Tadabbur Ramadhan Hari ke-17 : Tadabbur Al Baqarah 190 s.d. 194 dalam Perspektif Siroh Nabawiyah (2)
Oleh : Reza Ervani bin Asmanu
w
Teladan dari Syuhada Sahabat Nabi ‘Aashim bin Tsaabit bin Abi Al Aqlah
Membahas Umroh Al Hudaibiyah membuat kita harus meninjau sejarah lebih ke belakang, yakni Perang Bani Layhan. Membahas Perang Bani Layhan membuat kita harus menengok pada tragedi pengkhianatan Ar Raji’ yang menyebabkan gugurnya sepuluh orang shahabat Nabi shalallahu alaihi wa salam.
Komandan dari sepuluh orang shahabat yang mendapatkan tugas khusus dari Nabi shalallahu alaihi wa salam ini adalah ‘Aashim bin Tsaabit bin Abi Al Aqlah. Demikian yang diriwayatkan oleh Al Bukhari. Mereka diutus kepada kaum Adhal dan Al Qarrah karena kaum tersebut mengaku ada yang masuk Islam dari golongan mereka, dan meminta diajarkan Al Quran dan Syariat Islam.
Ibnu Ishaq mengatakan para shahabat Nabi ini keluar bersama delegasi Adhal dan Al Qarrah. Ketika mereka sampai di Ar Raji’ – yang merupakan mata air milik suku Hudzail di sisi Hijaz dari arah Al Had’ah, delegasi Adhal dan Al Qarrah berbalik mengkhianati mereka. Oleh karena itu mereka mengambil pedang dan memberikan perlawanan.
Delegasi Adhal dan Al Qarrah yang berkhianat itu berkata,”Demi Allah kami tidak ingin membunuh kalian. Kami hanya ingin mendapat sesuatu dari orang-orang Quraisy dengan menyerahkan kalian. Kalian berhak atas janji Allah bahwa kami tidak akan membunuh kalian”
Martsad ibn Abi Martsad, Khalid ibn Bukair dan ‘Aashim ibn Tsaabit berkata : “Demi Allah kami, kami tidak akan menerima janji dari orang musyrik selama-lamanya”
Inilah keteguhan hati seorang ‘Aashim ibn Tsaabit serta pelajaran pertama yang kita dapati, bahwa sudah menjadi tabi’at orang-orang kafir menyelisihi kesepakatan dan janji dengan orang-orang muslim, terutama saat perang.
Ketika ‘Aashim ibn Tsaabit terbunuh, orang-orang Hudzail ingin mengambil kepalanya untuk dijual kepada Sulafah binti Sa’d bin Syuhaid yang pernah bernadzar setelah kematian dua orang anaknya, jika dia mendapatkan kepala ‘Aashim bin Tsaabit, maka dia akan menyiramnya dengan khamar.
Namun keinginan mereka mendapatkan kepala ‘Aashim bin Tsaabit itu dihalangi oleh seorang kumbang besar – demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari.
Ibnu Ishaq menyebutkan : Ketika kumbang itu menghalangi antara mereka dengan jenazah ‘Aashim, orang-orang Hudzail berkata : “Biarkan kumbang itu hingga sore hari, bila kumbang itu telah pergi baru kita ambil mayatnya”
Namun, Allah Ta’ala kemudian mengirimkan sekumpulan lebah yang membawa pergi jenazah ‘Aashim bin Tsaabit.
Siroh mencatat bahwa ‘Aashim bin Tsaabit pernah bersumpah kepada Allah Ta’ala bahwa dia tidak sudi disentuh oleh orang-orang musyrik, dan tidak pula menyentuh mereka karena mereka adalah najis. Maka Allah Ta’ala kemudian menerima sumpahnya ini dengan menjaga jenazahnya.
Saat berita ini sampai kepada Umar ibn Khattab radhiyallahu ‘anhu, maka Umar mengatakan :
يَحْفَظُ اللَّهُ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ
“Allah Melindungi Hamba yang Beriman”
Demikian ibroh pertama yang kita peroleh dari seorang syuhada, shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, ‘Aashim bin Tsaabit radhiyallahu ‘anhu, dalam perjalanan kita mentadabburi ayat-ayat perang Surah Al Baqarah ayat 190 s.d. 194.
Leave a Reply