Sudah Menjamak Sholat Zhuhur dan Ashar, tetapi Tiba di Tujuan Sebelum Waktu Ashar, Haruskah Mengulang Sholat ?
Alih Bahasa dan Kompilasi : Reza Ervani bin Asmanu
Bismilahirrahmanirrahiim
Artikel Sudah Menjamak Sholat Zhuhur dan Ashar, tetapi Tiba di Tujuan Sebelum Waktu Ashar, Haruskah Mengulang Sholat ? ini bagian dari Kategori Fiqh
الحمد لله، والصلاة والسلام على نبينا محمد، وعلى آله، وصحبه، ومن والاه، أما بعد:
فإذا جمع المسافر الظهر والعصر تقديمًا، ثم وصل إلى بلده قبل دخول وقت العصر، فإن جمعه صحيح، ولا يبطل، ولا تلزمه إعادة العصر،
Jika seorang musafir menjama’ Shalat Zuhur dan Ashar taqdim, kemudian dia sampai di kampung halamannya sebelum waktu Ashar masuk, maka jama’nya sah dan tidak batal, dan dia tidak wajib mengulang Shalat Ashar.
وهذا مذهب الحنابلة، والشافعية، والمالكية، بل نص الحنابلة على أن صلاته صحيحة، ولو قصر العصر،
Ini merupakan pendapat Madzhab Hambali, Syafi’i, dan Maliki. Bahkan Madzhab Hambali menegaskan bahwa shalatnya sah meskipun dia menqasar Shalat Ashar.
قال ابن قدامة في المغني: وَإِنْ أَتَمَّ الصَّلَاتَيْنِ فِي وَقْتِ الْأُولَى، ثُمَّ زَالَ الْعُذْرُ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْهُمَا قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الثَّانِيَةِ، أَجْزَأَتْهُ، وَلَمْ تَلْزَمْهُ الثَّانِيَةُ فِي وَقْتِهَا؛
Ibn Qudamah dalam kitab Al Mughni berkata: “Jika dia menunaikan kedua shalat tersebut pada waktu shalat pertama, kemudian udzurnya hilang setelah dia selesai menunaikan keduanya sebelum waktu shalat kedua masuk, maka shalatnya dianggap sah dan dia tidak wajib mengulang shalat kedua pada waktunya.
لِأَنَّ الصَّلَاةَ وَقَعَتْ صَحِيحَةً مُجْزِيَةً عَمّا فِي ذِمَّتِهِ، وَبَرِئَتْ ذِمَّتُهُ مِنْهَا، فَلَمْ تَشْتَغِلْ الذِّمَّةُ بِهَا بَعْدَ ذَلِكَ، وَلِأَنَّهُ أَدَّى فَرْضَهُ حَالَ الْعُذْرِ، فَلَمْ يَبْطُلْ بِزَوَالِهِ بَعْدَ ذَلِكَ، كَالْمُتَيَمِّمِ إذَا وَجَدَ الْمَاءَ بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنْ الصَّلَاةِ. اهـ.
Hal ini karena shalatnya telah dilakukan dengan sah dan menggugurkan kewajiban yang ada di pundaknya, dan kewajibannya telah gugur. Oleh karena itu, dia tidak lagi diwajibkan shalat kedua setelah itu. Dan karena dia telah menunaikan fardhunya saat udzur, maka shalatnya tidak batal dengan hilangnnya uzur setelah itu, seperti orang yang bertayamum kemudian menemukan air setelah selesai shalat.”
وقال المرداوي الحنبلي: لَوْ قَصَرَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ فِي وَقْتِ أُولَاهُمَا، ثُمَّ قَدِمَ قَبْلَ دُخُولِ وَقْتِ الثَّانِيَةِ: أَجْزَأَهُ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ، وَقِيلَ: لَا يُجْزِئُهُ .. اهـ.
Al-Mardawi Al-Hanbali berkata: “Jika dia menqasar kedua shalat tersebut di tempat safar pada waktu shalat pertama, kemudian dia sampai (di kampung halamannya) sebelum waktu shalat kedua masuk, maka shalatnya dianggap sah menurut pendapat yang shahih dalam madzhab ini. Walaupun pendapat lain yang mengatakan bahwa shalatnya tidak sah.”
والشافعية نصوا على صحة الجمع، وعدم بطلانه بصيرورته مقيمًا بعد الفراغ من الثانية، بل لو أقام في أثناء الصلاة الثانية بأن وصلت السفينة لبلده، فإن صلاته صحيحة، من غير تفريق عندهم بين أن يصير مقيمًا قبل دخول وقت الثانية، أو بعد دخول وقتها،
Madzhab Syafi’i secara tegas menyatakan sahnya jama’ dan tidak batalnya dengan menjadi mukim setelah selesai shalat kedua. Bahkan, jika dia menjadi mukim di tengah-tengah shalat kedua, seperti kapal yang tiba di kampung halamannya, maka shalatnya tetap sah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka, baik dia menjadi mukim sebelum waktu shalat kedua masuk atau setelahnya.
وإنما المعتبر في الصحة أن يصير مقيمًا بعد الفراغ من الصلاة الثانية، قال الإمام النووي في روضة الطالبين: فَلَوْ صَارَ مُقِيمًا فِي أَثْنَاءِ الثَّانِيَةِ، فَوَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: يَبْطُلُ الْجَمْعُ … وَأَصَحُّهُمَا: لَا يَبْطُلُ الْجَمْعُ؛ صِيَانَةً لَهَا عَنِ الْبُطْلَانِ بَعْدَ الِانْعِقَادِ،
Yang menjadi pertimbangan sahnya jama’ adalah menjadi mukim setelah selesai shalat kedua. Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin berkata: “Jika dia menjadi mukim (tiba di kampung halaman) di tengah-tengah shalat kedua, ada dua pendapat: Pertama, jama’-nya batal. Kedua, jama’-nya tidak batal. Pendapat yang lebih sahih adalah jama’ tidak batal, untuk menjaga jama’ dari kebatalan setelah penggabungan”
… أَمَّا إِذَا صَارَ مُقِيمًا بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الثَّانِيَةِ، فَإِنْ قُلْنَا: الْإِقَامَةُ فِي أَثْنَائِهَا لَا تُؤَثِّرُ، فَهُنَا أَوْلَى، وَإِلَّا فَوَجْهَانِ. الْأَصَحُّ: لَا يَبْطُلُ الْجَمْعُ، كَمَا لَوْ قَصَرَ ثُمَّ أَقَامَ .. اهـ.
Adapun jika dia menjadi mukim setelah selesai shalat kedua, jika kita katakan bahwa menjadi mukim di tengah-tengah shalat (saja) tidak berpengaruh (terhadap sahnya jama’), maka menjadi mukim setelah selesai shalat kedua membuat alasan (sahnya jama’) menjadi lebih kuat. Kalaupun tidak, maka (tetap) ada dua pendapat. Pendapat yang lebih sahih adalah jama’ tidak batal, seperti halnya jika dia menqashar kemudian menjadi mukim (tiba di tempat tinggalnya).
وفي نهاية المحتاج للرملي الشافعي: وَإذَا صَارَ مُقِيمًا فِي الثَّانِيَةِ، وَمِثْلُهَا إذَا صَارَ مُقِيمًا بَعْدَهَا، لَا يَبْطُلُ الْجَمْعُ فِي الْأَصَحِّ؛ لِلِاكْتِفَاءِ بِاقْتِرَانِ الْعُذْرِ بِأَوَّلِ الثَّانِيَةِ؛ صِيَانَةً لَهَا عَنْ بُطْلَانِهَا بَعْدَ انْعِقَادِهَا،
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Ar-Ramli Asy-Syafi’i disebutkan: “Jika dia menjadi mukim di waktu shalat kedua, termasuk jika dia menjadi mukim setelahnya, maka jama’ tidak batal menurut pendapat yang lebih sahih. Hal ini karena cukup dengan dikaitkannya udzur dengan awal waktu shalat kedua; untuk menjaga jama’ dari kebatalan setelah penggabungannya.
والمالكية يرون أن من ينوي النزول في الوقت المختار للثانية (العصر)، أخّرها، ولا يحق له أن يجمعها مع الظهر تقديمًا، ولكنه لو قدمها، أجزأته، وتندب له إعادتها في الوقت فقط،
Madzhab Maliki berpendapat bahwa: Orang yang berniat turun (dari kendaraan) pada waktu shalat Ashar, maka hendaknya ia mengakhirkan sholat Ashar (nanti pada waktunya) dan tidak menjama’-nya dengan shalat Zuhur taqdim. Akan tetapi, jika dia menjama’-nya, maka shalatnya sah dan mengulang sholat pada waktunya (Ashar) adalah sunnah saja.
جاء في منح الجليل: وَإنْ نَوَى الِارْتِحَالَ وَالنُّزُولَ قَبْلَ الِاصْفِرَارِ، صَلَّى الظُّهْرَ قَبْلَ ارْتِحَالِهِ، وَأَخَّرَ الْعَصْرَ وُجُوبًا لِيُصَلِّيَهَا فِي مُخْتَارِهَا، فَإِنْ قَدَّمَهَا مَعَ الظُّهْرِ، صَحَّتْ، وَنُدِبَتْ إعَادَتُهَا فِي مُخْتَارِهَا بَعْدَ نُزُولِهِ .. اهـ.
Disebutkan dalam kitab Manhul Jalil: “Jika dia berniat bepergian dan turun (dari kendaraan) sebelum matahari terbenam, maka dia harus menunaikan shalat Zuhur sebelum bepergian dan menunda shalat Ashar dengan wajib untuk menunaikannya pada waktu yang dia pilih (untuk turun dari kendaraan). Jika dia menjama’kannya dengan shalat Zuhur, maka shalatnya sah dan disunnahkan untuk mengulanginya pada waktu yang disukainya setelah turun (dari kendaraan).”
والحنفية ليس عندهم جمع في السفر أصلًا، والجمع عندهم بعرفة ومزدلفة فقط، جاء في الموسوعة الفقهية: فَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ يُجْمَعُ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِي وَقْتِ الظُّهْرِ بِعَرَفَةَ، وَبَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِي وَقْتِ الْعِشَاءِ بِمُزْدَلِفَةَ، فَمُسَوِّغُ الْجَمْعِ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجُّ فَقَطْ، وَلاَ يَجُوزُ عِنْدَهُمُ الْجَمْعُ لأِيِّ عُذْرٍ آخَرَ، كَالسَّفَرِ، وَالْمَطَرِ. اهـ.
Madzhab Hanafi tidak memiliki pendapat tentang jama’ (menggabungkan shalat) di tempat safar (bepergian) sama sekali.
Menurut mereka, jama’ hanya dilakukan di Arafah dan Muzdalifah saat haji. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Mufid Lil-Fawaid: “Menurut Madzhab Hanafi, shalat Zuhur dan Ashar digabungkan pada waktu Zuhur di Arafah, dan shalat Maghrib dan Isya digabungkan pada waktu Isya di Muzdalifah. Alasan dibolehkannya jama’ menurut mereka hanyalah karena haji, dan tidak dibolehkan jama’ karena uzur lain, seperti safar (bepergian) dan hujan.
هذا خلاصة أقوال المذاهب الفقهية فيما سألت عنه.
Inilah ringkasan pendapat-pendapat madzhab fiqh tentang hal tersebut
Diolah dan Dikompilasi dari IslamWeb
Allahu Ta’ala ‘A’lam
Leave a Reply