukungan Cepat melakukan sejumlah operasi penting atas perintah pemerintah Sudan terhadap gerakan-gerakan pemberontak di Darfur, di antaranya:
- Pertempuran Donki al-Baashim (2014) melawan Tentara Pembebasan Sudan (SLA).
- Pertempuran Qouz Dungo (2015) di Darfur Selatan melawan Gerakan Keadilan dan Persamaan (JEM), yang berakhir dengan kekalahan telak bagi pihak pemberontak.
- Operasi Musim Panas Penentu (2015) melawan kelompok-kelompok bersenjata yang sempat menguasai sejumlah wilayah. Operasi ini berakhir dengan kemenangan Pasukan Dukungan Cepat, yang berhasil mengambil alih Gunung Marra dan kota Golo, yang sejak tahun 2003 berada di bawah kendali Tentara Pembebasan Sudan.
Namun, operasi pemberantasan pemberontakan di Darfur disertai dengan banyak pelanggaran dan kejahatan kemanusiaan, seperti penyerbuan dan pembakaran desa, perusakan harta benda, serta kekerasan seksual, sebagaimana dilaporkan oleh Human Rights Watch.
Akibat konflik di Darfur, diperkirakan sekitar 2,5 juta orang mengungsi dan 450.000 orang tewas.
Perang Yaman
Pasukan Dukungan Cepat ikut serta dalam perang di Yaman pada tahun 2015 di pihak pasukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk memerangi kelompok Houthi, di bawah pengawasan Hemedti dan al-Burhan. Sekitar 30.000 pejuang, sebagian besar berasal dari Pasukan Dukungan Cepat, dikirim untuk bertempur di Yaman.
Laporan lain menyebutkan adanya kesepakatan terpisah antara Uni Emirat Arab dan Hemedti, yang isinya mengatur partisipasi Pasukan Dukungan Cepat dalam perang Yaman sebagai imbalan atas pendanaan dari Uni Emirat Arab, yang menyebabkan meningkatnya tingkat perekrutan di dalam pasukan tersebut.
Pasukan Dukungan Cepat ditugaskan dalam berbagai peran selama perang Yaman, antara lain:
- Menjaga perbatasan Arab Saudi dengan Yaman.
- Melakukan operasi darat di pantai barat Yaman.
- Mengamankan pangkalan-pangkalan militer Uni Emirat Arab di Yaman selatan.
Sebuah laporan dari The New York Times menyebutkan bahwa sekitar 40% dari para prajurit tersebut adalah anak-anak berusia antara 14 hingga 17 tahun.
Pasukan ini dibagi menjadi unit-unit yang terdiri dari 500 hingga 750 prajurit, dengan gaji antara 480 hingga 530 dolar AS tergantung usia dan pangkat. Mereka ditempatkan di berbagai wilayah, termasuk Taiz, Hodeidah, Lahij, Hajjah, dan Saada.
Operasi Khartoum
Dengan meningkatnya jumlah personel, Pasukan Dukungan Cepat menjadi bagian dari Operasi Khartoum pada tahun 2016, sebuah inisiatif yang dimulai pada 2014 dan bertujuan menjalin kerja sama antara negara-negara di sepanjang jalur migrasi antara Tanduk Afrika dan Eropa untuk memerangi perdagangan manusia dan penyelundupan migran.
Dalam operasi ini, Pasukan Dukungan Cepat memainkan peran penting dalam menjaga perbatasan Libya untuk mencegah para migran mencapai wilayah Libya.
Penggulingan al-Basyir
Ketika revolusi rakyat Sudan meletus pada Desember 2018, Presiden Omar al-Basyir meminta Pasukan Dukungan Cepat untuk turun tangan menekan demonstrasi. Namun, Hemedti menolak perintah tersebut dan justru berperan bersama pasukannya dalam menggulingkan rezim al-Basyir. Setelah itu, ia diangkat sebagai Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Transisi di Sudan.
Pembubaran Aksi Duduk di Markas Besar Militer
Pasukan Dukungan Cepat dituduh turut serta bersama tentara dalam pembubaran paksa aksi duduk di depan markas besar militer pada tahun 2019, yang menyebabkan puluhan demonstran tewas dan ratusan lainnya luka-luka, serta puluhan orang dilaporkan hilang.
Pasukan ini juga dituduh membuang jenazah ke Sungai Nil, di mana ditemukan sekitar 40 mayat setelah aksi dibubarkan. Hemedti dituduh merencanakan pembantaian di markas besar dan memerintahkan pasukannya untuk membubarkan aksi tersebut secara paksa.
Penggulingan Pemerintahan Hamdok
Pasukan Dukungan Cepat berperan dalam menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Abdalla Hamdok pada Oktober 2021, yang mengakibatkan terhentinya proses pemilihan umum. Namun kemudian, Hemedti menyatakan penyesalannya atas keterlibatannya dalam apa yang ia sebut sebagai “kudeta” tersebut.
Perselisihan dengan Tentara Reguler
Tanda-tanda perselisihan antara Pasukan Dukungan Cepat dan tentara reguler mulai tampak ketika para pemimpin kedua pihak berusaha mencari dukungan regional dan internasional.
Ketegangan meningkat setelah penandatanganan kesepakatan kerangka kerja (framework agreement) yang bertujuan membangun masa transisi selama dua tahun menuju pembentukan pemerintahan sipil, yang dijadwalkan terbentuk pada Juli 2023.
Namun, perbedaan pendapat memuncak ketika Jenderal Abdel Fattah al-Burhan bersikeras untuk melaksanakan seluruh poin kesepakatan, terutama mengenai integrasi Pasukan Dukungan Cepat ke dalam tentara nasional dan penyatuan komando militer.
Meskipun Hemedti menandatangani kesepakatan tersebut, ia menghambat pelaksanaannya. Beberapa negara mencoba menengahi melalui pembicaraan reformasi keamanan dan militer yang digelar pada Maret 2023, namun tidak menghasilkan rekomendasi konkret terkait integrasi Pasukan Dukungan Cepat.
Perselisihan kembali memanas pada April 2023, terutama mengenai jadwal penyatuan pasukan, status perwira Pasukan Dukungan Cepat di dalam tentara di masa depan, dan posisi panglima tertinggi militer selama masa integrasi.
Pertempuran April 2023
Akibat perselisihan yang memuncak pada April 2023 mengenai proses integrasi, situasi berkembang menjadi bentrokan bersenjata antara kedua pihak. Pertempuran dimulai dengan penguatan pasukan Hemedti di sekitar Bandara Kota Merowe di utara Sudan, serta mobilisasi di berbagai wilayah lainnya.
Ketika tentara reguler mencoba memperkuat kehadirannya di sekitar bandara, pertempuran pun meletus antara kedua pihak.
Pertempuran kemudian menyebar ke sejumlah kota Sudan, namun terpusat di ibu kota, Khartoum, yang menyebabkan puluhan warga sipil tewas, kerusakan besar pada properti akibat pertempuran dan pengeboman, serta ribuan orang mengungsi.
Sumber: Al Jazeera + Kantor Berita + Situs Web
Sumber : al Jazeera