Hadits Dhaif : Barangsiapa Shalatnya Tidak Mencegah (2)



مَن لم تَنْهَهُ صلاتُهُ عنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَرِ، لم يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إلَّا بُعْداً

Barangsiapa Shalatnya Tidak Mencegah dari Kejahatan dan Kemungkaran, Maka Ia Tidak Bertambah dari Allah Kecuali Jauh (Bagian Kedua)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hadits Dhaif : Barangsiapa Shalatnya Tidak Mencegah dari Kejahatan dan Kemungkaran, Maka Ia Tidak Bertambah dari Allah Kecuali Jauh ini masuk dalam Kategori Hadits dan Hadits Dhaif

وحتى إنه لو فُرِض أن الحسن وصل الحديث وأسنده، ولم يصرح بالتحديث، أو بسماعه من الذي أسنده إليه، كما لو قال: «عن سمرة»، أو: «عن أبي هريرة»، لم يكن حديثه حجة، فكيف لو أرسله كما في هذا الحديث؟!

Bahkan seandainya pun Al-Hasan menyambungkan hadits ini dan menyandarkannya, namun ia tidak menegaskan dengan kata “haddatsana” atau mendengar langsung dari orang yang ia sandarkan kepadanya, seperti jika ia berkata: “Dari Samurah” atau “Dari Abu Hurairah”, maka haditsnya tetap tidak bisa dijadikan hujjah. Lalu bagaimana jika ia meriwayatkannya secara mursal sebagaimana dalam hadits ini?!

قال الحافظ الذهبي في «ميزان الاعتدال»: «كان الحسن كثير التدليس، فإذا قال في حديث: (عن فلان)، ضعف احتجاجه، ولا سيما عمّن قيل: إنه لم يسمع منهم، كأبي هريرة ونحوه، فعدوا ما كان له عن أبي هريرة في جملة المنقطع».

Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata dalam Mizan Al-I’tidal: “Al-Hasan banyak melakukan tadlis. Jika ia berkata dalam hadits: (Dari si Fulan), maka haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah. Terlebih lagi dari orang-orang yang diketahui ia tidak mendengar langsung dari mereka, seperti Abu Hurairah dan yang semisalnya. Oleh sebab itu, apa saja riwayatnya dari Abu Hurairah termasuk kategori munqathi’ (terputus).”

على أنه قد ورد الحديث عن الحسن من قوله أيضاً، لم ينسبه إلى النبي ﷺ، كذلك أخرجه الإمام أحمد في «الزهد» (ص ٢٦٤)، وإسناده صحيح، وكذلك رواه ابن جرير (٢٠/٩٢) من طرق عنه، وهو الصواب.

Bahkan hadits ini juga datang dari perkataan Al-Hasan sendiri, bukan ia sandarkan kepada Nabi ﷺ. Demikian pula Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Az-Zuhd (hlm. 264) dengan sanad yang shahih, dan demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (20/92) melalui berbagai jalur darinya. Dan ini adalah yang benar.

ثم وجدت الحديث في «مسند الشهاب» (٢/٤٣) من طريق مقدام بن داود قال: نا علي بن محمد بن معبد بسنده المشار إليه آنفاً عن الحسن مرفوعاً.

Kemudian aku juga mendapati hadits ini dalam Musnad Asy-Syihab (2/43) dari jalur Miqdām bin Dawud, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Ali bin Muhammad bin Ma’bad dengan sanad yang telah disebutkan sebelumnya dari Al-Hasan secara marfu’.

ومقدام هذا قال النسائي: «ليس بثقة».

Tentang Miqdām ini, An-Nasa’i berkata: “Ia tidak tsiqah.”

فإن كان رواه غيره عن علي بن معبد، وكان ثقة؛ فالسند صحيح مرسلاً؛ كما سبق عن العراقي، وإلا فلا يصح.

Jika hadits ini diriwayatkan oleh selainnya dari Ali bin Ma’bad, dan perawinya tsiqah, maka sanadnya shahih secara mursal sebagaimana disebutkan oleh Al-‘Iraqi. Namun bila tidak, maka tidak sah.

وجملة القول: إن الحديث لا يصح إسناده إلى النبي ﷺ، وإنما صح من قول ابن مسعود، والحسن البصري، وروي عن ابن عباس.

Kesimpulannya: Hadits ini tidak sah sanadnya sampai kepada Nabi ﷺ, namun yang sah adalah dari perkataan Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan Al-Bashri, serta diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas.

ولهذا لم يذكره شيخ الإسلام ابن تيمية في «كتاب الإيمان» (ص ١٢) إلا موقوفاً على ابن مسعود وابن عباس رضي الله عنهما.

Oleh sebab itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Iman (hlm. 12) tidak menyebutnya kecuali sebagai riwayat mawquf dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

وقال ابن عروة في «الكواكب»: «إنه الأصح».

Ibnu ‘Urwah berkata dalam Al-Kawakib: “Itulah yang lebih shahih.”

ثم رأيت الحافظ ابن كثير قال بعد أن ساق الحديث عن عمران بن حصين، وابن عباس، وابن مسعود، والحسن؛ مرفوعاً: «والأصح في هذا كله الموقوفات عن ابن مسعود، وابن عباس، والحسن، وقتادة، والأعمش، وغيرهم».

Kemudian aku melihat Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata setelah meriwayatkan hadits ini dari Imran bin Husain, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Al-Hasan secara marfu’: “Yang lebih shahih dalam semua riwayat ini adalah mawquf dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, Al-A’masy, dan selain mereka.”

قلتُ: وسيأتي حديث عمران في المئة العاشرة إن شاء الله تعالى، وهو بهذا اللفظ، إلا أنه قال: «فلا صلاة له»، بدل: «لم يزدَد عن الله إلا بُعداً».

Aku (penulis) berkata: Hadits Imran akan disebutkan pada bagian kesepuluh insya Allah Ta’ala, dengan lafazh yang sama, hanya saja di situ disebutkan: “Maka tidak ada shalat baginya” sebagai ganti dari “Ia tidak bertambah dari Allah kecuali semakin jauh.”

وهو منكر أيضاً كما سيأتي بيانه هناك بإذن الله تعالى، فانظره برقم (٩٨٥).

Dan itu juga munkar sebagaimana akan dijelaskan di sana dengan izin Allah Ta’ala. Lihat hadits no. 985.

وأما متن الحديث فإنه لا يصح؛ لأن ظاهره يشمل من صلى صلاة بشروطها وأركانها، بحيث إن الشرع يحكم عليها بالصحة، وإن كان هذا المصلي لا يزال يرتكب بعض المعاصي، فكيف يكون بسببها لا يزداد بهذه الصلاة إلا بعداً؟! هذا مما لا يعقل، ولا تشهد له أصول الشرع، ولهذا قال شيخ الإسلام ابن تيمية بقوله:

Adapun matan hadits ini tidak shahih, sebab secara lahir mencakup orang yang shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya, sehingga syariat menghukuminya sah. Namun meskipun orang ini masih melakukan sebagian maksiat, bagaimana mungkin dengan sebab shalatnya ia justru semakin jauh dari Allah?! Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan kaidah syariat. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

«وقوله: (لم يزدَد إلا بُعداً)، إذا كان ما ترك من الواجب منها أعظم مما فعله، أبعده ترك الواجب الأكثر من الله، أكثر مما قربه فعل الواجب الأقل».

“Perkataan: (Ia tidak bertambah kecuali semakin jauh), maksudnya jika yang ia tinggalkan dari kewajiban shalat lebih banyak daripada yang ia kerjakan, maka meninggalkan kewajiban yang lebih besar akan semakin menjauhkannya dari Allah, melebihi apa yang ia dekati dengan kewajiban yang lebih kecil.”

وهذا بعيد عندي؛ لأن ترك الواجب الأعظم منها، معناه ترك بعض ما لا تصح الصلاة إلا به، كالشروط والأركان، وحينئذٍ فليس له صلاة شرعاً، ولا يبدو أن هذه الصلاة هي المرادة في الحديث المرفوع والموقوف، بل المراد الصلاة الصحيحة التي لم تثمر ثمرتها التي ذكرها الله تعالى في قوله: ﴿إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهى عَنِ الفَحْشاءِ والمُنْكَرِ﴾، وأكدها رسول الله ﷺ لما قيل له: إن فلاناً يصلي الليل كله، فإذا أصبح سرق! فقال: «سينهاه ما تقول»، أو قال: «ستمنعه صلاته».

Namun menurutku ini jauh (dari kebenaran). Karena meninggalkan kewajiban yang lebih besar dari shalat berarti meninggalkan sebagian syarat atau rukun yang tanpanya shalat tidak sah. Jika demikian, maka shalatnya tidak sah secara syariat. Dan sepertinya bukan shalat semacam itu yang dimaksud dalam hadits marfu’ dan mawquf ini, melainkan shalat yang sah namun tidak membuahkan hasil sebagaimana disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” (Surah Al-‘Ankabut: 45). Rasulullah ﷺ juga menegaskannya ketika dikatakan kepada beliau: “Si Fulan shalat malam seluruhnya, tetapi ketika pagi ia mencuri.” Beliau bersabda: “Shalatnya akan mencegahnya dari apa yang engkau katakan.” Atau beliau bersabda: “Shalatnya akan menahannya.”

Bahasan Hadits kedua ini bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber Naskah : Archive.Org

hadits shalat | shalat mencegah keji mungkar | hadits dhaif | sanad mawquf | Ibnu Abbas | Ibnu Mas’ud



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.