Janjaweed – Apa dan Siapa ?
Sebuah organisasi bersenjata di wilayah Darfur, Sudan barat, yang dituduh oleh banyak pihak bertanggung jawab atas kekacauan dan pelanggaran keamanan di kawasan tersebut. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF). Sejumlah gerakan di Sudan menganggap Janjaweed sebagai sayap militer pemerintah Sudan di Darfur, tuduhan yang dibantah oleh pemerintah Khartoum.
Asal-Usul dan Pembentukan
Tidak ada kesepakatan mengenai asal-usul kata Janjaweed. Ada yang menganggapnya berasal dari gabungan kata Arab “jinn ‘ala jawad” (setan yang menunggang kuda), sementara pendapat lain menyebutnya sebagai singkatan dari tiga kata yang semuanya berawalan huruf “J”: jinn (setan), jawad (kuda), dan G3 — jenis senapan otomatis terkenal. Sebagian lainnya mengaitkan asal-usulnya dengan seorang perampok Arab Darfur bernama Hamid Janjuit, yang bersama kelompoknya menebar teror terhadap desa-desa Afrika pada 1980-an.
Terlepas dari perbedaan tafsir, makna umum dari istilah tersebut merujuk pada kelompok bersenjata yang muncul di Darfur pada tahun 1987, ketika terbentuk aliansi luas yang mencakup seluruh suku Arab di wilayah itu, dikenal dengan nama “Aliansi Arab,” yang terdiri atas 27 suku. Belakangan, organisasi ini meluas hingga mencakup beberapa suku Arab di Kordofan dan mengadopsi nama baru “Quraysh.”
Janjaweed dituduh menjadi kekuatan militer suku-suku Arab di Darfur — tuduhan yang dibantah oleh suku-suku tersebut. Namun, sejumlah pengamat mengaitkan kemunculan Janjaweed dengan perang saudara di Chad pada 1980-an, ketika Presiden Chad Idriss Déby berhadapan dengan lawannya Hissène Habré. Masing-masing pihak merekrut milisi dari suku-suku Arab di timur Chad, dan dari situ muncullah kelompok Janjaweed.
Arah Ideologis
Janjaweed tidak memiliki ideologi atau orientasi politik tertentu. Ia berfungsi sebagai milisi pragmatis yang bertindak untuk kepentingan suku-suku Arab dan pemerintah Sudan, menurut pandangan kelompok oposisi Sudan.
Perkembangan dan Aktivitas
Janjaweed terbagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama — yang lebih kecil — berada di Darfur utara dan terdiri dari milisi suku-suku Arab penggembala unta (abbala). Beberapa laporan menyebut bahwa kelompok ini menjarah kota Kutum pada Agustus 2003.
Bagian terbesar berada di Darfur selatan dan terdiri dari suku-suku Arab penggembala sapi (baggara), dengan jumlah diperkirakan lebih dari 5.000 orang bersenjata. Mereka bermarkas di Gunung Karquo di barat daya Darfur.
Milisi Janjaweed dituduh berpartisipasi bersama tentara Sudan dalam operasi militer melawan insinyur Daoud Yahya Bolad — seorang tokoh dari suku Fur yang memimpin pemberontakan tahun 1991 bekerja sama dengan John Garang, pemimpin Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM), setelah keluar dari Front Islam Nasional pimpinan Hassan al-Turabi. Pemberontakan itu berhasil ditumpas, dan Bolad ditangkap serta dibunuh.
Pemerintah-pemerintah Sudan yang silih berganti dituduh melindungi dan mendukung kelompok ini, sementara pihak Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan dituding mempersenjatai suku Fur di Darfur untuk melawan pemerintah Khartoum. Menurut sejumlah pengamat, dinamika ini mengubah konflik di Darfur menjadi konflik “Arab–Afrika,” setelah sebelumnya hanya berupa pertikaian antara para penggembala dan petani.
Pada awal Agustus 2004, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang menuntut pemerintah Sudan melucuti senjata milisi Janjaweed dan menuntut mereka yang terlibat dalam pembunuhan, penjarahan, dan pemerkosaan.
Nama Syekh Musa Hilal, kepala suku Mahamid — salah satu cabang suku Arab di Darfur — muncul sebagai pemimpin Janjaweed. Para pemberontak Darfur menuduhnya sebagai otak di balik kampanye pembersihan etnis yang dilakukan oleh kelompok tersebut.
Amerika Serikat menuduh Musa Hilal memimpin Janjaweed, dan pada tahun 2005 Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag mengajukan dakwaan terhadap Ali Kushayb, salah satu komandan Janjaweed, atas tuduhan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur.
Pada 2006, pemerintah Sudan mulai mengumpulkan senjata Janjaweed di Darfur sesuai dengan ketentuan Perjanjian Abuja.
Menurut laporan media Barat, termasuk The New York Times, pada musim panas 2014 milisi Janjaweed kembali aktif di Darfur setelah pemerintah Sudan merestrukturisasi mereka.
Presiden Umar al-Basyir pada Mei 2014 membela kelompok ini dan menantang para penentangnya untuk membuktikan bahwa milisi tersebut melakukan pelanggaran terhadap pemberontak.
Sumber: Al Jazeera