Gelombang Pengungsian dari Al-Fasyir dan Wilayah Utara Kordofan Terus Berlanjut
Pengungsian dari al-Fasyir dan Wilayah Utara Kordofan terus berlanjut. Warga yang khawatir menjadi korban Genosida Pasukan RSF berupaya keluar dari al-Fasyir
rezaervani.com – 4 November 2025 – Utusan Presiden Amerika Serikat untuk Urusan Afrika dan Arab, Musaad Boulos, menegaskan pada Senin bahwa Amerika Serikat sedang membahas gencatan senjata kemanusiaan dengan kedua pihak yang bertikai di Sudan, sambil mengecam keras kekejaman yang dilakukan di kota Al-Fasyir beberapa hari terakhir, dengan menyebutnya sebagai “tindakan yang sepenuhnya tidak dapat diterima.”
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan bahwa puluhan ribu orang telah melarikan diri dari lima wilayah di Negara Bagian Kordofan Utara, menyusul meluasnya pertempuran antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF), terutama setelah pasukan RSF berhasil menguasai kota Al-Fasyir pekan lalu.
Selain itu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyatakan bahwa jika laporan-laporan dari Al-Fasyir — tentang pembunuhan, pemerkosaan massal, dan kejahatan lain yang diduga dilakukan oleh RSF — terbukti benar, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Serangan dan Korban Sipil
Sumber pemerintah Sudan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa drone milik RSF menyerang desa Al-Luweib di sebelah timur kota Al-Ubayyid, ibu kota Kordofan Utara, menewaskan dan melukai sejumlah warga sipil.
Sumber yang sama juga melaporkan bahwa drone lain milik RSF menyerang kota Ar-Rahad dan Al-Ubayyid, sementara sumber militer Sudan menyebut serangan drone RSF juga menghantam dua kota di Darfur Utara: Kurnawi dan At-Tinah.
Ancaman Kelaparan di Al-Fasyir
Secara kemanusiaan, kantor berita Associated Press melaporkan bahwa “Integrated Food Security Phase Classification” (IPC) telah mendeteksi terjadinya kelaparan di kota Al-Fasyir (Darfur) dan Kadugli (Kordofan Selatan), serta memperingatkan bahwa 20 wilayah lain di Darfur dan Kordofan berisiko tinggi mengalami kelaparan.
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menyebutkan bahwa nasib ribuan warga sipil di Al-Fasyir masih belum diketahui, dan organisasi kemanusiaan dilarang mengakses kota tersebut.
Jaringan Dokter Sudan menuduh RSF menahan ribuan warga sipil di dalam kota Al-Fasyir dan mencegah mereka keluar.
Sumber lokal di kota Thawilah, barat Al-Fasyir, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa lebih dari 20.000 pengungsi telah tiba di sana dalam beberapa hari terakhir setelah RSF menguasai kota Al-Fasyir.
Sumber tersebut menambahkan bahwa gelombang pengungsian masih terus berlangsung, dan para pengungsi sangat membutuhkan air, makanan, dan obat-obatan.
Juru bicara Palang Merah di Sudan mengatakan kepada Al Jazeera bahwa situasi kemanusiaan memburuk dari hari ke hari seiring meningkatnya kekerasan dan kompleksitas medan pertempuran, yang menghambat penyaluran bantuan.
Ia menyerukan penyediaan jalur aman bagi warga yang ingin meninggalkan zona pertempuran, serta menegaskan bahwa Palang Merah tengah memperkuat operasi kemanusiaan di wilayah Thawilah, dekat Al-Fasyir, untuk membantu para pengungsi.
Dugaan Kejahatan Perang
Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (Kareem Khan) mengatakan bahwa jika laporan dari Al-Fasyir tentang pembunuhan, pemerkosaan massal, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh RSF terbukti benar, maka tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma.
Ia menegaskan bahwa ICC memiliki kewenangan hukum untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan dalam konteks konflik yang sedang berlangsung di Darfur, dan bahwa penyelidikan intensif sedang dilakukan sejak pecahnya perang pada April 2023.
Khan menambahkan bahwa ICC akan mengambil langkah cepat untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait kejahatan di Al-Fasyir guna digunakan dalam penuntutan hukum di masa mendatang, dan menyerukan kepada semua individu serta lembaga yang peduli terhadap keadilan dan akuntabilitas untuk menyerahkan informasi atau bukti apapun terkait peristiwa tersebut.
Eksekusi Massal dan Pengepungan
Koordinator Urusan Kemanusiaan PBB di Sudan, Denise Brown, menyatakan bahwa pihaknya menerima laporan tentang eksekusi lapangan massal terhadap warga sipil tak bersenjata yang mencoba melarikan diri dari Al-Fasyir.
Ia menambahkan bahwa jumlah warga yang berhasil melarikan diri dari kota itu menurun drastis dalam beberapa hari terakhir, yang menunjukkan bahwa RSF semakin memperketat pengepungan atas kota tersebut.
Brown menjelaskan bahwa konvoi bantuan kemanusiaan dilarang masuk, dan makanan, obat-obatan, serta perlengkapan medis tidak diizinkan masuk ke kota.
Ia menegaskan bahwa PBB telah berusaha memasuki Al-Fasyir selama lebih dari 500 hari, namun terus dicegah.
Latar Belakang Situasi
Pada 26 Oktober lalu, pasukan RSF berhasil merebut kota Al-Fasyir, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara, dan melakukan pembantaian terhadap warga sipil, menurut laporan berbagai lembaga lokal dan internasional. Peristiwa itu memunculkan kekhawatiran akan terjadinya pembagian wilayah Sudan secara de facto.
Saat ini, RSF menguasai seluruh lima negara bagian di wilayah Darfur bagian barat, kecuali beberapa wilayah di utara Darfur Utara yang masih di bawah kendali tentara Sudan, yaitu Kurnawi, Umbaru, dan At-Tinah, serta daerah-daerah yang dikuasai oleh Gerakan Pembebasan Sudan pimpinan Abdul Wahid Muhammad Nur, termasuk wilayah Thawilah yang menampung sebagian besar pengungsi dari Al-Fasyir.
Sementara itu, tentara Sudan masih menguasai mayoritas wilayah di 13 dari 18 negara bagian lainnya, yang terletak di bagian selatan, utara, timur, dan tengah, termasuk ibu kota, Khartoum.
Sumber: Al Jazeera