Genosida Israel di Gaza Tak Pernah Berhenti — Namun Media Inggris Menjadi Alat untuk Menutupi Kebohongan Ini
Oleh: Hamza Yusuf
Jika tembakan Israel belum berhenti, maka secara definisi tidak ada gencatan senjata. Genosida Tak Pernah Berhenti – Tugas media adalah menyampaikan fakta ini secara akurat dan objektif.
rezaervani.com – 5 November 2025 – Pandangan dunia kini telah beralih dari Gaza, seolah wilayah itu kehilangan arti pentingnya. Lagi pula, lebih dari dua tahun setelah serangan 7 Oktober dan kampanye pemusnahan tanpa ampun oleh Israel, sebuah gencatan senjata akhirnya tercapai.
Negosiasi yang dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump berujung pada sebuah upacara di Mesir pada 13 Oktober yang disebut-sebut sebagai “perayaan perdamaian di Timur Tengah”. Trump menyebut hari itu sebagai “hari bersejarah” dan menegaskan bahwa dirinya “telah mencapai sesuatu yang semua orang katakan mustahil”.
Namun pada hari Selasa, kesepakatan itu berada dalam bahaya besar. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyetujui serangkaian serangan udara terhadap Gaza, yang menewaskan lebih dari 100 warga Palestina, termasuk 47 anak-anak. Tiba-tiba saja, gencatan senjata yang tampak kokoh itu berada di ambang kehancuran.
Begitulah cara media arus utama Inggris menggambarkan peristiwa tersebut.
Di seluruh siaran dan surat kabar, kisah yang disajikan memiliki sudut pandang yang sama. Dalam liputan langsungnya, BBC menyebut serangan Israel sebagai “ujian bagi gencatan senjata”. The Guardian dan The Times menggunakan istilah serupa, sementara LBC menirunya. Sky News dan Financial Times menyoroti “kerapuhan” perjanjian itu.
Pengamat kasual mungkin akan mengira bahwa setelah sedikit masa optimisme, gencatan senjata yang berlangsung lebih dari dua minggu itu perlahan-lahan mulai runtuh.
Padahal kenyataannya, kekerasan sistematis Israel tidak pernah berhenti — hanya disembunyikan oleh media Inggris.
Kekerasan yang Tak Pernah Usai
Di lapangan, situasinya jauh dari kesan tenang. Warga Palestina di Gaza terus hidup dalam penderitaan yang tak tertahankan, tetap menjadi sandera kekuasaan dan penindasan Israel. Pengurangan sementara dalam pemboman, pengungsian, dan kehancuran tidak bisa disalahartikan sebagai perdamaian ketika penderitaan itu masih berlangsung.
Satu-satunya ujian yang tersisa adalah sejauh mana kolusi media dalam kejahatan Israel bisa terus dijalankan.
Dalam dua minggu pertama “gencatan senjata” yang diklaim itu, setidaknya 94 warga Palestina tewas, dengan Israel melanggar perjanjian tersebut 125 kali. Ini mencakup sedikitnya 52 penembakan langsung terhadap warga sipil, 9 kali pelanggaran kendaraan militer ke area permukiman, 55 kali serangan udara dan darat, serta 11 penghancuran bangunan sipil, ditambah penangkapan 21 warga di berbagai wilayah Jalur Gaza.
Namun rincian ini disembunyikan — gambaran yang dilukis media dibuat kabur, airnya dikacaukan dengan sengaja.
“Kami selamat dari perang, tapi kami mungkin tidak akan selamat dari gencatan senjata,” tulis jurnalis Palestina Sara Awad di Gaza baru-baru ini. “Tak ada satu hari pun tanpa korban… kekerasan tidak pernah benar-benar berakhir,” tambahnya.
Jika tembakan Israel belum berhenti, maka tidak ada gencatan senjata — secara definisi. Dan sudah seharusnya media melaporkan hal ini secara jujur dan objektif.
Namun, seperti biasa, media Inggris — yang membungkus kekejaman Israel dalam bahasa halus, menampilkan penyerang sebagai korban, dan menjual genosida sebagai “pembelaan diri” — tampaknya bertekad menunjukkan bahwa mereka masih memiliki banyak “bab” dalam buku pedoman propaganda mereka.
Kebohongan dalam Liputan Media Inggris
Pada 19 Oktober, baru sembilan hari sejak gencatan senjata diumumkan, Israel membunuh 11 anggota satu keluarga yang sedang berusaha kembali ke rumah mereka di lingkungan Zeitoun, Kota Gaza. Korban termasuk tujuh anak-anak, banyak di antaranya hancur berkeping oleh bom Israel. Kurang dari 24 jam sebelumnya, gelombang serangan udara Israel di Rafah, Gaza selatan, menewaskan lebih dari 40 warga Palestina.
Artikel BBC hari itu berjudul: “Israel mengatakan akan kembali ke gencatan senjata setelah serangan.” Judul yang keterlaluan — seolah seorang pembakar hutan berjanji akan berhenti setelah api habis — dan isi artikelnya pun hanya mengulang propaganda Israel tentang “penyerangan terhadap infrastruktur teroris”.
Dua tahun klaim tak berdasar dari Israel, ditambah catatan kehancuran yang tak terhitung, penghapusan sistematis, dan jumlah korban sipil yang luar biasa tinggi — tidak dianggap layak disebutkan.
Sebaliknya, serangan brutal dan membabi buta itu dikemas ulang oleh BBC sebagai operasi militer yang “diperlukan dan tidak berulang”, sementara para korban dibuat seolah tidak ada, dan pelanggaran berat terhadap gencatan senjata dianggap sepele.
Pengkhianatan terhadap prinsip jurnalisme ini memang tidak bermoral — tapi justru menjadi keahlian BBC.
Distorsi dan Manipulasi Fakta
Ini adalah lembaga yang sama yang menggambarkan ketika pasukan Israel melepaskan anjing tempur untuk menggigit hingga tewas seorang pemuda Palestina berusia 24 tahun yang memiliki down syndrome, sebagai “kematian sepi seorang pria Gaza dengan down syndrome”.
BBC bukan satu-satunya.
Pada 20 Oktober, The Times melaporkan gelombang serangan yang sama dengan judul yang menegaskan bahwa “gencatan senjata masih bertahan”. Mereka menulis tentang serangan Israel ke sebuah sekolah yang menampung warga pengungsi Palestina, lalu pada kalimat berikutnya mengatakan Israel “ingin mempertahankan gencatan senjata” — padahal serangan itu sendiri merupakan kejahatan perang yang jelas-jelas menghancurkannya.
Sebagai surat kabar yang dianggap “catatan resmi” di Inggris, manipulasi fakta semacam itu bukan hanya keterlaluan, tapi disengaja.
Garis demarkasi yang membagi Gaza menjadi dua — wilayah di mana Israel seharusnya mundur sesuai perjanjian gencatan senjata — kini telah berubah menjadi medan pembunuhan baru. “Garis kuning” yang seharusnya memisahkan pasukan Israel dari area tertentu di Gaza kini menjadi tempat banyak warga Palestina dibunuh hanya karena mendekatinya.
Sky News menggambarkan salah satu insiden itu dengan kalimat: “IDF mengatakan menembak ke arah teroris.” Sekali lagi, Israel diizinkan menilai perbuatannya sendiri, dan versinya diterima tanpa kritik.
Padahal “garis kuning” itu sendiri adalah simbol pendudukan yang berkelanjutan. Ia memotong wilayah padat penduduk, memutus warga Palestina yang kelaparan dari lahan pertanian dan sumber air vital mereka, serta memungkinkan Israel mempertahankan kendali penuh atas semua perlintasan — termasuk perbatasan Rafah dengan Mesir — yang berarti Gaza tetap terkepung.
Ini adalah wujud nyata dari perampasan tanah yang terus merayap.
Propaganda Lewat Penghapusan Fakta
Ketika unit verifikasi BBC membahasnya pada 23 Oktober, bahasanya dilunakkan. Judulnya berbunyi: “Garis kendali Israel lebih dalam di Gaza dari yang diperkirakan.” Sepanjang artikel muncul istilah seperti “pengendalian”, “batas wilayah”, dan “penanda” — bahasa teknis yang menjauhkan pembaca dari kenyataan.
Istilah yang paling jelas menggambarkan situasi sebenarnya — pendudukan — sama sekali tidak disebutkan.
Teknik propaganda lewat penghapusan fakta ini terus berulang dalam liputan media. Selain pembunuhan warga Palestina yang terus dilakukan, Israel juga secara sistematis melanggar perjanjian gencatan senjata dengan menahan bantuan kemanusiaan.
Dalam perjanjian disebutkan 600 truk bantuan per hari harus diizinkan masuk, namun hingga kini Israel hanya mengizinkan kurang dari 1.000 truk selama hampir tiga minggu, sekaligus melarang pekerja kemanusiaan masuk. Beberapa organisasi bantuan bahkan menyebut krisis kelaparan di Gaza sebagai “bencana kemanusiaan yang katastrofik”.
Namun dalam pemberitaannya tentang kendali Israel atas perbatasan dan penutupan akses bantuan, The Guardian pada 14 Oktober menyebut tindakan Israel hanya sebagai bagian dari “sengketa”. Empat hari kemudian, pada 18 Oktober, surat kabar itu menulis bahwa Israel akan “menutup perbatasan Rafah hingga pemberitahuan lebih lanjut” — yang berarti memblokade warga Palestina dan mencegah mereka mendapat perawatan medis di luar.
Kedua artikel itu gagal menyebut fakta mendasar: bahwa tindakan tersebut adalah hukuman kolektif, pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Pada akhirnya, media yang kini berpura-pura bertanya apakah gencatan senjata akan bertahan, sebenarnya hanyalah mengulang pola penyamaran yang sama sejak pengumuman gencatan senjata — pola yang telah mereka asah selama dua tahun terakhir — menciptakan kabut yang menutupi penindasan brutal Israel terhadap rakyat Palestina.
Tidak ada “jeda” bagi rakyat Palestina. Tidak ada dan tidak pernah ada selama puluhan tahun. Israel tetap bertekad menjerumuskan mereka dalam penderitaan abadi, pengusiran paksa, dan pembersihan etnis. Dan media Inggris tetap menjadi perisai yang melindungi Israel ketika ia menuntaskan tujuannya.
Sumber : Middle East Eye