PM Irak: Milisi Baru Bisa Dilucuti Setelah Pasukan AS Keluar dari Negara Itu
Perdana Menteri Iraq menegaskan bahwa Milisi Baru Bisa Dilucuti Senjatanya hanya jika Pasukan AS keluar dari Negara Tersebut.
rezaervani.com – 5 November 2025 – Perdana Menteri Irak, Mohammed Shia al-Sudani, mengatakan bahwa negaranya hanya akan mampu melucuti kelompok-kelompok milisi setelah pasukan Amerika Serikat meninggalkan Irak. Hal itu ia sampaikan dalam wawancara dengan Reuters pada Senin (3/11).
Pernyataan Sudani disampaikan menjelang pemilihan parlemen Irak yang sangat dinanti, yang akan berlangsung pada 11 November mendatang.
Sudani berusaha menyeimbangkan hubungan antara Washington — yang berperan penting dalam transaksi dolar Irak — dan negara tetangga Iran, yang mendukung berbagai milisi Syiah yang tergabung dalam Popular Mobilisation Forces (PMF) atau Pasukan Mobilisasi Rakyat.
Ia tengah berupaya menarik dukungan publik menjelang pemilu karena ingin menjabat untuk periode kedua.
“Tidak ada lagi ISIS. Keamanan dan stabilitas? Alhamdulillah sudah ada… jadi berikan saya alasan atas keberadaan 86 negara itu,” ujarnya kepada Reuters di Baghdad, merujuk pada jumlah negara yang tergabung dalam koalisi pimpinan AS melawan kelompok Negara Islam (ISIS) pada 2014.
“Kalau begitu, pasti akan ada program yang jelas untuk mengakhiri keberadaan senjata di luar lembaga-lembaga negara. Itu adalah tuntutan semua pihak,” tambahnya.
Pasukan AS mulai menarik diri dari dua pangkalan utama di Irak pada musim panas lalu.
Pada September 2024, Reuters melaporkan bahwa para negosiator AS dan Irak telah menyepakati sebuah rencana di masa pemerintahan Presiden Joe Biden untuk mengakhiri kehadiran militer AS di Irak — yang hanya tinggal menunggu persetujuan resmi dari para pemimpin di Baghdad dan Washington.
Menurut laporan Reuters, rencana tersebut menyerukan agar seluruh pasukan koalisi pimpinan AS meninggalkan pangkalan udara Ain al-Asad di provinsi Anbar barat, dan secara signifikan mengurangi kehadiran mereka di Baghdad paling lambat September 2025.
Sudani menambahkan bahwa kelompok-kelompok milisi bisa diserap ke dalam pasukan keamanan resmi negara atau para anggotanya bisa terjun ke dunia politik setelah meletakkan senjata mereka.
Paralel di Lebanon
Usulan tersebut muncul ketika Amerika Serikat tengah menghadapi kesulitan besar untuk melucuti senjata Hizbullah di Lebanon.
Pasukan Mobilisasi Rakyat (PMF) dan Hizbullah merupakan bagian dari jaringan longgar kelompok bersenjata — bersama dengan kelompok Houthi di Yaman — yang menerima pendanaan dan pelatihan dari Iran. Jaringan yang dikenal sebagai “poros perlawanan” ini terpukul oleh serangan-serangan Israel setelah serangan yang dipimpin Hamas ke selatan Israel pada 7 Oktober 2023.
Milisi-milisi di Irak berada di balik serangan terhadap pasukan AS di Yordania pada Januari 2024, namun sebagian besar memilih untuk tidak ikut menyerang Israel seperti yang dilakukan oleh Houthi dan Hizbullah, dengan alasan solidaritas terhadap rakyat Palestina yang terkepung di Gaza.
Perang Israel di Gaza setelah 7 Oktober 2023 telah diakui sebagai genosida oleh sejumlah pemimpin dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan para ahli hak asasi manusia. Amerika Serikat telah menengahi gencatan senjata rapuh di Gaza pada Oktober lalu, namun kesepakatan itu terus dilanggar oleh Israel.
Amerika Serikat telah lama mendesak Irak untuk membubarkan kelompok-kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Pasukan Mobilisasi Rakyat. Di Lebanon, kampanye yang lebih terbuka dipimpin oleh utusan AS, Tom Barrack, untuk melucuti senjata Hizbullah.
Hizbullah akhirnya terpaksa menandatangani perjanjian gencatan senjata yang timpang tahun lalu, yang secara efektif memberi Israel keleluasaan untuk menyerang kelompok tersebut dengan dukungan AS. Sejak itu, Hizbullah terus menahan diri dari serangan balasan meskipun menjadi sasaran serangan Israel.
Menurut analis dan diplomat regional yang dikutip Middle East Eye, tentara Lebanon telah berhasil melucuti senjata Hizbullah di sebagian besar wilayah Lebanon selatan.
Pemerintah Lebanon saat ini sedang berusaha menegosiasikan pemindahan senjata berat Hizbullah di wilayah lain negara itu kepada tentara nasional. Namun Hizbullah masih menolak rencana tersebut.
Berbicara di sebuah konferensi di Bahrain pekan lalu, Tom Barrack mengatakan bahwa ia tidak percaya penggunaan kekuatan militer untuk melucuti Hizbullah akan berhasil. Sebaliknya, ia menyarankan agar negara-negara kaya minyak di Teluk menawarkan insentif ekonomi bagi para pejuang Hizbullah agar mau menyerahkan senjata mereka.
Hizbullah adalah partai politik terbesar di Lebanon, dan anggotanya duduk dalam pemerintahan yang didukung AS. Baik sayap bersenjatanya maupun jaringan layanan sosialnya beroperasi di luar struktur pemerintahan resmi.
Sementara itu, di Irak, Pasukan Mobilisasi Rakyat (PMF) tetap menerima gaji dari pemerintah. Di bawah kepemimpinan Sudani, sekitar 150.000 anggota PMF dialokasikan tambahan dana sebesar 700 juta dolar AS dalam anggaran tiga tahun Irak yang dirilis pada tahun 2023.
Sumber : Middle East Eye