5 Alasan Mengapa UEA Berkepentingan Atas Sudan (Bagian Ketiga)
Oleh : Muhammad Khansa
Artikel 5 Alasan Mengapa UEA Berkepentingan Atas Sudan ini kami arsipkan di Kategori Analisa
Tuduhan bahwa UEA menyokong RSF yang melakukan genosida di Sudan bukanlah tuduhan main-main. Apa yang sebenarnya yang melatarbelakangi UEA Berkepentingan Atas Sudan ?
4. Menguasai Infrastruktur Keuangan Sudan
Sebelum pecahnya perang, sektor perbankan Sudan masih sangat terbelakang akibat sanksi berkepanjangan dari Amerika Serikat yang memutus hubungan negara itu dari sistem keuangan global. Sanksi tersebut secara efektif melarang sebagian besar kegiatan komersial dan keuangan dengan Sudan. Baru pada tahun 2017 Amerika Serikat mulai melonggarkan pembatasan itu, sehingga Sudan dapat kembali terhubung dengan lembaga perbankan internasional.
Selama masa sanksi AS, Faisal Islamic Bank of Sudan dan Abu Dhabi Islamic Bank praktis menjadi satu-satunya lembaga yang memfasilitasi transfer keuangan dari dan ke Sudan. Selain itu, investasi Emirat di sektor keuangan Sudan sudah meningkat jauh sebelum sanksi dicabut.
Dua dekade lalu, pemerintah menawarkan Bank of Khartoum — bank milik negara yang didirikan pada tahun 1913 dan merupakan bank tertua serta terbesar di Sudan — untuk dijual. Pada tahun 2005, pemerintah menjual 60% sahamnya kepada Dubai Islamic Bank, yang kemudian bergabung dengan Emirates and Sudan Bank pada tahun 2008. Bank terakhir ini didirikan oleh konsorsium bank-bank UEA dan kemudian dimiliki mayoritas oleh mereka.
Sekitar waktu yang sama, pemerintah Sudan melakukan privatisasi El Nilein Bank, menjual 60% sahamnya kepada Al-Salam Bank asal Bahrain dan para investor Emirat. Bank ini memiliki cabang di Abu Dhabi, di mana Tradive General Trading LLC — perusahaan milik Algoney Dagalo, saudara Hemedti — memiliki rekening yang digunakan untuk memfasilitasi transfer keuangan bagi Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Abu Dhabi Islamic Bank menjadi bank asing pertama yang membuka cabang di Sudan pada tahun 2012, dengan Presiden Al-Bashir sendiri hadir dalam upacara pembukaannya. Setahun kemudian, Abu Dhabi National Bank mulai beroperasi di Sudan. Menariknya, National Bank of Abu Dhabi diketahui terhubung dengan rekening milik RSF yang digunakan untuk mengalirkan kembali pendapatan dari penjualan emas.
Saat ini, banyak bank gabungan di Sudan melibatkan investor Teluk, termasuk politisi, elit yang memiliki koneksi politik, serta keluarga mereka, yang sering memegang saham besar. Sebagai contoh, Al Khaleej Bank — di mana perusahaan Emirat Al-Jil Al-Qadem General Trading LLC memiliki 14% saham — dikendalikan oleh RSF dan keluarga Hemedti.
Sebagian besar bank asing yang beroperasi di Sudan berkantor pusat di negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar. Secara keseluruhan, tujuh bank asing tersebut memegang 23% dari total aset perbankan Sudan. Tujuan utama mereka adalah mendukung dan memfasilitasi investasi Teluk di seluruh sektor ekonomi Sudan.
Dapat dikatakan bahwa keterlibatan UEA dalam perang di Sudan sebagian bertujuan untuk mengamankan posisinya sebagai penyedia utama layanan keuangan di negara tersebut.
5. Perang Proksi di Teluk
Sebuah artikel di ADF Magazine berpendapat bahwa perang Sudan telah berkembang menjadi konflik proksi antara dua negara Arab Teluk yang bersaing memperluas pengaruhnya di Afrika. Di pihak Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) terdapat Arab Saudi, yang telah menjalin hubungan erat dengan pemimpinnya, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Sementara itu, Uni Emirat Arab berpihak pada Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Persaingan ini mencerminkan rivalitas yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Secara tradisional, kedua negara tersebut merupakan sekutu yang dipersatukan oleh kepentingan regional yang sama — termasuk permusuhan terhadap Iran dan penentangan bersama terhadap gerakan Islam politik. Namun, persaingan ekonomi telah menegangkan hubungan mereka, terutama dengan diluncurkannya Regional Headquarters Program oleh Arab Saudi, yang mewajibkan perusahaan multinasional yang beroperasi di Timur Tengah untuk memindahkan kantor regionalnya ke Kerajaan, sehingga melewati pusat bisnis yang sudah mapan seperti Dubai.
Dalam konteks Sudan, para pemimpin Saudi memandang Laut Merah sebagai wilayah vital bagi pertumbuhan ekonomi Kerajaan, baik sebagai pusat pariwisata maupun jalur strategis untuk mengamankan ekspor minyak dengan mengurangi ketergantungan pada Selat Hormuz. Selama perang di Sudan, Arab Saudi berupaya memosisikan dirinya sebagai pihak penengah dengan menjadi tuan rumah pembicaraan damai, sekaligus berusaha meningkatkan reputasi dan legitimasi internasionalnya — khususnya di bawah kepemimpinan Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Tindakan UEA di Sudan sejalan dengan strategi Abu Dhabi yang lebih luas: mendukung aktor non-negara (sering kali yang memiliki kecenderungan separatis) guna memperoleh akses ke sumber daya berharga dan lokasi strategis. Pendekatan ini mencerminkan pola keterlibatan UEA di wilayah lain, seperti Libya timur dan Somalia, menurut analis Elfadil Ibrahim.
“Pada akhirnya, Sudanlah yang menanggung harga dari retaknya hubungan negara-negara Teluk ini,” tulis Ibrahim baru-baru ini untuk Responsible Statecraft. “Selama rivalitas ini terus berlangsung, Sudan akan tetap terjebak secara tragis di tengah baku tembak.”
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : People Dispatch